Menghapus Mitos Neoliberalisme di Era Jokowi
Rabu, 17 Oktober 2018
00:00 WITA
Nasional
3063 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Saat ini ramai diperbincangkan di publik tentang Neoliberalis atau Antek Asing dengan menuduh Presiden Jokowi menggunakan sistem tersebut sehingga menciptakan ekonomi kebodohan sehingga istilah Neoliberalis jadi populer sekarang. Namun, apakah kita benar benar memahami apa arti dari neoliberalis tersebut dan beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan kita bersama.
Neoliberalisme adalah paham ekonomi yang mengutamakan sistem kapitalis perdagangan bebas, ekspansi pasar, Privatisasi/Penjualan BUMN, Deregulasi/Penghilangan campur tangan pemerintah, dan pengurangan peran negara dalam layanan sosial (Public Service) seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Neoliberalisme dikembangkan tahun 1980 oleh IMF, Bank Dunia, dan Pemerintah AS dengan tujuan untuk menjadikan negara berkembang sebagai sapi perahan AS dan sekutunya.
Kondisi tersebut jelas berbeda dengan Indonesia. Sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara masif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997. Diawali dengan kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.
Indonesia telah dijerat Neoriliberal sejak tahun tersebut, namun sekarang kita bisa melihat perkembangan dan usaha nyata yang dilakukan Presiden Jokowi yaitu saham PT Freeport Indonesia yang saat ini dipegang negara sebesar 51%, saham freeport yang menjadi permasalahan di rezim SBY saat ini tertangani dan selesai. Kemudian, isu yang digunakan Amien Rais untuk menantang Presiden Jokowi setelah kasus hoax Ratna Sarumpaet yaitu mengenai Blok Rokan yang telah dikuasai oleh PT. Chevron sejak tahun 1971 yang akan habis masa kontraknya pada tahun 2021 dan setelah itu akan dikelola oleh Pertamina secara langsung tidak ada lagi pihak asing di blok rokan.
Prabowo mengatakan pemerintah saat ini menggunakan sistem perekonomian kebodohan dan neoliberalisme, dilihat dari fakta yang telah dijabarkan diatas, pernyataan Prabowo tidak memiliki dasar. Presiden Jokowi mulai mengambil aset Indonesia yang berada di asing secara satu persatu, perlahan tapi pasti, karena pada dasarnya dalam hubungan internasional terdapat proses yang harus dilaksanakan dan persiapan yang matang untuk pengambilan. Di sisi lain, tidak ada jaminan Prabowo akan berhasil menghilangkan pengaruh asing di Indonesia, karena rekam jejak pengalaman Prabowo sangat minim dalam level pengambilan keputusan negara.
Dalam hubungan internasional setiap negara harus punya sesuatu yang dapat di tunjukan ke negara lain yang ingin diajak berkerja sama, oleh karena itu Presiden Jokowi membangun infrastruktur secara massal dengan tujuan menarik investor, sehingga terjadi hubungan mutualisme antara dua negara, hal ini tidak hanya berhenti disini, kerja sama tersebut akan juga berakhir kepada keputusan eksport dan import. Hubungan antar negara telah berlangsung sejak lama dan tidak ada negara yang bisa hidup tanpa adanya bantuan dari negara lain dan tidak ada negara maju yang tidak berhubungan baik dengan negara lainnya.
Oleh karena itu, masyarakat harusnya mampu menilai, pernyataan politis yang menggunakan isu ekonomi yang tidak di mengerti masyarakat guna mencari dukungan untuk kepentingan pribadi. Strategi timses Prabowo yang mengangkat kembali isu neoliberalisme sebagai mitos yang belum tentu jelas kebenarannya, merupakan salah satu upaya untuk menjatuhkan kredibilitas dan kinerja Pemerintahan Jokowi. Bagaimana dengan 5 tahun lagi jika Presiden Jokowi memimpin kembali? Pasti akan banyak pencapaian lainnya yang dapat memajukan Indonesia, bukan hanya sebatas slogan seperti ’make Indonesia great again’ melainkan suatu bukti nyata dan langkah untuk selalu bekerja demi Indonesia maju dengan ‘kerja kerja kerja’.
Oleh : Setiadi Suseno (Pengamat Ekonomi)
Komentar