Pendidikan Pemilih Antisipasi Paradoks Demokrasi
Minggu, 25 Maret 2018
00:00 WITA
Denpasar
3288 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Banyaknya para pemimpin kita akhir-akhir ini tersangkut masalah korupsi, baik itu anggota legislative maupun kepala daerah, memberi bahan bakar para apatisme demokrasi untuk terus mengobarkan anti demokrasi. Para penganut anti demokrasi (baca: politik) beranggapan bahwa proses pemilu dan pilkada hanya menghambur-hamburkan uang untuk meneruskan kekuasaan yang korup dan turunannya serta menghasilkan pemimpin yang berwatak penjahat. Terpilihnya pemimpin yang punya rekam jejak tidak terpuji merupakan salah satu contoh fenomena paradox demokrasi. Masyarakat yang apatis menganggap semua calon sama saja, sehingga yang dipilih adalah yang lebih menguntungkan dalam jangka pendek mengabaikan idealism prinsip-prinsip demokrasi yang bersifatmulia.
Mengapa terjadi paradox demokrasi? Plato salah satu filsuf yang mengamati demokrasi berargumen sederhana, bahwa masyarakat secara alamiah terpolarisasi, sehingga orang-orang yang kaya, kuat dan pintar menggunakan orang-orang yang miskin, lemah dan bodoh untuk memobilasi kekuatan. Plato menganggap demokrasi memberijalan bagi yang tiran tetap berkuasa.Lahirnya para pemimpin yang korup, payah, tidak disiplin dan intoleran dari proses domokrasi adalah contoh paradox demokrasi.
Mengapa muncul paradox demokarasi? Demokrasi dengan system one man one vote one value membawa tantangan tersendiri. Tidak semua masyarakat yang memiliki hak pilih memilik kecakapan dalam menentukan pilihan. Kualitas hasil pilihan tergantung dari kuallitas kecerdasan para pemiihnya. Pemilh yang buruk akan memilih pemimpin yang buruk, pemilih yang korup akan memilih pemiimpin yang korup. Disisi lain buruknya kaderisasi kepimpinan pada partai politik menimbulkan minimnya stok pemimpin yang dianggap layak dan mumpuni serta memiliki rekam jejak yang cukup untuk layak sebagai calon pemimpin. Partai politik mengambil jalan pintas dengan merekrut seseorang yang memiliki elektabilitas tinggi, sehingga proses kaderisasi yang seharusnya dilakukan menjadi tidak berjalan.
Jason Brennan dalam bukunya Against Democracy mengatakan bahwa masyarakat demokrasi tidak pernah setara, sama seperti pendapat Plato. Ada beberapa kelompok dari masyarakat demokrasi yang ia kelompokan menjadi hobit, hooligan dan Vulcan. Orang yang apatis, apolitik dan tidak peduli sehingga sangat minim pengetahuannya terhadap politk dikelompokan menjadi masyarakat Hobit. Orang yang fanatik, partisipan politik, cenderung antipasti pada kelompok politik lain dikelompokan menjadi masyarakat hooligan. Orang yang cerdas, rasional, keputusan politik atas pertimbangan akal sehat dikelompokan menjadi masyarakat Vulcan. Sayangnya sebagian masyarakat pemilih menurut Jason Brennan seperti di Amerika Serikat ada pada kelompok Hobit dan Holigan, sangat sedikit yang berkarakter Vulcan. Kualitas demokrasi begitu pula di Indonesia diharapkan berasal dari kelompok Vulcan yang masih minim jumlahnya.
Melihat hal tersebut di atas paradok demokrasi seharusnya menjadi perhatian kita semua para pendukung-pendukung demokrasi. Brenman mengatakan sebagai cacat bawaan demokrasi. Hasil pemilu dan pilkada melahirkan pemimpin yang tidak cakap, cenderung mementingkan kelompok, prilaku koruptif, para legislator yang tidak produktif dan lain sebagainya menjadi keluhan kita tanpa ujung.Akar masalahnya ada pada kualitas pemilih dan kualitas pilihan.
Apabila sebagian besar pemilih kita ada pada kelompok hobit dapat dibayangkan saat mereka datang ke TPS tidak tahu yang akan dipilih siapa. Kurang mengetahui latar belakang calon yang dipilih sehingga cenderung berdasarkan ikut-ikutan tanpa keyakinan yang pasti. Begitu pula apabila ada pada kelompok hooligan yang terjadi adalah fanatic buta cenderung anti terhadap beda pilihan.
Pendidikan pemilih menjadi jalan keluar yang harus dilakukan. Pendidikan pemilih dengan memanfaatkan metode yang tepat dapat mempengaruhi pemilih untuk tertarik pada proses demokrasi (baca:politik). Memasuki semua segmen pemilih dengan pendekatan yang menarik membuat para kaum hobit sedikit melirik dan pedulli terhadap perkembangan demokrasi untuk kemudian melangkah menjadi pemilih yang cerdas. Pendidikan pemilih seharusnya sudah menjadi program dalam kurikulum pendidikan dari sejak dini dengan cara sesuai dengan tingkatan dan umur para peserta didik. Semua lapisan masyarakat bahu membahu mendukung program KPU melakukan pendidikan pemilih agar mendapatkan pemilih yang cerdas yang menentukan kualitas demokrasi.
Sejalan dengan meningkatkan kualitas pemilih kualitas pilihan pun menjadi perhatian kita bersama. Kita mendorong agar partai politik mengedepankan proses kaderisasi yang baik untuk menghasilkan calon-calon pemimpin yang benar-benar berkualitas dan memiliki moralitas yang baik sehingga menjadi suritoladan di masyarakat yang dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Kaderisasi dilakukan secara serius diimbangi pula oleh meningkatnya minat masyrakat untuk turut membangun partai politik yang kuat dan sehat.
Perjuang meningkatkan kualitas demokrasi tidaklah mudah. Harus terus diperjuangkan secara terus-menerus. Semasih ada usaha untuk itu demokrasi dapat diperbaiki dari waktu ke waktu, seperti kata Robert Dahl. Pendikikan pemilih menjadi keharusan, menjadikan pemilih berdaulat menuju Negara kuat.
Sukseskan Pemilihan Gubernur dan WakilGubernur Bali 2018, Hari Rabu 27 Juni 2018. Jadilah pemilih cerdas Bali Shanti Lan Jagadhita.
Penulis:
I Gusti Ngurah Agung Darmayuda, ST. MM.
Komisioner KPU Kota Denpasar
Komentar