PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Petani Di Buleleng “Menjerit”, Padi Mati Dilumbung Air

Rabu, 04 September 2024

11:36 WITA

Buleleng

1508 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Kondisi Padi Petani mengalami kekeringan dan nyaris gagal panen. sumber foto : gd1/SD

Buleleng, suaradewata - Sejumlah petani padi di kawasan Buleleng mengeluhkan kondisi hasil panennya yang tak sesuai dengan modal dan tenaganya. “Beras (Harga, red) naik tapi petani tetap saja menjerit,” ujar Gusti Made Puspa (70), petani yang tinggal di Desa Panji Anom, Sukasada, Selasa (3/9).

Puspa yang menanam diatas lahan 60 are tersebut mengaku kondisi padinya kerdil dan tidak berbuah sempurna. Menurutnya, bulir padi hanya tumbuh di bagian atas saja sedangkan dibagian bawahnya banyak yang kosong. Dikonfirmasi terkait dengan kendala hama tanaman, ia mengaku untuk populasi hama di areal tanamnya tetap ada namun tidak terlalu banyak. Lalu, apa permasalahannya?

Menurut penuturannya, sirkulasi pembangian air pada sistem persubakan menjadi kendala dalam penanaman. Dikatakan, dalam persubakan ada istilah yang namanya sistem Padi Gadon dan Padi Gadon Usaha. Pada sistem Padi Gadon, selalu menjadi prioritas utama karena penanamannya dilakukan berkelompok dan menjadi kesepakatan dalam rapat subak. Contohnya, ada jalur air pada saluran irigasi barat dan timur yang mana pada saluran irigasi barat terdapat lebih dari 4 orang petani yang lahannya ditanam padi maka masuk kategori sebagai Subak Gadon.

Sementara apabila di saluran irigasi timur hanya ada 1 orang petani yang menanam padi, maka masuk ke sistem padi gadon usaha. Yang mana, sistem pemberian jatah air antara padi gadon dengan padi gadon usaha pun berbeda tingkat rutinitasnya.

“Sawah saya baru dapat air 20 hari sedangkan yang padi gadon lebih cepat dapat pengairan dibanding yang usaha. Makanya, tanaman padi kerdil semua dan tidak berbuah,” katanya.

Dari hasil penanaman seluas 60 are miliknya, hanya ditawar tengkulak seharga kurang dari Rp100 ribu/ are hasilnya. Sementara pengeluaran hampir mencapai Rp1.500.000m- ribu hanya untuk pupuk saja.

“Belum sewa traktor, tenaga tanam dan perawatan gulma. Karena untuk tenaga tanam dan perawatan gulma saya upayakan sendiri untuk memperkecil modal pengeluaran,” katanya.

Ironisnya, kondisi dilahan tanamnya berbeda dengan kondisi lahan tanam di wilayah yang dikelolanya. Puspa yang merupakan pengurus subak diwilayah Tempekan Teben mengaku hasil tanam petani disana bagus. Ada yang mencapai penjualan Rp10 juta sampai dengan Rp15 juta dibanding dirinya yang hanya Rp5 juta untuk hasil penjualan padinya.

Kondisi yang sama juga turut berlaku di sejumlah sawah kawasan Desa Panji. Hal yang sama namun sedikit lebih beruntung. Seperti yang diungkapkan Made Edi Candra (38), warga yang menjadi anggota Tempekan Babakan, Subak Panji.

Petani muda ini mengungkapkan bahwa dirinya masih sedikit beruntung dibanding beberapa petani lain disekitarnya. Harga padi jenis IR 64 yang ditanamnya dibeli tengkulak seharga Rp200.000/ are.

“Yang disekeliling saya banyak yang gagal panen dan banyak yang mati lepas tanam. Bukan pada hama tetapi permasalahannya adalah pada sistem pengelolaan air. Itu kalo saya tidak sering ngotot dalam jadwal pembagian air yang sering kali dirubah oleh pengurus, mungkin nasib padi saya akan sama dengan padi petani lainnya,” ungkap Candra yang kerap mengaku kesal terhadap sistem pengelolaan air persubakan.

Dirinya mengaku heran, seharusnya jika para pengurus persubakan itu berpikir mengikuti program ketahanan pangan yang selama ini pemerintah pusat dan daerah sering publikasi, petani penanam padi harusnya menjadi prioritas untuk mendapat perhatian lebih.

Menurut Candra, kondisi pengairannya berbeda dengan kondisi pengairan di kawasan Desa Panji Anom. Di sistem pengelolaan subak areal tanamnya, distribusi air untuk sawah diberikan cukup bervariasi. Ada yang empat hari sekali mendapatkan air dan yang terlama itu mencapai 12 hari sekali.

Tapi, kondisi distribusi air tersebut pun kadang harus melalui perdebatan cukup alot antara petani dengan pengurus subak. Pasalnya, jadwal yang telah ditetapkan biasanya dirubah mendadak dan itu bukan sesekali saja.

“Kemarin saya sempat dicari larut malam ke rumah untuk diminta menerima jadwal pengairan baru. Padahal jadwal saya harusnya lagi dua hari. Jika saya terima, maka di saat jadwal padi saya mendapatkan pengairan, sering diabaikan dan diundur,” papar petani muda itu.

Yang sejumlah petani heran yakni sejumlah kegagalan panen yang disebabkan pengelolaan sirkulasi air tidak baik terjadi di kawasan lumbung air. Dimana, kawasan Desa Panji dan Panji Anom dikenal sebagai kawasan yang airnya melimpah.

“Coba pikir, lahan pertanian jelas tidak bertambah melainkan berkurang akibat pembangunan perumahan subsidi yang membanjiri kawasan desa (Desa Panji, red) kami. Kondisi ini jauh berbeda dengan kondisi dahulu sebelum masuknya pembangunan perumahan subsidi akan tetapi permasalahan pengairan sawah tidak pernah menjadi masalah sekalipun musim kemarau tiba,” kata Candra.

Logika orang berpikir, lanjut Candra, jumlah petak sawah yang seharusnya berkurang otomatis pengairan tentu lebih melimpah dari yang sebelumnya. Tapi kondisinya malah berbalik dan yang terjadi krisis air. Gd1/adn


Komentar

Berita Terbaru

\