PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Masyarakat Jangan Paranoid dengan BIN

Minggu, 31 Januari 2016

00:00 WITA

Nasional

3109 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Opini, suaradewata.com- Indonesia kembali dikejutkan dengan aksi teror di kawasan bisnis ibu kota, Sarinah, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat. Aksi Bom yang terjadi di Jakarta kali ini seolah-olah menambah rentetan kasus terorisme yang pernah terjadi di Indonesia, sebelumnya tercatat pernah terjadi ledakan bom diberbagai kawasan di Indonesia seperti Bom Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, ada juga Bom Bali yang pernah terjadi 2 kali, dan masih banyak lagi. Ini menandakan bahwa pelaku terorisme masih memiliki potensi melakukan aksi teror di wilayah Indonesia. Ibarat rumput ilalang, meski sudah dipotong dan dibakar tetapi tumbuh kembali, aparat keamanan seakan-akan tidak berdaya menghadapi pelaku teroris yang jumlahnya kian bertambah.

Menanggapi problem tersebut, berbagai pihak menilai bahwa revisi UU No 15/2003 tentang Terorisme merupakan jawaban atas permasalah tersebut. UU Terorisme dinilai belum mampu mengatur seluruh aspek kejahatan terorisme. Namun jika wacana tersebut benar-benar direalisasikan, revisi tersebut hanya memberikan efek jangka pendek dan tak akan mampu mengcover semua bentuk teror yang bisa saja terjadi di negara ini.Yang harus dilakukan oleh pemerintah tidak hanya merevisi UU No 15/2003 tentang Terorisme, melainkan terus memperkuat kinerja Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai ujung tombak negara. Salah satu caranya yakni revisi Undang-Undang Intelijen Negara agar BIN bisa menangkap serta menahan teroris.

Jika diberi perumpamaan bahwa Prajurit adalah ujung tombak dalam sebuah peperangan, maka Intelijen menjadi ujung tombak dalam memelihara stabilitas keamanan dan pertahanan nasional. Ada beberapa tugas BIN dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara yakni dengan memberikan analisa yang cepat dan tepat (velox et exactus) mengenai berbagai potensi Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan (ATHG) melalui fungsi-fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Tugas tersebut termasuk dalam memberantas terorisme di Indonesia. Dari kondisi tersebut terlihat bahwa begitu pentingnya peranan BIN dalam menjaga keamanan dan pertahanan negara dari maraknya aksi terorisme di tanah air.

Akan tetapi BIN masih belum dapat berbuat lebih optimal dalam menjalankan tugasnya. Kasus demi kasus pemboman dan serangan bunuh diri serta beroperasinya teror dan teroris di seluruh tanah air dianggap menjadi salah satu sumber kelemahan BIN.Sebetulnya BIN telah memperoleh signal atau tanda-tanda serius tentang teror di Jakarta yang menjadi salah satu sasaran paling menarik pelaku kejahatan kriminal dan teror di Indonesia. BIN telah mengirim adanya indikasi bahwa gerakan teroris meningkat pasca pulangnya pelaku teror dari suriah. Tetapi kenyataan di lapangan, aparat keamanan sering kali menghadapi keterbatasan. Misalnya, ketika BIN memberi informasi tentang adanya pelatihan teroris, tetapi tidak ditindaklanuiti oleh aparat penegak hukum karena bukti-buktinya kurang memadai. Sementara itu, BIN tidak bisa melakukan penangkapan karena sesuai dalam Pasal 31 UU No.17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara memberi kewenangan kepada BIN untuk melakukan penyadapan dan pemeriksaan aliran dana. Namun, BIN tidak bisa bertindak lebih jauh. Kemudian dilanjutkan di Pasal 34, BIN tidak bisa melakukan penangkapan dan penahanan. Karena hal itu dilakukan oleh aparat Kepolisian.

Atas dasar penjelasan di atas, ternyata posisi BIN memang sangat dilematis. Satu sisi dituntut harus mampu menjadi katalisator dan dinamisator Hankamnas secara efektif, namun di sisi lainnya ternyata BIN sedang berada dalam polemik yang teramat lama dengan keterbatasan kewenangan dalam mengantisipasi aksi terorisme. Perdebatan jalan terus, payung hukum yang konprehensif terhadap BIN dalam mengantisipasi terorisme belum juga ada.  Kewenangan intelijen kita saat ini tidak lagi seperti era Orde Baru yang powerfull yang bisa menangkap setelah mengetahui informasi berbahaya.

Jika kita melihat negara-negara barat, seperti Amerika Serikat dan Perancis dan negara-negara Eropa mereka menghormati keseimbangan, antara menghormati HAM dan kebebasan. Tetapi ketika keamanan nasional terancam oleh terorisme, mereka dapat mengedepankan proses intelijen. Di mana lembaga intelijen diberikan kewenangan untuk menangkap dan menahan. Oleh karena itu, revisi UU Terorisme dan Intelijen sudah mendesak untuk dilakukan.

Masyarakat seharusnya dapat berpikir kritis, jika ingin penanganan terorisme di Indonesia lebih memberikan rasa aman, perlu perbaikan di dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme. Di mana BIN diberikan kewenangan yang lebih yaitu penangkapan dan penahanan. Masyarakat jangan terus-terusan terperangkap akan ketakutan pelanggaran HAM Orde Baru. Masyarakat jangan lagi sinis dengan hal-hal yang berbau Orde baru, karena satu hal yang penting dan dilupakan masyarakat bahwa BIN adalah lembaga khusus yang tidak bisa disamakan dengan yang lain.

Masyarakat jangan lagi takut. Sudah saatnya kita mempecayai kepada BIN dalam menghentian aksi teror. Ingat intelijen saat ini berbeda dengan Era Orde Baru. Saat ini nafas intelijen kita lebih berbau HAM, Transparansi, Akuntabilitas dan Demokrasi sesuai UU Intelijen No.17 Tahun 2011 dimana lebih menitik beratkan pada asas kemanusiaan dan menjunjung tinggi hukum. Tentu kewenangan itu tetap harus dikontrol dengan membuat peraturan yang mengatur kewenangan tersebut. Sehingga ada check and balancing yang diatur dalam sistem kepidanaan, yaitu di dalam KUHAP. Intinya, harus ada peraturan yang mengatur. Kemudian yang perlu diperhatikan, harus ada mekanisme kontrol dari kewenangan yang diberikan.

Norman Atmaja, penulis adalah Pemerhati Lingkungan Strategis


Komentar

Berita Terbaru

\