Pionir Pejuang Nama Baik Bangsa
Sabtu, 19 Desember 2015
00:00 WITA
Nasional
2654 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Akhir-akhir ini, Indonesia masih dihebohkan dengan adanya pelanggaran etika yang dilakukan oleh salah satu pemimpin bangsa. Pemimpin yang pada padanya dapat dijadikan sebagai panutan dan teladan bagi masyarakatnya, kini telah menjelma bak pionir yang dengan mudah menggadaikan nama baik bangsanya sendiri demi sebuah keuntungan pihak tertentu. Bagaimana kita sebagai masyarakat menyikapi hal tersebut dan hal apakah yang dapat kita perbuat, jawaban atas pertanyaan tersebut bermuara dari hak suara kita sebagai masyarakat Indonesia dalam memilih pemimpin bangsa.
Jika salah satu muara dari berbagai permalasahan yang melanda dunia perpolitikan Indonesia adalah dari kesalahan memilih pemimpin yang mencalonkan diri. Maka lebih baik kita melihat perbandingan singkat yang setidaknya dapat mebuka pandangan kita sebagai pemilih agar kedepannya tidak terjadi kesalahan dalam menentukan pemimpin bangsa Indonesia.
Kunjungan kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sejumlah menteri Kabinet Kerja selama empat hari di Amerika Serikat diyakini menghasilkan komitmen investasi sebesar US$ 22,19 miliar bagi Indonesia. Data resmi yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebutkan, setidaknya ada 12 penandatanganan kerja sama yang dilakukan antara badan usaha milik negara (BUMN) dengan perusahaan-perusahaan besar negara Barrack Obama.
Sumbangan komitmen investasi terbesar berasal dari Cheniere Energy yang membuat kerjasama pengembangan proyek gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dengan PT Pertamina (Persero) senilai US$ 13 miliar. Menyusul di tempat kedua, komitmen investasi sebesar US$ 5,8 miliar yang disiapkan General Electric (GE). Belakangan ini, GE diketahui membuat nota kesepahaman pembentukan perusahaan patungan bersama PT PLN (Persero) untuk membangun pembangkit listrik di sejumlah daerah terpencil di Indonesia. PLN juga diketahui akan membeli 400 turbin gas dari GE. Rencana investasi terbesar ketiga diduduki oleh perusahaan pemilik mayoritas saham PT Hanjaya Mandala (HM) Sampoerna Tbk, yaitu Philip Morris sebesar US$ 2 miliar. Direktur Utama H.M. Sampoerna Paul Janelle, awal Oktober lalu menyatakan perusahaannya akan memperoleh dana segar sebesar Rp 20,76 triliun dengan melepas saham melalui mekanisme penawaran umum terbatas dalam rangka hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atas 269,72 juta sahamnya ke publik.Beberapa komitmen investasi lain yang penandatanganannya akan disaksikan Jokowi selama berada di Amerika Serikat adalah Cargill sebesar US$ 750 juta selama periode 2015-2019. Coca Cola Company yang akan melakukan ekspansi dua lini baru pabrik senilai US$ 500 juta di Bekasi. P&G yang akan menanam US$ 100 juta untuk menambah kapasitas produksi dan beberapa investasi lainnya.
Di sisi lain, Pimpinan DPR, Setya Novanto dan Fadli Zon tampak hadir dalam sebuah konferensi pers politik Donald Trump, pada 3 September 2015. Konferensi pers ini berlangsung setelah pengusaha AS itu melakukan sumpah kesetiaan untuk menjadi kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik. Jika dihitung berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 53/PMK.02/2014 tentang Standar Tentang Biaya Masukan 2015, kunjungan Setya Novanto dan 8 rekannya ke New York menghabiskan uang negara sekitar Rp 4,6 miliar. Melihat pemberitaan tersebut, berita ini menuai sentimen negative di media sosial. Indonesia Indicator mencatat sentimen negatif tentang Fadli Zon terkait berita Donald Trump di Twitter memiliki persentase 40,4% sementara yang positif hanya 26,6%. Tidak hanya itu, salah satu kasus yang semakin menambah citra buruk pemimpin bangsa adalah laporan yang diajukan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, kepada Mahkamah Kehormatan Dewan DPR, Ketua DPR Setya Novanto disebut meminta jatah saham dan proyek pembangkit listrik dari PT Freeport Indonesia seraya mengatakan bahwa saham itu akan diberikan kepada presiden dan wapres. Pada transkrip itu, Setya disebut menjanjikan bisa memperpanjang kontrak Freeport yang berakhir pada 2021 mendatang. Namun, Setya meminta imbalan berupa 20% saham yang menurutnya akan dibagikan kepada Presiden Joko Widodo sebanyak 11% dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebanyak 9%.
Atas kedua indikator perbandingan kerja di atas, kini hanya fakta yang dapat berbicara dan menjelaskan mana pihak yang memperjuangakan kemajuan bangsa dengan sekaligus memperjuangkan nama baik bangsa Indonesia dan mana pihak yang hanya menginginkan fasilitas mewah dan megah yang ditawarkan negara tanpa memerdulikan feedback yang nyata untuk negara. Selain itu, berdasarkan fakta di atas, dapat dilihat mana pihak yang berjuang memperoleh investasi dan saham, dan mana pihak yang sekedar memperjuangkan selogan “Papa Minta Saham”.
Menyikapi permasalahan yang saat ini guming diberbincangkan oleh masyarakat Indonesia yaitu kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh Ketua DPR atas perbuatannya yang melakukan pencatutan nama presiden dan wakil presiden, kita sebagai masyarakat Indonesia sudah semestinya mengharapkan pemimpin yang tidak hanya mementingkan kekayaannya sendiri dan tidak menjadi cermin bagi masyarakat Indonesia. Sudah saatnya kita memilih pemimpin yang memiliki visi untuk memajukan Indonesia dan terhindar serta anti terhadap berbagai upaya yang ingin mengerdilkan eksistensi bangsa Indonesia melalui berbagai tindakan yang tidak terpuji. Tujuan dari masyarakat Indonesia memilih pemimpin dengan harapan akan membawa Indonesia lebih maju kedepannya dan dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan nasional Indonesia, bukan pemimpin yang saling bekerja sama untuk melakukan kecurangan terhadap negara yang dapat menggadaikan nama baik bangsa Indonesia di mata masyarakatnya sendiri dan dunia. Oleh karena itu, sebagai pionir pejuang nama bangsa, kita sebagai masyarakat Indonesia sudah sepatutnya mulai memilih dengan cerdas pemimpin yang mencalonkan diri pada pemilihan umum. Pionir yang cerdas adalah pemilih yang mampu melihat track record dan kemampuan calon pilihannya agar tidak terulang tragedi yang dapat merugikan bangsa Indonesia. Berdadarkan perbandingan hasil kerja di atas, dapat dijadikan perbandingan track record antara kerja nyata yang menghasilkan hasil yang nyata dan kerja yang hanya menghasilkan laporan penggunaan keuangan negara.
Achmad Irfandi, penulis adalah pemerhati masalah bangsa
Komentar