PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Revisi UU TNI dan RUU Polri, Perkuat Ketahanan Nasional dan Tingkatkan Profesionalisme Personil

Senin, 14 April 2025

20:09 WITA

Nasional

1172 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

RUU TNI dan RUU Polri

Oleh: Caleb Setiawan )*

 

Polemik mengenai revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan wacana Rancangan Undang-Undang Kepolisian (RUU Polri) berkembang bukan sekadar sebagai perdebatan hukum, tetapi telah memasuki ranah yang lebih luas dan kompleks. Gelombang penolakan yang muncul belakangan ini bukan hanya dibentuk oleh perbedaan pendapat, melainkan tampak diarahkan oleh narasi provokatif yang mengancam stabilitas nasional. Dalam situasi seperti ini, sikap kehati-hatian perlu dikedepankan, terutama mengingat pentingnya menjaga kedaulatan dan keamanan negara dari potensi disrupsi internal maupun eksternal.

Revisi UU TNI yang saat ini sedang dibahas sebenarnya memiliki semangat utama untuk memperkuat ketahanan nasional, meningkatkan profesionalisme prajurit, dan menyempurnakan peran institusi pertahanan dalam konteks zaman yang terus berkembang. Hal ini sejalan dengan pandangan Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Hariyanto, yang menilai bahwa perubahan tersebut tetap mengedepankan prinsip supremasi sipil serta tidak bertentangan dengan reformasi militer yang telah berlangsung sejak era awal 2000-an. Mekanisme dan kriteria yang diatur dalam rancangan undang-undang pun didesain dengan ketat, memastikan bahwa peran militer di luar struktur pertahanan hanya dilakukan dalam kerangka kebutuhan nasional yang objektif dan mendesak.

Namun demikian, narasi yang berkembang di ruang publik seolah diarahkan untuk menciptakan ketakutan dan kecurigaan. Penolakan terhadap perluasan peran prajurit aktif di kementerian dan lembaga sipil dibingkai sebagai ancaman terhadap demokrasi, padahal regulasi tersebut bertujuan mendukung efektivitas negara dalam menghadapi tantangan multidimensional, termasuk keamanan maritim, penanggulangan narkotika, dan ketahanan siber. Penyesuaian batas usia pensiun pun dianggap sebagai bentuk monopoli kekuasaan, padahal faktanya, hal ini justru bertujuan agar pengalaman dan kapasitas prajurit yang masih prima tetap dapat dimanfaatkan tanpa mengorbankan sistem regenerasi yang sudah berjalan.

Gelombang penolakan yang meluas dan terkoordinasi telah memunculkan kekhawatiran di kalangan pengamat strategis. Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari, memandang bahwa fenomena ini menunjukkan adanya pola yang menyerupai perang asimetris, di mana narasi-narasi provokatif digunakan untuk melemahkan institusi pertahanan nasional dari dalam. Ia mencermati korelasi antara peningkatan tensi geopolitik kawasan Asia-Pasifik dan upaya-upaya sistematis untuk mengganggu konsolidasi kekuatan negara-negara berkembang. Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara kepulauan yang strategis diyakini sedang menjadi sasaran dari agenda asing yang tidak menghendaki tumbuhnya kekuatan regional baru.

Indikasi keterlibatan aktor-aktor transnasional semakin menguat seiring dengan pola serupa yang pernah terjadi di beberapa negara lain. Pengalaman dari Eropa Timur dan Timur Tengah menunjukkan bagaimana isu demokrasi kerap dimanipulasi menjadi alat tekanan politik terhadap negara yang tengah menguatkan institusi pertahanannya. Di Indonesia, narasi penolakan yang dibentuk pun lebih sering dibangun melalui pendekatan emosional dan persepsi sepihak ketimbang pemahaman objektif terhadap isi revisi.

Kepala Staf Resimen Mahasiswa Indonesia, M. Arwani Deni, juga melihat bahwa arah polemik ini tidak dapat dilepaskan dari posisi Indonesia yang kini semakin strategis dalam konstelasi global, terlebih sejak masuk ke dalam BRICS. Keberpihakan Indonesia terhadap tatanan dunia multipolar menjadi perhatian bagi kekuatan global tertentu yang selama ini mendominasi arsitektur politik dan ekonomi internasional. Langkah Indonesia untuk memperkuat sistem pertahanannya dipandang sebagai ancaman terhadap status quo yang selama ini dikendalikan oleh poros Barat.

Penolakan terhadap revisi UU TNI juga dinilai sarat muatan geopolitik karena terjadi di tengah rivalitas kawasan, khususnya antara Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan Pasifik. Dalam situasi ini, berbagai kebijakan strategis Indonesia berpeluang menjadi target manuver kekuatan besar yang ingin mempertahankan pengaruhnya. Maka tidak mengherankan apabila setiap upaya peningkatan kapasitas militer Indonesia langsung dibenturkan dengan wacana anti-demokrasi, meskipun sejatinya tidak ada satu pasal pun yang mengindikasikan kembalinya militer ke politik.

Di sisi lain, wacana revisi UU Polri juga menjadi bahan spekulasi yang dibumbui dengan ketidakakuratan. DPR menegaskan bahwa belum ada pembahasan resmi terkait RUU tersebut, sehingga narasi yang dibangun di luar mekanisme resmi hanya akan memperkeruh situasi. Isu ini perlu diluruskan agar tidak dimanfaatkan sebagai bahan agitasi terhadap lembaga penegak hukum yang justru sedang diharapkan memperkuat profesionalisme dalam merespons tantangan zaman.

Indonesia membutuhkan kekuatan nasional yang kokoh dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Dalam konteks ini, penguatan militer dan kepolisian merupakan bagian integral dari strategi jangka panjang untuk menjaga keutuhan negara. Ketika ada upaya untuk membingkai langkah strategis ini sebagai bentuk ancaman, maka masyarakat harus cermat memilah informasi dan tidak terjebak pada narasi provokatif.

Ketika opini publik diarahkan oleh provokasi yang tidak berdasar, maka bukan hanya diskursus kebangsaan yang terganggu, melainkan juga legitimasi terhadap lembaga-lembaga strategis negara. Untuk itu, sinergi antara pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan media menjadi penting agar kebijakan yang dilahirkan demi kedaulatan bangsa tidak digiring ke dalam konflik horizontal yang merugikan semua pihak. Indonesia harus berdiri tegak sebagai bangsa yang tidak mudah diintervensi, baik oleh tekanan dalam negeri yang dimanipulasi maupun oleh kekuatan luar yang berkepentingan. Kewaspadaan kolektif menjadi kunci dalam menjaga stabilitas nasional agar tetap utuh, kuat, dan berdaulat.

 

)* Analisis Kebijakan Publik


Komentar

Berita Terbaru

\