PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Berkaca Kembali Membangun Toleransi

Rabu, 05 Agustus 2015

00:00 WITA

Nasional

2251 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

 Opini, suaradewata.com- Bangsa Indonesia adalah termasuk negara yang penduduknya majemuk dalam suku, adat, budaya dan agama. Kemajemukan dalam hal agama terjadi karena masuknya agama-agama besar ke Indonesia. Perkembangan agama-agama tersebut telah menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama, dimana kehidupan keagamaan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Suatu bukti dalam hal ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah, sangat dipengaruhi antara lain oleh motivasi agama. Proses penyebaran dan perkembangan agama-agama di Indonesia berlangsung dalam suatu rentangan waktu yang cukup panjang sehingga terjadi pertemuan antara yang satu dengan yang lainnya.  Dalam pertemuan agama-agama tersebut timbullah potensi integrasi dan potensi kompetisi tidak sehat yang dapat mengakibatkan disintegrasi. Potensi kompetisi berarti suasana saling persaingan dalam dinamika pergaulan, baik intern umat beragama maupun antar umat beragama. Kompetisi ini dapat berjalan secara baik atau dalam suasana damai, dan dapat pula terjadi dalam berbagai bentuk pertentangan, benturan atau friksi. Dalam sejarah kehidupan keagamaan di Indonesia diakui pernah terjadi ketegangan atau friksi, namun masih dalam batas-batas kewajaran sebagai suatu dinamika dalam hubungan pergaulan atau interaksi antar umat beragama.

 Peristiwa Tolikara, Papua

 Peristiwa Tolikara di Papua, menjadi keprihatinan kita semua. Perilaku bentuk ekstrim dalam penyerangan terhadap umat Islam saat melaksanakan ibadah Idul Fitri, memang tidak dapat dibenarkan, tetapi yang harus dicari adalah siapa pemicu dari semua perbuatan tidak terpuji tersebut, yang mencederai kerukunan umat beragama di rumah Indonesia. Negara yang memiliki Pancasila dan meletakan sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa’, sejatinya adalah meletakkan masyarakat Indonesia yang bermarwah dengan meletakan, manusia Indonesia tidak hanya mengenal akan Tuhan pemilik Alam Semesta yang menciptakan keberagaman, tetapi juga sekaligus mengajarkan dan memberitakan pada semua negara di dunia, dengan keberagaman dalam kontekstual keyakinan menjalankan aktivitas keyakinan dilindungi oleh UUD 1945-yang telah diamandemen dengan penguatan Pasal 28 BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Maka tidak ada lagi alasan sekelompok golongan menolak keyakinan manusia Indonesia dalam menjalankan keyakinannya yang telah ditetapkan Negara yang diakui legalitasnya secara sah oleh negara dan secara kelaziman dalam perspektif norma masyarakat, untuk saling menghargai atas perbedaan tersebut. Salah satu penyebab terjadinya ketegangan atau konflik dalam kehidupan beragama adalah akibat politik pecah belah penjajah. Dalam usaha politik tersebut, penjajah sering memanfaatkan perbedaan agama atau paham agama untuk menumbuhkan atau mempertajam konflik¬-konflik di kalangan bangsa Indonesia yang sedang berjuang menentang pemerintahan kolonial. Suasana ketegangan dan pertentangan dalam kehidupan beragama yang akarnya telah ditanamkan oleh penjajah terbawa pula ke dalam alam kemerdekaan. Gejala-gejala terjadinya perselisihan antar umat beragama muncul ke permukaan sekitar akhir tahun 1960 an dan sampai saat ini. Di antaranya adalah kasus perusakan tempat-tempat ibadah dan cara-cara penyiaran agama kepada orang yang telah memeluk suatu agama. Kompetisi tidak sehat yang berakibat disintegrasi dan perselisihan cenderung nampak berjalan terus, sekalipun benturan fisik tidak pernah terjadi.“Bila terjadi masalah yang membawa nama agama, tetap selesaikan dengan kepala dingin dan damai, tanpa harus saling tunjuk dan menyalahkan”.

Kerukunan Umat Beragama

Kerukunan beragama dalam keanekaragaman budaya dan adat istiadat sudah menjadi aset bangsa Indonesia yang harus terus tetap dijaga. Kita tahu bahwa agama masyarakat Indonesia sangat beragam dan berbeda-beda. Di sisi lain, perbedaan adalah budaya Indonesia. Kita lihat perbedaan agama sebagai kekayaan bangsa Indonesia dimana dengan perbedaan tersebut masyarakat dapat saling menghargai atau menghormati satu sama lain dan memperkaya keimanan dan nilai keagamaannya masing-masing. Perbedaan tidak perlu kita jadikan sebagai alasan adanya sebuah pertentangan yang dapat merusak kerukunan umat beragama di Indonesia. Namun kita harus menganggap perbedaan itu sebagai satu dorongan untuk menciptakan ruang lingkup yang aman, nyaman dan jauh dari pertentangan. Berbagai kendala pun sering kita hadapi untuk menciptakan kerukunan beragama, baik kendala dari luar maupun dari negeri kita sendiri. Masyarakat Indonesia selalu yakin bahwa kendala yang ada dapat diatasi. Karena banyak kendala yang kita hadapi, bangsa Indonesia juga memiliki banyak solusi untuk menyelesaikannya. Dari berbagai pihak telah sepakat untuk saling toleransi agar terjadi kerukunan beragama. Baik pihak dari golongan rakyat, pemerintah maupun organisasi dan instransi tertentu, turut berpartisipasi dan berperan aktif dalam kehidupan beragama.Komunikasi antar sesama yang kondusif adalah tujuan utama dari kerukunan beragama agar tercipta lingkungan yang nyaman dan jauh dari konflik perbedaan agama. Selain itu, kerukunan beragama bukan merupakan kebutuhan atau tuntutan dari pemerintah, namun merupakan kewajiban yang lebih luasnya mengenai kemanusiaan. Karena hidup rukun dan damai adalah  kewajiban kemanusiaan dari diri setiap orang. Oleh sebab itu, orang yang tidak menghargai atau tidak toleransi sesama umat beragama berarti menolak kemanusiaan. Oleh karena itu, bangunlah kehidupan beragama dengan kerukunan dan kedamaian antar umat beragama. Kerukunan beragama  bertujuan untuk menciptakan interaksi sosial yang baik dan merupakan kepentingan negara dalam mewujudkan negara yang aman, damai dan nyaman.Hal ini sangat penting demi menjaga tali kerukunan umat beragama di Indonesia, karena jika rasa toleransi antar umat beragama di Indonesia sudah tinggi, maka konflik – konflik yang mengatasnamakan Agama di Indonesia dengan sendirinya akan berkurang ataupun hilang sama sekali. Bila terjadi masalah yang membawa nama agama, tetap selesaikan dengan kepala dingin dan damai, tanpa harus saling tunjuk dan menyalahkan. “Sudah saatnya bukan perbedaan lagi yang kita cari atau yang kita bicarakan, tapi persamaanlah yang seharusnya kita cari karena dari persamaanlah hidup ini akan saling menghargai, menghormati dan selaras. Lewat persamaan kita bisa jalin persaudaraan dan mempererat tali silahturahi, dengan begitu akan  tercipta kerukunan dengan sendirinya”.

Tolak Upaya Provokasi

Damai terkoyak di tanah Papua. Di Tolikara keberagaman seperti hendak digiring ke keseragaman. Kebinekaan dipaksa menjadi kemanunggalan. Toleransi berubah menjadi emosi. Inilah ujian bagi keberagaman dan toleransi kita sebagai bangsa yang beragam. Untuk itu, perlu peran para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah dalam pencapaian solusi yang baik dan tidak merugikan pihak-pihak manapun, atau mungkin malah menguntungkan semua pihak. Hal ini diperlukan karena di Indonesia ini masyarakatnya sangat beraneka ragam. Ulama mengimbau umat Islam menahan diri. Para tokoh agama, adat, dan masyarakat di Papua menyesalkan peristiwa itu dan meminta maaf kepada umat Islam diseluruh Indonesia atas kejadian tersebut. Aparat pun segera memediasi kedua belah pihak.
Namun yang utama adalah penegakkan hukum secara adil akan menepis anggapan negara berlaku diskrikinatif. Untuk itu, negara harus menghukum siapa pun, dari kelompok mana pun, yang kelak terbukti melanggar hukum dalam peristiwa Tolikara. Penegakkan hukum juga akan menghadirkan efek jera sehingga orang akan berpikir seribu kali ketika hendak menyerang orang lain yang berbeda paham. Tanpa penegakkan hukum orang akan mengulang perbuatan serupa. Dengan berbagai upaya itu, kita berharap rusuh Tolikara tidak meluas. Semoga bangsa Indonesia berhasil meredamnya sehingga konflik tersebut dan juga bisa meredam dendam (bukan memendamnnya dan sewaktu-waktu meluapkannya). Jangan lagi ada yang memanas-manasi dan memprovokasi. Pejabat dan politisi jangan pula memproduksi pernyataan yang meresahkan, yang membikin situasi makin ruwet. Lebih dari semua itu, kita semua mesti menanamkan dalam-dalam di hati dan pikiran kita bahwa kita beragam. Masyarakat Indonesia sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di Indonesia untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama. Jika hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.

      “Insiden Tolikara menjadi pelajaran berharga yang menggugah kita untuk bersikap toleran dan solider demi merawat keberagaman, “Tidak ada jalan lain dalam menghadapi keberagaman yang menjadi hukum alam itu kecuali dengan toleransi dan solidaritas.”

Fajri Permana, Penulis adalah Pengamat Masalah Bangsa

 


Komentar

Berita Terbaru

\