PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Tradisi Unik, Perang Taluh dan Perang Lidi di Desa Kayubihi

Kamis, 30 Juli 2015

00:00 WITA

Bangli

5533 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Bangli, suaradewata.com  - Selain terkenal dengan keindahan alamnya dan hawanya yang sejuk. Kabupaten Bangli juga banyak menyimpan berbagai tradisi unik dan menarik. Salah satunya, tradisi perang taluh dan perang lidi di desa Kayubihi, Bangli. Hanya saja, kedua tradisi perang ini hanya dilaksanakan serangkain Karya Ngusabha Kelod di Pura Posa, desa Kayubihi yang biasanya setiap dilaksanakan setiap 2 tahun sekali. Namun karena ada halangan berupa sebel dan adanya pembangunan pura di desa setempat, ritual ini baru dilaksanakan kembali setelah 22 tahun tidak pernah digelar.

Sebelum perang lidi dimulai, warga terlebih dahulu menggelar perang taluh atau metaluh-taluhan. Layaknya perang sungguhan, ratusan warga pun terlibat bentrok dan saling serang dengan menggunakan taluh yang dibuat dari anyaman daun kelapa atau enau dan dibentuk sedemikian rupa menyerupai bola. Karena melibatkan warga yang banyak, perang taluh digelar di depan pura Posa.

Menurut Bendesa Adat Kayubihi, I Wayan Sadia baik tradisi perang taluh maupun perang lidi digelar dengan tujuan sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan atas suksesnya pelaksanaan karya Ngusabha Kelod di Pura Posa yang sudah berjalan lancar dan hikmat. Dalam perang taluh, sarana yang dipergunakan berupa taluh-taluhan yang dibuat dari anyaman daun kelapa atau enau yang dibentuk menyerupai bola dengan ukuran sebesar kepalan tangan,” jelasnya, Kamis (30/07/2015).

Kata dia, perang taluh ini merupakan rangkaian dari prosesi Nyunding yang bermakna menunjukkan kegembiraan masyarakat karena telah diberikan kemakmuran. Selian itu, saat aksi saling lempar mulai, masyarakat tidak diperkenankan marah maupun dendam. “Tradisi ini juga dimaksudkan untuk mengimplementasikan konsep Tri Kaya Parisudha. Saat saling lempar, peserta pantang berkata kasar, marah, dan juga tidak boleh dendam karena perang yang dilakukan semata-mata adalah ungkapan kegembiraan,” tegasnya.

Sesuai pantauan dilokasi, peserta perang ini melibatkan ratusan warga terdiri dari kelompok pemuda dan warga yang sudah menikah atau krama pemuit yang kedudukanya diurutan terakhir dari system ulu apad yang dianut desa setempat. Sebelum perang dimulai, warga melakukan persembahyangan bersama. Sementara taluh-taluhanya dieram terlebih dahulu oleh para gadis desa setempat. Dijelaskan Sadia, ritual mengeram taluh ini, disimboliskan sebagai proses lahirnya sebuah perubahan yang tentunya diharapkan untuk menjadi lebih baik.

Selanjutnya, perang pun pecah  dipandu langsung oleh bendesa adat setempat. Atura dalam perang tersebut, pertama, Jero Truna dikalahkan dan didesak mundur sampai Pura Sepat Sikut (sebelah utara pura pausa). Kedua, krama desa mendesak Sekaa Truna sampai sebelah selatan bale banjar. Aksi saling serang tersebut dilakukan sebanyak tiga kali dan perang berakhir ditandai dengan malukat bersama-sama di Pura Pasiraman Pura Dalem Pingit.

Usai perang taluh, selanjutnya warga menggelar tradisi ngejot kawisan yang dikhususnya kepada para janda yang ada dilingkungan desa adat setempat. Sementara perang lidi baru dimulai pada malam harinya. Seperti halnya perang taluh, perang lidi yang dilakukan ratusan warga ini juga tak kalah serunya. Kali ini, ratusan warga saling serang dengan menggunakan senjata berupa satu ikat lidi pohon enau.  “Baik perang lidi maupun perang taluh, tujuannya sama, sebagai ungkapan kegembiraan,” jelasnya.  Karena perang ini terbilang sakral,  lidi yang dipergunakan tidak sembarangan termasuk jumlahnya juga ditentukan. Kata Sadia, untuk warga umum menggunakan sebanyak tiga batang lidi dalam satu ikat. Sementara untuk para pengelingsir, jumlah lidi yang dipergunakan sebanyak lima batang dengan beralaskan daun dapdap.

Warga pun kembali terlibat saling serang satu sama lain dengan menggunakan senjata lidi tersebut. Tidak sedikit warga harus pontang-panting dan terpaksa menghindar agar tidak terkena pecutan lidi lawan. Meski demikian,  yang tampak justru suasana kegembiraan warga. Perang ini dilakukan dalam hitungan menit dan diakhirnya dengan sorak sorai kegembiraan warga. ard


Komentar

Berita Terbaru

\