Isu Komunis Dalam Kepemimpinan Jokowi
Kamis, 05 Oktober 2017
00:00 WITA
Nasional
3670 Pengunjung
Opini, suaradewata.com -Manuver Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965, sampai saat ini masih membekas betul dalam hati rakyat Indonesia. Selepas peristiwa tersebut, kata PKI atau Komunis lantas menjadi tabu dan sangat riskan untuk diucapkan. Seiring dengan perkembangan jaman, berbagai isu kemudian sering dipergunakan dalam sebuah kepentingan ,termasuk isu tentang Komunis.
Taktanggung-tanggung, isu mengenai Komunis digunakan untuk menggambarkan kondisi pemerintahan saat ini. Joko Widodo, selaku pemimpin negara mulai dikaitkan dengan isu Komunis sejak maraknya pemberitaan mengenai kebangkitan kelompok Komunis. Dengan menyertakan bahwa pemerintah secara perlahan mulai menerima keberadaaan Komunis. Hal tersebut kemudian dikaitkan kembali dengan adanya wacana penyampaian maaf kepada keluarga korban G30S/PKI menjelang hari kemerdekaan Indonesiake- 71 pada 2016 lalu.
Banyak yang salah kaprah mengenai adanya wacana tersebut, ditambah dengan adanya “modifikasi” berita, sehingga banyak publik yang menyimpulkan bahwa pemerintah Indonesia akan menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga yang mengatasnamakan korban dari tragedi G30S/PKI. Seorang presiden merupakan simbol Negara dan Pemerintah. Citra dan kedaulatan sebuah negara sangatlah tercermin dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya.
Pada kenyataannya, waktu itu Indonesia tengah didesak oleh salah satu badan peradilan HAM bernama International People Tribunal 1965, untuk menyampaikan permintaan maaf kepada korban dari tragedi G30S/PKI. Namun, pemerintah terbukti tidak tergesa-gesa dalam mengambil sebuah keputusannya, karena akan banyak pihak yang dirugikan apabila pemerintah menyanggupi desakan tersebut.
Pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakaan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain dan genosida, merupakan poin-poin tuduhan atas tragedi ‘65 yang disampaikan kepada pemerintahan Indonesia.
Menjelang pernyataan resmi pemerintah Indonesia dalam menanggapi hal tersebut, publik mulai dirasuki dengan bisikan-bisikan adanya wacana penyanggupan pemerintah untuk meminta maaf terhadap korban tragedi G30S/PKI. Sehingga munculah opinibahwa Jokowi berhaluan paham komunis.
Pada akhirnya, pemerintah memberikan penjelasan secara resmi menanggapi adanya wacana tersebut. Joko Widodo atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia menolak untuk menyampaikan permintaan maaf kepada Keluarga PKI.
“Tidak ada pemikiran mengenai minta maaf, sampai detik ini tidak ada pemikiran bahwa pemerintah Indonesia akan meminta maaf kepada keluarga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atas peristiwa pembantaian massal pada 30 September 1965”,tegas Jokowi.
Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, Luhut Panjaitan.
“Tidak ada pikiran untuk meminta maaf, minta maaf pada siapa? Siapa memaafkan siapa, karena kedua pihak ada terjadi kalau boleh dikatakan korban. Jadi saya pikir, tidak sampai ke situ”.Kemudian ditambahkan imbuhan, apabila pemerintah menyampaikan maaf, justru pemerintah terkesan disusupi PKI.
Namun, Jokowi tetap menginginkan adanya rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu. Anak-anak bangsa bisa bebas menatap masa depan yang terbentang luas. Semua itu dilakukanpemerintah sejalan dengan amanat Pancasila untuk menegakkan kemanusianyang adil dan beradab.
Penggiringan opini melalui isu semacam itu, seharusnya sudah dapat diantisipasi publik pada era modern saat ini. Pemilihan isu Komunis sebagai media pembentukan opini masyarakat, dilakukan bukanlah tanpa sebab, melainkan adanya sensitivitas yang sangat tinggi dalam masyarakat sehingga isu tersebut dianggap ampuh dalam menjatuhkan citra Jokowi. Karena penggunaan isu ras dansentimen agama kepada Jokowi terbukti tidak ampuh.Maka dari itu, isu Komunis digunakan sebagai alternatif guna terwujudnya tujuan tersebut.
Melihat dari agenda politik kedepannya, Indonesia tengah mempersiapkan pemilihan Presiden yang dihelatkan pada tahun 2019 mendatang. Bukannya tidak aneh, namun situasi semacam ini memang sering sekali terjadi menjelang pilkada serentak di Indonesia, dan sasarannya pun tak hanya Jokowi.
Bahkan, isu semacam ini telah digunakan untuk menyerang Jokowi sejak dirinya berstatus sebagai calon Gubernur DKI pada 2012 silam. Dengan menggadang-gadang bahwa Jokowi merupakan keturunan PKI dan lain sebagainya. Pada kenyataannya hanya omong kosong belaka.
Kembali pada perspektif masing-masing, dunia dan rakyat Indonesia saat ini telah menjadi saksi, bagaimana keadaan Indonesia saat ini dibandingkan era-era sebelumnya. Tak bisa dipungkiri, Jokowi merupakan salah satu suksesor Indonesia dalam menuju kesejahteraan. Beliau menyadari bahwa pembangunan serta pemerataan infrastruktur merupakan investasi bagi Indonesia. Memang saat ini belum terasa betul perbedaannya, namun bagaimana dengan 3-5 tahun kedepan?.
Janganlah menyibukan waktu kita hanya untuk menuding si A atau si B adalah Komunis atau sebagainya, sedangkan pemerintah dibawah kepemimpinan Jokowi saat ini tengah sibuk menyambut masa depan. Mulailah berinovasi dengan menyalurkan ide-ide kreatif untuk menunjang pembangunan saat ini selagi masih ada kesempatan.
Karena tak bisa dijamin, bahwa era kepemimpinan lainnya dapat lebih terbuka dalam menerima aspirasi masyarakat seperti saat ini. Maka dari itu, mulailah kembali menjadi jati diri masyarakat Indonesia. Bermartabat dan santun dalam setiap perjumpaannya.
Oleh : Dodik Prasetyo (Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis, LSISI)
Komentar