Gerak Cepat, Anggota Dewan Temui Warga yang Terancam Kehilangan Tempat Tinggal di Bungan Kapal
Minggu, 02 Juli 2023
12:00 WITA
Tabanan
7811 Pengunjung
Anggota Komisi VI DPR RI, I Nyoman Parta didampingi Ketua Komisi I DPRD Tabanan I Putu Eka Putra Nurcahyadi dan anggota DPRD Tabanan I Wayan Widnyana saat mendatangi warga di Banjar Bungan Kapal, Desa Tunjuk, Kecamatan/Kabupaten Tabanan, Sabtu (1/7/2023). (ISTIMEWA)
Tabanan, suaradewata.com – Anggota Komisi VI DPR RI, I Nyoman Parta didampingi Ketua Komisi I DPRD Tabanan I Putu Eka Putra Nurcahyadi gerak cepat dengan mendatangi warga di Banjar Bungan Kapal, Desa Tunjuk, Kecamatan/Kabupaten Tabanan, Sabtu (1/7/2023) yang menghadapi permasalahan sengketa tanah dan meminta keadilan kepada Presiden Jokowi.
Setelah mendengarkan penjelasan dari perwakilan warga, Parta mengatakan bahwa persoalan tersebut sejatinya sudah banyak terjadi di Bali, yakni sengketa lahan antara warga dengan pihak Puri.
“Dengan cerita yang hampir sama, yaitu dulunya leluhurnya Ngayah di Puri, selanjutnya leluhur Puri itu memberikan tanah untuk digarap, semacam Paica atau pemberian dari Raja. Ada juga tanah kelebihan dan tanah abcente atau tanah yang melewati batas kecamatan diberikan kepada penggarap, tapi Pipial atau persilnya masih ada di Puri,” terangnya yang dikonfirmasi Minggu (7/2/2023).
Dan hal itu pun terjadi pada persoalan sengketa lahan yang dialami oleh 22 KK di Banjar Bungan Kapal. Sayangnya kasus itu sudah masuk ke Pengadilan bahkan Pengadilan Negeri (PN) Tabanan telah mengeluarkan putusan yang mengharuskan 4 KK yang digugat untuk segera mengosongkan lahan tersebut. “Dan kini mereka sedang melakukan banding. Jadi saya mohon kepada pihak pengadilan untuk tidak melakukan eksekusi karena warga masih melakukan upaya hukum,” lanjut politisi PDIP asal Desa Guwang, Sukawati, Gianyar tersebut.
Sementara itu, I Putu Eka Putra Nurcahyadi menjelaskan bahwa dalam pertemuan itu, empat KK yang dinyatakan kalah oleh PN Tabanan mengaku akan tetap bertahan di tanah yang sudah mereka tempati secara turun temurun. “Sebenarnya ada 22 KK yang disebut sebagai penyakap di tanah milik Puri Beng itu, tapi 4 KK yang digugat ke PN Tabanan,” ujarnya.
Maka dari itu selaku wakil rakyat pihaknya akan menyiapkan kuasa hukum untuk mendampingi mengajukan banding. “Dan kita juga ikut telusuri data-data seperti SPPT di Bakeuda Tabanan yang katanya terbit tahun 2002,” tandasnya.
Sebelumnya diberitakan bahwa ada 4 KK di Banjar Bungan Kapal, Desa Tunjuk, Kecamatan Tabanan yang terlibat dalam sengketa kepemilikan tanah. Mereka dinyatakan kalah dalam gugatan yang dilayangkan Puri Beng ke PN Tabanan. Sehingga keempat KK ini pun harus mengosongkan tanah tersebut dan membayar kerugian.
I Wayan Mulyawan, anak dari salah satu warga yang digugat pun membuat video yang isinya meminta keadilan kepada Presiden RI Joko Widodo dan viral di media sosial.
Adapun empat warga ini antara lain I Nyoman Sumandi, I Ketut Muliastra (ayah dari I Wayan Mulyawan), I Ketut Dastra, dan I Ketut Wirta.
Salah satu keluarganya I Nyoman Sumadana notabane mantan Kelian Banjar Adat Bungan Kapal menuturkan kasus itu sudah muncul sejak lama dan semakin rumit di tahun 2018 ketika ada program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap). Kala itu Jero Beng (Puri Beng) ingin mensertifikatkan sebidang tanah di wilayah Banjar Bungan Kapal.
Karena statusnya Nyoman Sumadana selaku Kelian Adat dalam foam penguasaan fisik tanah sporadik itu dia adalah sebagai saksi. “Setelah dibaca karena sporadik itu menguasai fisik tanah sedangkan yang menguasai fisik tanah adalah masyarakat kami dan puri sebatas mengakui. Waktu itu berpikir bukannya tidak mau mendandatangani, tapi saya menyarankan untuk koordinasi dengan warga kami supaya warga kami tidak dirugikan,” ujarnya.
Terlebih menurutnya warganya itu sudah dari dulu tinggal di tanah tersebut bahkan sebelum Puputan Margarana. Hanya saja seiring berjalannya waktu Sumadana justru dilaporkan oleh Puri Beng ke Ombudsman dengan tuduhan menghambat program PTSL. Ia dan sejumlah warga pun kemudian dipanggil ke Kantor Bupati Tabanan difasilitasi Sekda Tabanan yang ketika itu dijabat I Nyoman Wirna Ariwangsa. “Dan saran dari Pemkab Tabanan permasalahan ini kembali diserahkan kepada pihak masyarakat dan pihak puri agar menemukan titik temu agar tidak ada yang dirugikan. Dan waktu itu saya selalu kelian banjar adat sudah siap memfasilitasi warga kami, tetapi tidak ada kelanjutan dari pihak puri," sebutnya.
Dan seiring berjalannya ternyata warga yang berkasus dilaporkan ke Polres Tabanan, yang melaporkan bukan dari yang membuat sertifikat tapi pihak lain namun masih keluarga Puri Beng. Bunyi laporannya adalah melakukan pemerasan. "Akhirnya ada tim kepolisian turun menanyakan segala sesuatunya namun singkat waktu tidak ada panggilan lagi. Kemudian ada mediasi di Kantor Desa namun tidak ada jalan keluar justru dari pihak puri keras dan ingin melanjutkan ke jalur hukum," terangnya.
Karena adanya kasus Puri Beng ingin mensertifikatkan ini akhirnya warga yang bermasalah ini membuat surat pernyataan untuk dinternal saja. Surat pernyataan ini berbunyi apabila puri ingin mensertifikatkan tanah warga selaku penggarap diberikan hak membuat sertifikat separuh dari tanah yang digarap.
"Dan tak berselang lama warga kembali dilaporkan ke Polda Bali tahun 2020 dengan bunyi laporan pemerasan. Karena laporan itu poilisi pun turun ke lokasi lagi melihat kebenaran. Saat itu juga tidak bisa menyebutkan batas-batas dari tanah dan diminta pulang sama polisi kala itu," bebernya.
Dan akhirnya Oktober 2022 adanya surat dari Pengadilan Negeri Tabanan menggugat empat orang warganya. Bunyi gugatan diminta mengkosongkan rumah atas dasar surat pernyataan yang dibuat warganya karena ingin mensertifikatkan separo tanah yang diakui milik Puri Beng. Dan hal itu dinilai tidak bagus. Selain meminta mengkosongkan rumahnya juga diminta membayar tuntutan Rp 1 miliar 40 juta karena tidak pernah menyetorkan hasil ladang ke Puri Beng.
"Dulu hubungan Puri Beng dengan warga kami harmonis. Seperti yang sudah berjalan dari dulu turun temurun, hasil ladang selalu dibagi baik itu kelapa, ketela, pisang dan lain-lain. Kalau dibilang mewariskan karena tidak ada hitam diatas putih surat apapun tidak ada," jelasnya.
Menurutnya dalam sidang yang sudah dihadiri di Pengadilan tersebut dari warga bukti yang bisa diperlihatkan sporadik, silsilah keluarga. Sementara dari pihak puri buktinya berupa SPPT dari tahun 2021. "Karena sudah tiga kali mediasi tidak menemukan jalan keluar. Makanya anak dari Pak Muliastra membuat video yang diunggah ke media sosial. Tujuannya untuk mencari keadilan,” tandasnya.
Sementara itu Ketut Muliastra berharap masalah ini bisa dicarikan jalan keluar. Sebab dia dan keluarganya sudah tinggal secara turun temurun di rumah yang ditempati tersebut.
"Sejatinya ada 22 orang yang memiliki masalah sama, tetapi kenapa hanya kami 4 orang yang tergugat. Saya tidak ingin menguasai atau mewariskan karena hitam diatas putih tidak ada. Kalau kami diusir akan kemana karena hanya punya ini saja," ujarnya sembari menyebutklan jika tanah yang ditempatinya ini memiliki luas sekitar 55 are.
Sementara itu Bendesa Adat Tunjuk I Made Nawa mengatakan bahwa pihaknya akan memfasilitasi warganya agar permasalahan ini menjadi terang benderang. Dan apabila nanti tidak punya tempat tinggal, pihaknya mengijinkan warga tersebut sementara tinggal di tanah milik Desa Adat. "Saya selalu Bendesa Adat akan membantu diluar jalur hukum, jika nanti diminta membantu memfasilitasi mediasi ke puri saya siap mendampingi," ujarnya.
Ia menuturkan jika sebelum permasalahan ini terjadi, ketika tahun 2018 adanya program PTSL, sebanyak 22 warga di Banjar Bungan Kapal sudah dikumpulkan dan menanyakan apa ini tanah warisan atau tidak. Warga menyebutkan bahwa tanah yang ingin di sertifikatkan adalah milik puri. Dan karena milik puri dia pun mengajak warga untuk meminta dan berkoordinasi dengan pihak puri.
Hanya saja dalam perjalanan itu warga ini tidak berkoordinasi kepada Bendesa Adat justru berkoordinasi ke pihak lain. Sehingga permasalahan ini baru diketahui Made Nawa 26 Juni 2023 ketika warga tergugat kalah gugatan dengan Puri Beng. Bahkan sampai mengajukan banding di tingkat Pengadilan Tinggi Bali. "Kami baru tahu tanggal 26 Juni saat perwakilan dua orang warga datang ke rumah. Mereka bercerita bahwa kalah gugatan di Pengadilan Tabanan dan meminta maaf sudah sampai lewat koordinasi," imbuhnya.
Pihaknya pun menyayangkan kasus seperti ini sampai masuk ke ranah hukum, jika saja berkordinasi dengan adat dipastikan akan menghasilkan musyawarah mufakat. Sebab tak hanya 22 warga ini kasus serupa juga sempat terjadi kepada 3 warga atau yang dinamakan kelompok 3. Bahkan dari pihak puri sudah memberikan jalan atau menghibahkan tanah kepada kelompok 3. Termasuk Desa Adat Tunjuk juga dihibahkan tanah. "Harapannya biar warga yang tergugar ini sama seperti kelompok 3 ini, koordinasi mediasi dengan baik," tegasnya.
Menurutnya sampai adanya laporan ke polisi ini karena adanya surat pernyataan yang dibuat 22 warga tersebut. "Jujur kami baru tahu adanya proses hukum sampai tingkat banding tanggal 26 Juni itu, bahkan setelah adanya permintaan maaf besok paginya atau tanggal 27 Juni adanya video yang dibuat dan disebarkan ke media sosial. Intinya kami sudah sempat jembatani dua kali menanyakan kepemilikan tanah itu, tapi dalam perjalanan waktu tidak koordinasi ke adat malah koordinasi ke pihak lain hingga berujung di kasus hukum yang sekarang tinggal menunggu putusan banding," pungkasnya. ayu/yok
Komentar