PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Kembali, Fitnah Menjelang Pilpres 2019

Rabu, 04 Oktober 2017

00:00 WITA

Nasional

11276 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

google

Opini, suaradewata.com - Meski pesta demokrasi Pemilihan Presiden (Pilpres) Tahun 2019 masih berjarak sekitar dua tahun kedepan. Tak dapat dipungkiri bahwa aroma dan gejolak kerasnya dunia politik semakin menghangat dan mencekam. Berbagai berita dan isu negatif semakin semangat dikucurkan oleh beberapa kelompok kepentingan. Seperti halnya sang rival dari pihak oposisi Presiden Joko Widodo, informasi yang belum tentu kebenarannya terungkap atau fitnah secara seksama terus menerus digembar gemborkan. Seolah tak ada payung hukum yang mengikat dan penegakan hukum dianggap "semua bersahabat", tak ayal demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi dalam prinsip supermasi hukum dan penghormatan terhadap HAM, dijatuhkan akibat dasar kepentingan politik semata, melupakan kehormatan dan kebenaran atas informasi yang beredar.

Jokowi Difitnah Anak PKI

Fitnah dan tuduhan bahwa Presiden Joko Widodo merupakan keturunan PKI seakan tak pernah surut untuk mendeskreditkan peran politiknya pasca Pilpres Tahun 2014 silam. Padahal pemberitaan tersebut telah dengan lugas dibantah oleh Presiden Joko Widodo sendiri beserta kerabat dan kolega terdekatnya.

Selain terhadap dirinya, tak ayal isu PKI yang mengaitkan keluarga dan dirinya terhadap partai terlarang PKI tersebut, juga sempat tersematkan terhadap ibunya melalui buku "Jokowi Undercover". Tak segan Sujatmi Notomiharjo sang bunda membantah bahwa keluarganya pernah terlibat dalam gerakan komunisme di Indonesia, saat acara syukuran tahun baru yang digelar di kediaman Ibunda Presiden di Solo, Senin (2/1/2016).

Terlebih berdasarkan hasil pembuktian "screening" Badan Intelijen Negara (BIN) yang disampaikan oleh Mantan Kepala BIN, Sutiyoso kala itu (2016), yangmana berdasarkan hasil penyelidikan lembaga James Bond tersebut, sejak isu dimulainya pencalonan Presiden Joko Widodo hingga detik dirinya terpilih menjadi Presiden RI ketujuh, tidak ada fakta hingga bukti sedikitpun yang dapat mempertegas adanya hubungan dan keterkaitan Presiden Joko Widodo dan keluarga terhadap PKI.

Bantuan Terhadap Rohingya Dianggap Pencitraan

Tak sedikit masyarakat tergalang dengan pemberitaan yang menganggap bantuan Pemerintah RI terhadap Rohingya (Myanmar) sebagai bentuk pencitraan. Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Abdurrahman Mohammad Fachir, menegaskan bahwa bantuan Pemerintah RI yang diberikan kepada korban konflik Rohingnya di Rakine, Myanmar, adalah amanat konstitusi yang harus dijalankan. Ketika konstitusi dengan lugas menjelaskan tentang peranan Indonesia untuk ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka bantuan yang diberikan Pemerintah RI terhadap Rohingya adalah wujud nyata atas pengamalan dari Amanah konstitusi (19/09/2017).

Senada dengan hal tersebut, Wakil Presiden (Wapres) Jussuf Kalla juga sempat berang dengan informasi yang menyatakan bahwa bantuan Rohingya oleh Pemerintahannya dianggap sebagai wujud pencitraan politik. Dirinya heran apabila langkah pemerintah memberikan bantuan terhadap Rohingya adalah sebuah pencitraan. "Mengapa kala bantuan RI terhadap Afganistan sebelumnya tidak dianggap sebagai pencitraan? Justru apabila Indonesia hanya diam, malah serangan dan kritik malah justru semakin menghujam. Ini serba salah, diam-diam nanti dikritik, terbuka juga dikritik". Namun demikian, Wapres tak menyalahkan sebuah kritik yang dilontarkan kepada pihaknya, karena bagi pengusaha asal celebes ini, sebuah kritik adalah penting untuk membangun pola kerja yang proporsional bagi pemerintahannya.

Pemerintahan Joko Widodo dianggap Diktaktor

terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan atau Perpu Ormas dianggap oleh sebagian kelompok oposisi pemerintah sebagai bentuk kediktaktoran rezim Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Perpu yang lahir atas respon keberadaan ormas-ormas penganggu Pancasila,  tak ayal dianggap pembatas demokrasi dan HAM yang tidak sejalan dengan reformasi. Padahal jelas tertera didalam amanat konstitusi bahwa tak ada toleransi sedikitpun bagi kelompok maupun pergerakan Ormas yang menginginkan adanya perubahan terhadap hasil perjuangan para pahlawan da pendahulu kita yang mewariskan NKRI sebagai wujud nyata keberadaan landasan idiil Pancasila.

Tak ayal tudingan rezim Joko Widodo sebagai orde diktaktor direspon oleh beberapa polling media dan studi penelitian sebagai serangan fajar yang berkaitan erat dengan pencalonan Pilpres tahun 2019, serta Presiden Jokowi sendiri yang acapkali menyampaikan keherannya lewat celotehan dan ungkapan tertawa kala dirinya pidato dibeberapa daerah di Indonesia. "Wong orang banyak yang menyebut aku" Ndeso" dan klemer-klemer, kok bisa dibilang diktaktor" ujar Jokowi.

Melupakan Keberhasilan Pemerintahan Jokowi

Memasuki tiga tahun pemerintahan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang tepat jatuh pada 20 Oktober 2017 nanti,  “Kabinet Kerja” yang merupakan kabinet Joko Widodo memang belum merealisasikan program Nawacita secara keseluruhan, namun demikian, tidak sedikit program pemerintah menunjukkan progres yang signifikan mengingat masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah berjalan lebih dari setengah perjalanan.

Tak dapat dipungkiri Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla telah melakukan sejumlah kinerja positif dengan terobosan beberapa keberhasilan program kerja yang telah dicapai selama ini salah satunya membangun Indonesia dengan penguatan sektor ekonomi.

Kemajuan sektor perekonomian adalah kunci dalam menjadikan negara Indonesia menjadi negara maju. Tak ayal tindakan awal dalam meningkatkan pembangunan perekonomian yaitu dengan membangun infrastruktur secara besar-besaran. Buruknya infrastruktur saat ini dinilai menjadi salah satu penghambat utama growth engine. Perbaikan infrastruktur penting untuk menekan biaya produksi, biaya transportasi, dan ongkos distribusi. Jokowi menilai distribusi logistik melalui laut merupakan yang paling murah. Untuk itu pemerintah berkonsentrasi pada konsep tol laut, seperti pembangunan yang sudah dimulai di Kuala Tanjung dan Makassar, disamping 24 pelabuhan yang direncanakan pemerintah. Selain itu pemerintah juga telah memulai membangun tol Trans Sumatera begitupun Trans Kalimantan, Sulawesi hingga Papua.

Selain gebrakan pembangunan infrastruktur, terdapat salah satu terobosan yang dapat dikatakan paling berhasil didunia yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yaitu kebijakan Tax Amnesty. Pembangunan ekonomi yang saat ini sedang berjalan menuju proses recovery atau perbaikan kondisi ekonomi Indonesia. Dengan selesainya program Tax Amnesty tersebut pada bulan April silam menunjukkan titik cerah, dan optimisme untuk memberikan subsidi terhadap defisit neraca transaksi berjalan. Program Tax Amnesty selain memberikan keuntungan bagi wajib pajak, program ini juga diharapkan akan membawa efek positif bagi perekonomian lebih luas termasuk bagi pembangunan infrastruktur likuiditas sistem keuangan, dan pertumbuhan ekonomi.

Mari berfikir cerdas secara seksama, mengapa fakta dan kenyataan yang ada senantiasa dipelintir dan dipolitisasi dengan etos kepentingan semata? Kapan negara ini akan maju tatkala kritik yang ditujukan bukan untuk membangun, malah justru fitnah dan menjatuhkan. Mengkaburkan yang jernih, membiaskan yang nyata, berhati-hatilah dalam berpolitik.

 

Oleh: Ardian Wiwaha (Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan FISIP Universitas Indonesia)


Komentar

Berita Terbaru

\