PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Mewaspadai Upaya Politisasi Isu UU TNI dan Wacana RUU Polri

Kamis, 17 April 2025

08:20 WITA

Nasional

1212 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

RUU TNI dan RUU Polri

Oleh : Caleb Setiawan )*

 

Polemik mengenai Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan wacana revisi UU Polri masih menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Isu ini memicu berbagai aksi penolakan maupun dukungan publik di berbagai daerah. Berbagai pihak yang kontra terhadap UU TNI yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 20 Maret 2025 itu menilai bahwa regulasi tersebut akan membawa kembali dwifungsi ABRI seperti masa Orde Baru.

Menanggapi isu itu, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menepis hal tersebut. Menurutnya, RUU TNI yang baru saja disahkan beberapa waktu lalu tidak akan membawa Indonesia menuju era dwifungsi ABRI layaknya Orde Baru. UU tersebut justru membatasi perwira TNI dalam memasuki instansi sipil. Hal ini, justru akan memperjelas koridor TNI agar tidak merambah lagi ke jabatan di kementerian atau lembaga lain di luar yang diatur UU.

Di satu sisi, AHY memahami masih banyak masyarakat yang salah persepsi dalam mengartikan seluruh pasal dalam UU TNI. Karenanya dia berharap ada UU TNI ini dapat disosialisasikan dengan maksimal sehingga masyarakat tahu tujuan utama dari UU tersebut.

Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Kementerian HAM RI, Munafrizal Manan, mengajak publik untuk mengingat kembali, konteks sejarah dan politik antara masa berlakunya dwifungsi ABRI pada masa lalu dan masa sekarang sangat jauh berbeda. Menurutnya, saat ini tidak ada prasyarat politik yang memungkinkan munculnya kembali dwifungsi tentara seperti masa lalu. Dwifungsi ABRI masa lalu dapat terjadi karena ada kekuatan politik yang dominan, sentralistik, monolitik, dan hegemonik.

Munafrizal menambahkan, dwifungsi ABRI pada masa lalu tidak hanya bertumpu pada UU yang berdimensi militer, tapi juga UU berdimensi politik. Oleh karena itu, Munafrizal menegaskan kekhawatiran bahwa perubahan UU TNI akan potensial menimbulkan pelanggaran HAM oleh TNI merupakan kesimpulan yang terlalu dipaksakan.

Disisi lain, Kepala Staf Resimen Mahasiswa Indonesia, M. Arwani Deni, juga melihat bahwa arah polemik ini tidak dapat dilepaskan dari posisi Indonesia yang kini semakin strategis dalam konstelasi global, terlebih sejak masuk ke dalam BRICS. Keberpihakan Indonesia terhadap tatanan dunia multipolar menjadi perhatian bagi kekuatan global tertentu yang selama ini mendominasi arsitektur politik dan ekonomi internasional. Langkah Indonesia untuk memperkuat sistem pertahanannya dipandang sebagai ancaman terhadap status quo yang selama ini dikendalikan oleh poros Barat.

Penolakan terhadap UU TNI juga dinilai sarat muatan geopolitik karena terjadi di tengah rivalitas kawasan, khususnya antara Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan Pasifik. Dalam situasi ini, berbagai kebijakan strategis Indonesia berpeluang menjadi target manuver kekuatan besar yang ingin mempertahankan pengaruhnya. Maka tidak mengherankan jika setiap upaya peningkatan kapasitas militer Indonesia langsung dibenturkan dengan wacana anti-demokrasi, meskipun sejatinya tidak ada satu pasal pun yang mengindikasikan kembalinya militer ke politik.

Untuk diketahui, pembahasan revisi UU TNI sebelumnya telah melibatkan elemen masyarakat. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Kristomei Sianturi membantah narasi yang menyatakan revisi UU TNI dikerjakan secara kilat. Jenderal TNI bintang satu ini mengatakan revisi ini tetap berpegang pada prinsip supremasi sipil. Penyusunannya telah mencakup Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan disusun sesuai dengan prinsip demokrasi serta hukum yang berlaku.

Sementara itu, wacana revisi UU Polri juga menjadi bahan spekulasi yang dibumbui dengan ketidakakuratan. Ketua DPR RI, Puan Maharani telah menegaskan bahwa belum ada pembahasan resmi maupun Surat Presiden (Surpres) terkait RUU tersebut, sehingga narasi yang dibangun di luar mekanisme resmi hanya akan memperkeruh situasi. Isu ini perlu diluruskan agar tidak dimanfaatkan sebagai bahan agitasi terhadap lembaga penegak hukum yang justru sedang diharapkan memperkuat profesionalisme dalam merespons tantangan zaman.

Upaya politisasi terhadap UU TNI dan wacana RUU Polri bukan sekadar perbedaan pandangan, melainkan bagian dari skenario yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Pemerintah telah bertindak sesuai konstitusi dan tetap menjunjung prinsip keterbukaan. Dinamika ini memang bagian dari demokrasi, namun narasi yang berkembang menunjukkan kecenderungan mengarah pada provokasi yang membahayakan stabilitas nasional.

Untuk itu, sinergi antara pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan media menjadi penting agar kebijakan yang dilahirkan demi kedaulatan bangsa tidak digiring ke dalam konflik horizontal yang merugikan semua pihak. Indonesia harus berdiri tegak sebagai bangsa yang tidak mudah diintervensi, baik oleh tekanan dalam negeri yang dimanipulasi maupun oleh kekuatan luar yang berkepentingan.

 

)* Penulis adalah Analis Kebijakan Publik


Komentar

Berita Terbaru

\