Memahami Tujuan dan Makna Revisi UU TNI
Kamis, 17 April 2025
08:15 WITA
Nasional
1159 Pengunjung

RUU TNI
Oleh : Winda Amalia )*
Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menjadi sorotan publik dalam beberapa waktu terakhir. Seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika geopolitik global maupun domestik, revisi UU ini dinilai penting untuk menyesuaikan peran TNI dalam menjaga kedaulatan dan keamanan nasional.
Namun, di tengah pembahasan ini, muncul pula berbagai opini dan provokasi yang berpotensi menyesatkan publik. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami sisi positif dari revisi UU TNI serta tetap waspada terhadap informasi yang menyesatkan.
Untuk diketahui, UU TNI yang berlaku sebelumnya telah berusia lebih dari dua dekade. Dalam kurun waktu tersebut, banyak perubahan terjadi, baik dalam konteks ancaman keamanan, teknologi pertahanan, hingga kebutuhan operasional TNI di lapangan. Revisi UU TNI bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan upaya adaptasi terhadap perubahan zaman.
Salah satu alasan utama revisi adalah untuk memperluas tugas dan kewenangan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), seperti penanggulangan terorisme, penanganan bencana alam, pengamanan perbatasan, dan perlindungan terhadap objek vital nasional. Saat ini, ancaman terhadap keamanan negara tidak lagi hanya bersifat konvensional, tetapi juga melibatkan ancaman non-militer seperti siber, terorisme, dan ketegangan sosial yang kompleks.
Dengan revisi UU ini, TNI diharapkan dapat lebih fleksibel dan responsif terhadap ancaman yang tidak selalu bisa ditangani oleh aparat sipil. Misalnya, dalam menghadapi serangan siber atau ancaman terorisme yang terorganisir, sinergi antara TNI dan Polri dibutuhkan. Revisi UU memberi kerangka hukum yang lebih jelas dalam kerja sama tersebut.
Kepala Biro Humas Setjen Kementerian Pertahanan RI, Frega Wenas Inkiriwang menjamin militer tidak akan memata-matai sipil usai disahkannya revisi UU TNI. Frega menyatakan tugas pertahanan siber TNI yang termuat dalam undang-undang bukan untuk memata-matai masyarakat sipil. Serangan siber disebutnya dapat mengancam kedaulatan dan keselamatan negara. Misalnya, serangan terhadap fasilitas data negara dapat mengganggu sektor energi, transportasi, hingga menimbulkan dampak lebih luas dan strategis.
Selain itu, TNI memiliki potensi besar untuk membantu pemerintah dalam situasi darurat nasional, seperti pandemi, bencana alam, atau konflik horizontal. Revisi UU ini memungkinkan TNI terlibat lebih aktif dalam situasi semacam itu, tentunya dengan tetap menghormati prinsip-prinsip supremasi sipil dan demokrasi.
Revisi UU TNI juga membuka ruang bagi modernisasi organisasi TNI, termasuk pembentukan matra baru, pengembangan kekuatan cadangan, serta integrasi teknologi pertahanan modern. Hal ini penting agar Indonesia tidak tertinggal dari negara-negara lain dalam hal pertahanan dan keamanan nasional.
Ketua Umum Serikat Pelajar Muslim Indonesia (Sepmi), Mohammad Wirajaya mengatakan UU ini dinilai sebagai langkah positif dalam memperkuat institusi pertahanan negara sekaligus memastikan profesionalisme dan modernisasi TNI dalam menghadapi dinamika geopolitik saat ini. Menurutnya, UU ini akan memberikan kepastian hukum dalam berbagai aspek, termasuk peningkatan kesejahteraan prajurit, optimalisasi peran TNI dalam menjaga stabilitas nasional, serta memperjelas batasan dan tugas TNI sesuai dengan prinsip demokrasi. Menurutnya, reformasi dalam tubuh TNI harus terus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan agar dapat menjawab tantangan pertahanan modern.
Namun, di tengah pembahasan UU TNI, tidak sedikit pihak yang memelintir narasi dengan tujuan memecah belah bangsa. Beberapa pihak menyuarakan ketakutan bahwa perubahan UU TNI akan membawa Indonesia kembali ke masa militeristik. Padahal, dalam naskah revisi, tetap dijaga prinsip supremasi sipil. Pelibatan TNI dalam ranah sipil tetap dilakukan dalam koridor hukum dan pengawasan demokratis.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan RUU TNI yang baru saja disahkan pada 20 Maret 2025 lalu tidak akan membawa Indonesia menuju era dwifungsi ABRI layaknya Orde Baru.
Menurut pria yang akrab disapa AHY ini, RUU TNI yang baru disahkan justru membatasi perwira TNI dalam memasuki instansi sipil. Hal tersebut justru akan memperjelas koridor TNI agar tidak merambah lagi ke jabatan di kementerian atau lembaga lain di luar yang diatur UU.
Selain itu, revisi tidak dimaksudkan untuk menggeser peran Polri, melainkan memperkuat sinergi antara kedua institusi. Dalam menghadapi ancaman kompleks, justru koordinasi dan kolaborasi antar-lembaga pertahanan dan keamanan sangat dibutuhkan.
Revisi UU TNI seharusnya dilihat sebagai bagian dari evolusi sistem pertahanan nasional yang sehat dan adaptif. Dalam proses ini, kontrol masyarakat, media, dan lembaga legislatif tetap dibutuhkan agar tidak terjadi penyimpangan dari prinsip demokrasi. Namun, masyarakat juga harus bersikap objektif, tidak reaktif, serta tidak mudah terpancing provokasi yang belum tentu berdasar fakta.
Kedaulatan negara tidak hanya dijaga oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh ketahanan sosial dan kecerdasan warga negaranya dalam menyikapi isu strategis. Revisi UU TNI adalah momentum untuk memperkuat sistem pertahanan kita sekaligus mempererat kerja sama antar-lembaga negara dalam menjaga keutuhan NKRI.
)* Penulis adalah Alumni UNES tinggal di Jakarta
Komentar