Tanah yang Ditempati Turun Temurun Hendak Disertifikatkan, Pemuda di Tunjuk Minta Keadilan
Kamis, 29 Juni 2023
09:00 WITA
Tabanan
2160 Pengunjung
Pemuda bernama Wayan Mulyawan membuat video meminta keadilan atas sengketa lahan yang menimpanya.
Tabanan, suaradewata.com – Sebuah video mendadak viral di media sosial setelah diketahui jika di dalamnya berisikan tentang curhatan seorang pemuda yang meminta keadilan kepada Presiden RI Joko Widodo, Menteri Polhukam, hingga Menteri Agraria. Keadilan yang dimaksud adalah perihal sengketa lahan yang ia dan keluarganya alami.
Dalam video tersebut, seorang pemuda nampak berdiri di halaman rumah sambil membawa sebuah dokumen. Ia adalah Wayan Mulyawan warga Banjar Bungan Kapal, Desa Tunjuk, Kecamatan/Kabupaten Tabanan, Bali. Dirinya ingin meminta keadilan dan mohon perlindungan kepada Presiden RI Joko Widodo, Menteri Polhukam, Menteri Agraria hingga pemerintah terkait sengketa lahan yang ia alami bersama keluarganya. “Saya dan keluarga merasa tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya saya dapatkan sebagai warga Negara Indonesia. Ini adalah rumah saya, saya dan keluarga tinggal disini sudah turun temurun. Namun dari hasil putusan PN Tabanan tanggal 30 Maret 2023 kami harus mengosongkan atau mombongkar rumah kami serta membayar biaya yang timbul atas perkara tersebut,” ujarnya sembari memperlihatkan Surat Putusan yang ia bawa.
Ia pun menceritakan jika persoalan itu bermula ketika adanya program PTSL dari pemerintah. Dimana ada pihak lain yang ingin menyertifikatkan lahan yang selama ini menjadi tempat tinggal ia dan keluarganya. Pihak lain yang ia maksud bahkan bukan warga Adat dan bukan warga Desa setempat dengan dasar SPPT. “Saya sendiri tidak tahu bagaimana bisa tanah tempat tinggal kami itu SPPT-nya atas nama orang lain yang bukan warga Adat, bukan warga Dusun, dan bukan warga Desa disini. Mereka dari luar Desa,” imbuhnya.
Parahnya hal itu tidak hanya dialami oleh keluarga Mulyawan saja, namun total ada 22 KK yang juga mengalami hal serupa. Padahal semua KK tersebut sudah memiliki rumah permanen diatas tanah tersebut. “Dan pihak lain itu mencoba mensertifikatkan tanah itu tanpa ada pembicaraan dengan keluarga kami yang sudah tinggal turun temurun disitu,” sebutnya.
Disisi lain upaya pensertifikatan tanah yang dilakukan oleh pihak lain itu tidak memenuhi syarat baik dari dinas maupun adat sehingga pihak itu tidak bisa melanjutkan permohonan pensertifikatan. Karena pihak itu bukan warga adat maupun warga dinas di Desa Tunjuk. Namun pihak tersebut justru melaporkan keluarganya serta aparat adat setempat ke kepolisian dengan alasan perbuatan melanggar hukum karena dianggap menghalangi program pemerintah. “Akhirnya kami beberapa kali dipanggil oleh pihak kepolisian terkait laporan tersebut. Dan memang laporan itu tidak bisa dilanjutkan karena tidak ada bukti,” lanjutnya.
Keluarga Mulyawan dan masyarakat lainnya yang terlibat pun sudah berusaha menyelesaikan persoalan itu secara musyawarah, termasuk pihak desa pun ikut memfasilitasi. Bahkan keluarganya sempat mendatangi rumah pihak tersebut agar persoalan itu tidak sampai ke jalur hukum namun tetap tidak mendapatkan titik terang. Justru pihak itu melayangkan gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri (PN) Tabanan. Gugatan dilayangkan hanya untuk 4 KK saja termasuk keluarga Mulyawan.
“Dalam gugatan itu kami dianggap melanggar hukum, lalu diharuskan mengosongkan rumah kami dan membayar ganti rugi material sebesar Rp 40 Juta dan rugi moril Rp 1 Miliar. Kami merasa kaget dan syok, bahkan orang tua saya tidak bisa tidur dan kami merasa ketakutan sehingga memohon perlindungan dari aparat desa dan tokoh desa untuk membantu permasalahan ini,” bebernya.
Karena upaya musyawarah tidak bisa dilakukan, akhirnya keluarga Mulyawan pun mengikuti proses pengadilan sebagaimana mestinya dan berusaha memberikan bukti-bukti yang dimiliki. Adapun bukti yang ia miliki adalah Sporadik dan silsilah keluarga turun temurun yang mana leluhurnya sudah tinggal di tanah tersebut sejak sebelum tahun 1960. Sedangkan pihak penggugat mengaku memiliki dan membayarkan SPPT tanah tersebut sejak tahun 2001 tapi mereka tidak menguasai objek pajak tersebut. Pihaknya juga menghadirkan saksi yang merupakan aparat desa Tunjuk yang membenarkan bahwa keluarganya sudah turun temurun tinggal di tanah tersebut.
“Sedangkan dalam gugatan batas-batas dan luas tanah yang dilaporkan penggugat tidak sesuai dengan batas-batas yang ada di objek asli. Kemudian saksi-saksi yang mereka hadirkan adalah saksi-saksi dari luar Desa Tunjuk. Saat pemeriksaan objek sengketa, mereka juga tidak bisa menunjukkan batas-batas tanah itu dengan jelas. Dan kami juga tidak tahu kapan SPPT itu terbit sehingga penggugat mengatakan membayarkan SPPT sejak tahun 2001,” tukasnya.
Namun sayangnya PN Tabanan justru mengeluarkan surat putusan tertanggal 30 Maret 2023 yang mengharuskan keluarga Mulyawan harus mengosongkan tanah tersebut dan membayar kerugian. Atas terbitnya putusan PN Tabanan tersebut, Mulyawan merasa tidak mendapatkan keadilan sehingga ia memohon kepada Presiden Jokowi dan pemerintah untuk dapat membantu menyelesaikan persoalan tersebut. “Karena kami tidak tahu pada siapa kami meminta tolong untuk membantu menyelesaikan masalah ini,” tandasnya. ayu/yok
Komentar