Gerakan #2019GantiPresiden Cermin dari HTI
Jumat, 21 September 2018
00:00 WITA
Nasional
14696 Pengunjung
istimewa
Opini, suaradewata.com - Ada Mekanisme tertentu dalam gerakan #2019GantiPresiden yang memang terlihat rekat dengan organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mekanisme ini terkait dengan gerakan anti-demokrasi. Sejak awal #2019GantiPresiden bukan sebagai gerakan dari satu kubu yang ingin merebut kekuasaan melalui Pemilu. Tapi hanya sebagai serangan sporadis yang ditargetkan kepada pemerintah. Serangan tanpa disertai data yang valid dan objektif.
Cara mereka menghimpun masa dengan menggunakan kedok agama pun sama seperti HTI. Mereka membuat agama seakan-akan sebagai sebuah ideologi tertentu. Menghilangkan peran agama sebagai representasi religius yang dihendaki Tuhan. Terang masalah ini menjadi peka sehingga perbedaan pendapat yang menjurus ke konflik dengan mudah dipicu terutama ketika berurusan dengan kekuasaan dan ketidakadilan.
Gerakan ini juga seperti kelompok eksklusif HTI yang memiliki pemahaman-pemahaman dan penafsiran kaku tentang sebuah persoalan. Mereka menyembunyi data yang sebenarnya seperti HTI yang menyembunyikan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok mereka.
Mereka menggunakan agama untuk mendapat pembenaran demi meraih kekuasaan. Agama hanya dijadikan alat untuk mendominasi massa. Mereka menggunakan juga faktor identitas kelompok tertentu. Tentu kelompok ini berbahaya bagi Indonesia. Seperti HTI yang sudah di larang di banyak negara gerakan #2019GantiPresiden juga dapat merusak kesatuan dan persatuan bangsa.
Jika dibiarkan terus berlanjut maka tinggal tunggu waktunya Indonesia seperti Timur Tengah yang hancur berantakan. Seperti Suriah yang terus saja mengalami perang saudara sejak tahun 2011. Berawal dari oposisi pemerintah Bashar al-Assad kumpulan orang yang anti-demokrasi berubah bentuk menjadi kelompok teroris bersenjata.
Apa lagi jika seperti yang dinilai oleh GP Anshor bahwa gerakan #2019GantiPresiden itu ditunggangi oleh HTI. Kelompok tersebut jelas tidak sesuai dengan konstitusi dasar dan ideologi bangsa yakni Pancasila. HTI membuat agama menjadi legitimasi etis hubungan sosial.
Padahal bangsa Indonesia sudah memilikinya yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Mereka melegitimasi tantanan sosial yang menurut mereka ideal dengan agama. HTI melegitimasi nilai-nilai sosial, politik dan ekonomi yang dapat memancing konflik dengan kelompok lain.
Seperti misalnya Hak Asasi Manusia (HAM) yang mereka anggap berasal dari Barat. Tentu mereka tidak akan menganggap HAM itu ada dan patut untuk diperjuangkan. Karena bagi mereka diri merekalah yang paling tahu dan yang paling benar. HTI jelas akan membuat Indonesia semakin rentan dengan kekerasan.
Karena mereka selalu menolak kesepakatan bersama dalam menentukan suatu solusi untuk memacahkan masalah tertentu. Mereka juga merendahkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai yang mereka anut. Tidak hanya diluar Islam tapi juga di dalam kelompok Islam sendiri yang menurut mereka salah.
HTI yang sudah dibubarkan pemerintah sudah pasti termasuk ke dalam kelompok fanatik. Dan fanastisme pasti menimbulkan masalah, baik itu konflik maupun kekerasan. Sasaran mereka pertama-tama memang bukan orang-orang bodoh.
Tapi orang-orang yang menurut filsuf Hannah Arendt sebagai "individu massa". Orang-orang yang tidak memiliki kepribadian, orang-orang yang tidak mampu membedakan kenyataan dengan bualan; mereka yang tidak mempertanyakan lagi perbedaan antara mana yang benar dengan wacana; mereka yang terlepas dari realitas.
Sasaran HTI sama dengan sasaran gerakan #2019GantiPresiden. Yakni orang-orang yang tidak lagi bisa membedakan mana yang sebenarnya terjadi dengan wacana yang sengaja dibangun. Dari sisi perilaku kedua gerakan tersebut pun sama.
Mereka melepas tanggungjawab terhadap apa yang telah mereka lakukan dengan bersembunyi dibalik pembenaran simbolis, ideologis dan teologis. Fanastime HTI menolak segala bentuk perbedaan dan menjadi lahan subur bagi para pelaku kekerasan yang tidak merasa bersalah.
Begitu juga dengan gerakan #2019GantiPresiden yang dapat menyerang kelompok lawan secara membabi-buta. Membuat seakan-akan kekerasan semakin biasa. Mereka membanalisasi tindak kejahatan dengan berlindung dibalik legitimasi agama.
Sebab jika gerakan ini hanya sekedar sebuah gerakan yang tercetus atas ketidakpuasan kinerja pemerintahan Jokowi maka mereka akan menggunakan frasa yang lebih tepat. Dan memang sudah jelas bahwa gerakan ini bukan gerakan yang berasal dari masyarakat sendiri karena diinisiasi oleh oposisi pemerintah.
Gerakan ini gerakan politik yang sama sekali tidak menginjak akar rumput. Sebagai gerakan politik pun ini bukan gerakan politik yang santun dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena tidak ada data yang mereka sodorkan sesuai dengan realitas yang terjadi sebenarnya.
Ada beberapa alasan gerakan #2019GantiPresiden ini berbahaya. Pertama mereka melakukan impersonifikasi. Mereka menghilangkan 'siapa' yang ingin presiden diganti. Tidak ada kelompok yang jelas harus bertanggungjawab atas gerakan ini padahal gerakan ini dicetuskan oleh oposisi pemerintah.
Jika oposisi ingin mengganti presiden seharusnya mereka yang dapat bertanggungjawab atas gerakan ini. Menangungi gerakan ini sebagai program partai mereka. Alasan yang kedua, gerakan ini membuat orang tidak lagi kritis terhadap realita yang sesungguhnya terjadi.
Mereka hanya melakukan berbagai deklarasi tanpa memberikan data-data yang valid dan menyerang orang yang mempertanyakan data mereka. Orang-orang yang terlibat dalam gerakan #2019GantiPresiden menuduh orang-orang yang mempertanyakan data mereka sebagai orang yang mendukung Jokowi.
Alasan yang ketiga tidak dapat dipungkiri gerakan ini bisa menjadi gerakan radikal. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya gerakan #2019GantiPresiden ini selalu menyudutkan orang yang mempertanyakan argumentasi mereka. Menyerang orang yang mengkritik argumentasi adalah ciri utama fanatisme dan radikalisme.
Tiga alasan mengapa gerakan #2019GantiPresiden ini juga menjadi penyebab mengapa HTI dilarang dibanyak negara. Dua gerakan ini memang serupa meski tak sama.
Oleh : Dodik Prasetyo )* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)
Komentar