PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Jebakan Money Politic Dalam Pilkada

Jumat, 06 Oktober 2017

00:00 WITA

Nasional

3172 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

google

Opini, suaradewata.com - Politik uang dalam Pilkada sejatinya sering ditemui. Politik uang masih menjadi masalah dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak.  Politik uang  atau yang biasa disebut money politic kerap dijadikan metode untuk menggapai kekuasaandalam kontestasi politik. Para calon beranggapan bahwa untuk dapat memenangkan suara dalam Pilkada mereka harus mempunyai modal yang besar yang digunakan untuk membeli suara rakyat. Selain itu, masih rendahnya kesejahteraan menyebabkan mayoritas masyarakat rela untuk memilih calon yang memberikan uang lebih banyak. Namun tanpa disadari, dengan menjamurnya praktek money politic akan menyebabkan munculnya permasalahan kedepannya. Karena sesuatu yang tidak berjalan semestinya pasti akan meninggalkan getah yang harus dibersihkan.

Mirisnya, berdasarkan data survei yang diperoleh Founding Father House (FHH) menunjukkan bahwa 71 persen masyarakat menerima uang atau barang yang diberikan dari calon kepala daerah, tim sukses atau relawan. Sementara, 29 masyarakat memilih untuk menolak. Angka tersebut terbilang cukup besar, karena lebih dari setengah masyarakat dapat dianggap turut menyukseskan praktik money politic.Dari 71 persen itu, 80 persen masyarakat memilih untuk diberikan uang ketimbang barang seperti kebutuhan bahan pokok. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah.Namun apabila masyarakat suatu daerah sudah banyak yang sejahtera tentunya akan sulit untuk memainkan politik uang.

Selain hasil survei dari FFH, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan 600 dugaan politik uang pada Pilkada Serentak 2017. Temuan tersebut terjadi di 101 daerah yang menggelar Pilkada. Dugaan politik uang tersebut dilakukan oleh relawan pasangan calon dan perseorangan yang dilakukan saat masa tenang yang berlangsung selama tiga hari pada tanggal 12-14 Februari 2017. Angka tersebut mengalami kenaikan dari Pilkada 2015. Bawaslu menemukan praktik politik uang sebanyak 92 kasus, yang tersebar di 21 kabupaten pada 10 provinsi saat masa kampanye. Serta Bawaslu juga mencatat setidaknya ada 311 kasus praktik politik uang pada masa tenang, di 25 kabupaten/kota pada 16 provinsi. Praktik serupa juga terjadi saat hari pemilihan berlangsung, di mana terdapat sebanyak 90 kasus, yang tersebar di 22 kabupaten pada 12 provinsi. Secara spesifik, hasil pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) pada pilkada 2015 lalu juga menemukan beberapa praktik politik uang dengan modus yang berbeda-beda. Dengan peningkatan tersebut, bisa jadi pada Pilkada Serentak 2018 juga akan mengalami peningkatan jumlah politik uang.

Padahal, money politic mempunyai dampak yang buruk bagi seluruh masyarakat. Pertama, bagi pelakunya secara langsung. Saat ini Bawaslu RI tengah menyiapkan peraturan untuk Pilkada 2018 lewat revisi Peraturan Bawaslu 13/2016. Yang menjadi perhatian dalam revisi Perbawaslu tersebut adalah sanksi administrasi. Salah satu yang menjadi fokus ialah terkait politik uang yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), yang terjadi saat masa tenang. Sehingga tenggat masa kedaluwarsa juga menjadi poin yang akan direvisi. Dalam regulasi ini, seluruh calon kepala daerah yang melakukan kecurangan yaitu dengan sengaja memberikan uang untuk mempengaruhi pemilih, selain terkena sanksi pidana, juga terancam pencalonannya akan dibatalkan.

Kedua, politik uang merupakan jebakan untuk rakyat. Seseorang yang menggunakan politik uang untuk mencapai tujuannya, sebenarnya sedang menyiapkan perangkap untuk menjebak rakyat. Rakyat dalam hal ini tidak diajak untuk sama-sama memperjuangkan agenda perubahan, tetapi diarahkan untuk memenangkan sang calon semata. Setelah calon terpilih maka tidak ada sesuatu yang akan diperjuangkan karena sang calon akan sibuk selama 5 tahun atau periode tertentu untuk mengembalikan semua kerugiannya yang telah dikeluarkan untuk menyuap para pemilih. Untuk mengembalikan kerugian yang terjadi saat kampanye, calon terpilih berpotensimelakukan korupsi. Korupsi yang marak terjadi adalah sebuah bentuk penyelewengan APBD untuk memperkaya diri sendiri.

Ketiga, dengan semakin menjamurnya money politic merupakan tindakan yang telah mencoreng demokrasi. Betapa tidak, dengan adanya money politic persaingan dalam pilkada tidak lagi berdasarkan kualitas dan kredibelitas calon. Namun berdasarkan siapa yang mempunyai modal yang besar. Sehingga ketika calon terpilih berdasarkan politik uang, maka pemerintahan yang dipimpin pun juga tidak berkualitas dalam membangun dan menyejahterakan masyarakat. Disamping itu, akan berakibat pada terciptanya produk perundangan serta kebijakan publik yang tidak tepat sasaran karena para pembentuk kebijakan merupakan pelaku money politics.Karena pembentuk kebijakan tersebut bukan orang yang tepat atau ahli dibidangnya.

Untuk menyongsong Pilkada Serentak 2018, pilihan berada di tangan masyarakat. Masyarakat memilih untuk terus membudidayakan politik uang dengan semakin berpartisipasi dalam praktiknya. Atau bersama-sama menolak politik uang guna masa depan yang lebih baik. Bersama-sama memberantas korupsi dengan memberantas politik uang terlebih dahulu. Keluar dari jurang kemiskinan dengan meloloskan diri dari jebakan politik uang. Mari bersama-sama menjadi masyarakat yang tidak mudah dibutakan oleh uang.

 

Oleh : Arya Pradipta (Alumni IISIP)


Komentar

Berita Terbaru

\