PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Membangun Kohesi Sosial Beragama

Selasa, 02 Februari 2016

00:00 WITA

Nasional

5116 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Opini, suaradewata.com -Sejak dulu, kerukunan umat beragama di Indoenesia selalu dirawat, sebab beragam keyakinan dan agama mewarnai tanah yang menjadi bagian dari Asia Tenggara ini. Tetapi itu ternodai dengan munculnya sebuah gerakan yang tidak mencerminkan adanya nilai kerukunan umat beragama. Bila ditelisik lebih jauh, setidaknya persoalan di atas muncul ke permukaan akibat adanya radikalisasi agama. Maka dari itu, perbedaan merupakan keniscayaan yang mesti dan harus diterima oleh semua orang dalam kehidupannya. Fakta menunjukkan bahwa manusia memang makhluk unik dan khas. Keunikan dan kekhasan ini dalam konteks bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat akan menimbulkan keragaman tatanan sosial dan kebudayaan. Keragaman ini seperti ditunjukkan oleh Indonesia yang merupakan negara-bangsa terdiri atas beragam etnis, agama, dan bahasa. Keragaman ini perlu dikelola secara serius dan sungguh-sungguh dalam suatu bentuk tatanan nilai yang dapat dibagi bersama. Oleh karena itu, kepluralistikan masyarakat Indonesia sungguh merupakan tantangan yang menuntut upaya sungguh-sungguh dalam bentuk transformasi kesadaran multikultural. Suatu kesadaran yang diarahkan kepada identitas nasional, integrasi nasional, dan kesadaran menempatkan agama untuk kesatuan bangsa. Dengan demikian, kesatuan Indonesia dapat ditegakan sejalan dengan teks ideal Bhinneka Tunggal Ika.

Terlalu banyak ujian dalam upaya mewujudkan kerukunan umat beragama di Indonesia. Betapa tidak, pemerintahan di era reformasi selalu berikhtiar memperbaiki keadaan bangsa dibandingkan masa sebelumnya. Titik balik reformasi bukanlah isapan jempol dan harapan-harapan atas perubahan akhirnya berbuah kekecewaan. Di mana-mana muncul frustrasi sosial, eskapisme, pesimisme, atau keputusasaan menghadapi masa depan kehidupan bangsa yang tidak menentu. Kerusuhan bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) menunjukkan masih rentannya kohesi sosial bangsa. Cita-cita membangun Indonesia yang satu, sebagaimana diformulasikan oleh pendiri negara (The Founding Father and Mothers) seakan sirna ketika desing peluru, hujaman meriam, dan sabetan pedang menyimbahkan darah saudara-saudaranya sendiri. Doktrin perdamaian dan persaudaraan yang dibangun dan dijaga sejak zaman nenek moyang, akhirnya diruntuhkan dan diinjak-injak oleh anak cucunya sendiri dengan wajah angkara murka. Emosi dendam pun mengalahkan rasionalitas perdamaian.  Kerukunan sosial seolah menjadi mimpi ketika sesama anak bangsa sulit mewujudkan titik akur. Konflik paling laten di NKRI selalu berwarna SARA, terutama konflik berlatar belakang suku dan agama. Masalahnya, konflik antar-suku mungkin bisa diatasi dengan kerangka resep nasionalisme, akan tetapi konflik antar-agama sulit ditherapy dengan hanya mengandalkan jargon kebangsaan. Pasalnya, agama selalu dipandang sebagai entitas supra-nasional. Terlebih lagi bom yang terjadi di Jalan MH Thamrin tepatnya di depan Plasa Sarinah Jakarta diduga bom bunuh diri yang dilakukan terorisme yang notabene sekelompok agama garis keras. Inilah isu yang  sangat menarik perhatian masyarakat di Indonesia sebagai obyek omongan orang dari warung ke warung. Sebuah isu yang sangat menarik perhatian pemerintah dalam menciptakan kondisi kerukunan umat beragama dalam sebuah gejala sosial.

Kerukunan umat beragama harus dibangun dalam kerangka kohesi sosial yang utuh dan solid. Kerukunan umat beragama akan menjadi cermin masa depan bangsa. Pilihannya hanya dua : mau menjadi “cermin retak” atau “cermin bening”. Berbagai pertentangan yang muncul harus diatasi dalam kerangka etika demokrasi, bukan malah dalam kerangka “hukum rimba”, sekalipun mengatasnamakan doktrin keyakinan agama masing-masing. Demokrasi kebangsaan harus mengatasi (menjadi “penengah”) semua paham yang ada, termasuk paham keagamaan. Dalam rangka menciptakan keberhasilan pembangunan di bidang agama khususnya dalam hal pembinaan kerukunan hidup beragama yang dinamis, maka semua pihak baik pemerintah maupun umat beragama berkewajiban dan sangat berkepentingan untuk senantiasa berusaha membina dan memelihara bagi terciptanya suasana dan kehidupan beragama yang penuh kerukunan. Pembinaan dan pemeliharaan kerukunan tersebut antara lain, dengan cara menghindarkan serta menghilangkan permasalahan yang muncul dilingkungan umat beragama dan masyarakat pada umumnya. Sehingga umat beragamapun dapat terhindar dari permasalahan yang akan merugikan bagi terciptanya stabilitas serta kelancaran jalannya pembangunan.

Sekarang yang perlu diperhatikan adalah upaya merawat dan berusaha mengaplikasikan tri kerukunan umat beragama itu dalam kehidupan sehari-hari perlu dimaksimalkan. Kita ketahui bersama bahwa konsep itu dirumuskan dengan teliti dan bijak agar tidak terjadi pengekangan atau pengurangan hak-hak manusia dalam menjalankan kewajiban dari ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Karenanya, sangat tidak elok bila konsep itu dirusak hanya demi kepetingan tertentu. Perlu diingat, ketika kondusifitas di dalam negara terjamin, maka akan berimbas pada meningkatnya rasa nasionalisme. Umat beragama akan semakin merasa sangat memiliki dan menyintai negara yang udaranya terhirup tiap detik, jika keamanan dan ketentraman tidak terusik oleh sesuatu apa pun, lebih-lebih yang ditimbulkan oleh isu keagamaan.

Pedro Permana, Penulis adalah Pengamat Sosbud


Komentar

Berita Terbaru

\