PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Jaga Persatuan, Tolak Polarisasi Jelang Pemilu

Sabtu, 12 Agustus 2023

14:00 WITA

Nasional

1280 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jaga Persatuan, Tolak Polarisasi Jelang Pemilu

Opini, suaradewata.com - Jelang Pemilu (Pemilihan Umum) 2024, masyarakat diimbau untuk menjaga persatuan. Jangan terprovokasi dan jangan mau terpolarisasi. Sebab, pilihan partai politik dan calon presidennya berbeda, bukan berarti permusuhan di tengah masyarakat diperbolehkan.

Masyarakat sangat antusias karena akan menyambut pemimpin baru. Namun mereka juga takut karena tahun politik bisa membuat suasana makin panas. Pasalnya, masa kampanye bisa berubah jadi masa yang mengerikan karena masyarakat terbelah menjadi dua kubu dan menyerang satu sama lain, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Untuk menghindari suasana panas saat Pemilu 2024 maka masyarakat wajib untuk menjaga persatuan, meski pilihan politiknya berbeda-beda. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa berdasarkan hasil survey, 56 persen masyarakat khawatir akan terjadi perpecahan atau polarisasi akibat pemilu.

Polarisasi politik adalah keadaan ketika masyarakat terbagi-bagi karena memiliki pandangan politik yang berbeda. Hal ini mengakibatkan masyarakat terbelah menjadi dua kubu yang bersebrangan.

Ketika ada polarisasi politik maka berbahaya karena bisa merusak demokrasi di Indonesia. Di negara demokrasi, tiap warga negaranya yang sudah berusia 17 tahun ke atas berhak untuk memilih capres dan caleg yang disukainya.

Namun gara-gara polarisasi, ada yang kehilangan kebebasannya untuk memilih saat Pemilu. Ia terpaksa memilih capres atau caleg tertentu karena ditekan oleh kubu yang lain, yang terbentuk gara-gara polarisasi.

Selain itu, dampak buruk dari polarisasi politik adalah meningkatkan intoleransi di masyarakat.  Indonesia dulu dikenal sebagai negara yang paling toleran dan ramah. Namun gara-gara polarisasi politik, intoleransi ada di mana-mana dan menimbulkan banyak masalah.

Saat ada intoleransi maka capres atau caleg tertentu bisa dimusuhi karena ia memiliki suku, latar belakang, atau keyakinan yang berbeda. Ketika ada permusuhan maka merembet ke masyarakat luas dan akhirnya mereka saling bertikai. Pertengkaran sangat berbahaya karena bisa membuat permusuhan sampai bertahun-tahun.

Polarisasi politik bisa terjadi akibat dari banyaknya hoaks dan propaganda di media sosial. Hoaks sengaja dibuat oleh para oknum agar ada perpecahan di masyarakat dan kegagalan Pemilu. Hoaks dan propaganda tak hanya ada di media sosial, tetapi juga di berbagai situs berita (yang tidak valid) dan grup-grup WA.

Jangan sampai memori buruk tahun 2014 dan 2019 terulang ketika banyak hoaks yang tersebar di dunia maya. Mulai dari nama palsu capres atau caleg tertentu, isu mengenai keluarganya, dll. Hoaks sangat meresahkan karena bisa menyulut permusuhan antar warga dan memicu tawuran di dunia maya.

Hoaks juga bisa berpotensi menggagalkan pemilu karena masyarakat jadi antipasti terhadap pemerintah. Jangan sampai tingkat golput naik gara-gara banyaknya hoaks di media sosial.

Oleh karena itu masyarakat diminta untuk tidak termakan oleh hoaks dan propaganda karena berbahaya bagi tatanan kehidupan mereka. Hoaks bisa menyebabkan polarisasi saat Pemilu dan memecah-belah persatuan di Indonesia.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit menyatakan jangan ada polarisasi pada Pemilu 2024. Jangan pula ada sebutan yang buruk pada suatu kubu yang memilih capres/ partai tertentu. Beliau juga mengingatkan saat ada pertikaian elite politik, mereka bisa berbaikan dengan cepat. Akan tetapi para pendukungnya terus bermusuhan dan tidak ikut berdamai.

Saat ada polarisasi politik maka keadaan di media sosial jadi memanas. Media sosial yang awalnya jadi tempat untuk bersantai dan berjejaring dengan teman baru, berubah drastis menjadi ajang peperangan. Tiap kubu pendukung partai atau caleg tertentu mengejek kubu lain dengan sebutan yang kurang pantas.

Masyarakat wajib paham bahwa mereka tidak bisa seenaknya sendiri meski hanya menulis status di media sosial. Saat ada status yang mengejek dan mengobarkan permusuhan pada Pemilu 2024, maka ia bisa kena UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Ketika tertangkap gara-gara UU ITE maka ia harus mempertanggung jawabkan kesalahannya di dalam penjara atau membayar denda yang tinggi.

Polarisasi politik sangat berbahaya karena permusuhan antar pendukung bisa terjadi selama bertahun-tahun, padahal Pemilu sudah selesai. Polarisasi mengakibatkan dendam yang seakan tiada berkesudahan. Padahal dendam bisa mengakibatkan banyak hal-hal yang negatif.

Dendam yang terjadi akibat polarisasi Pemilu mengakibatkan permusuhan di dunia nyata, dan pertikaian bisa memicu pertengkaran fisik. Jangan sampai ada tawuran gara-gara pilihan politik yang berbeda-beda.

Masyarakat perlu memahami bahwa perbedaan itu biasa. Indonesia adalah negara demokratis, bukan negara liberal yang memperbolehkan warganya bebas berpendapat. Seluruh WNI harus paham dan wajib menjaga adab, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Jangan sampai perbedaan kubu dan polarisasi politik membuat mereka jadi tidak sopan dan memaksakan pendapat.

Seluruh WNI juga diimbau untuk menjaga persatuan jelang Pemilu 2024, ketika kampanye, masa pemilihan, maupun pasca Pemilu, jangan sampai ada permusuhan gara-gara polarisasi politik. Perbedaan itu biasa dan antar kubu diharap untuk menjaga kondusivitas, walau pilihan politiknya berbeda-beda.

 

Safira Tri Ningsih, Penulis adalah kontributor Kontributor Daris Pustaka

 


Komentar

Berita Terbaru

\