Golput, Solusi untuk Kehancuran
Senin, 02 Oktober 2017
00:00 WITA
Nasional
2959 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Aksi Golongan Putih atau yang lebih akrab dengan sebutan Golput, selalu menjadi permasalahan dalam setiap pelaksanaan pilkada serentak. Pilkada merupakan sebuah ajang pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia, dengan diberikannya kesempatan untuk ikut andil dalam memilih sosok pemimpin yang sesuai dengan kriteria masing-masing. Hal yang kini mulai dikhawatirkan yaitu, banyaknya masyarakat yang kurang menghargai ataupun memanfaatkan momen tersebut, dimana kesempatan untuk ikut membangun sebuah pemerintahan baik pusat maupun daerah dapat terbuang dengan sia-sia. Banyaknya hal yang terjadi dalam dunia politik Indonesia, tentu memiliki dampak bagi para pengikut “ras putih” ini, hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya jumlah partisipasi golput sejak pilkada legislatif tahun 2004, dengan kisaran angka berada pada 20% dari jumlah pemilih semestinya. Meski angka golput sempat turun pada pilkada legislatif tahun 2014, “tren” serupa mulai terjadi kembali pada pilpres 2014 dengan jumlah golput mencapai 29,1%.
Aksi golongan putih merupakan suatu hal yang sangat disayangkan, hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam bidang politik Indonesia dapat terbilang lemah, padahal pilkada dapat menjadi sebuah bentuk feedback dari masyarakat kepada pemerintah, dengan mengusung calon pemimpin yang sesuai untuk memimpin pemerintahan tersebut. Banyak sekali kerugian yang secara tidak langsung dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan, dimana aksi golput yang semakin marak ditiap ajang pilkada serentak, mulai dimanfaatkan oleh beberapa kelompok untuk kepentingan sepihak. Ajang pilkada serentak pada dewasa ini tidak lagi digunakan oleh beberapa tokoh politik untuk mengemban amanat dari para rakyat, melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi atau ajang pengamanan bagi dirinya. Sehingga, beberapa tokoh politik tersebut mulai menggunakan berbagai cara agar dirinya dapat terpilih sebagai pemimpin yang sah bagi suatu pemerintahan.
Motif seperti itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa kelompok kepentingan, dengan tingginya tingkat partisipasi golput, kemudian kelompok-kelompok tersebut mulai mendekati masyarakat dengan modus money politik. Dengan adanya iming-iming segelintir uang dengan syarat memilih salah satu calon, tentu menyebabkan gelap mata bagi para pemilih yang kebetulan tengah memiliki permasalahan ekonomi. Motif seperti ini telah mengalami banyak perkembangan secara teknisnya dilapangan, sehingga turut mempersulit pihak berwenang dalam melakukan pengawasan serta penegakan hukumnya. Dengan jumlah partisipasi golongan putih yang semakin meningkat, menjadikan keuntungan tersendiri bagi tokoh politik tersebut guna semakin memperbesar persentase kemenangannya, sehingga pilkada kini mulai beralih fungsi sebagai sarana pemenangan bagi salah satu calon asalkan memiliki “modal” untuk “mendapatkan” suara masyarakat.
Banyak masyarakat yang tidak mengetahui adanya beragam kerugian apabila praktek money politik terus terjadi, yaitu seperti pemimpin yang terpilih tidak memiliki kualifikasi yang sesuai dengan keinginan rakyat dalam jumlah besar, besarnya kemungkinan penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh pemimpin terpilih, perhatian pimpinan akan berat sebelah antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, dan masih banyak lagi. Meski kerugian yang diterima oleh masyarakat semakin nyata ditiap tahunnya, hal ini tetap terus berlangsung tanpa adanya usaha pasti dari masyarakat itu sendiri. Kemudian satu-satunya cara apabila rakyat mulai jenuh dengan pola kinerja pemerintahan, kebanyakan akan menyuarakan protes secara berkelompok dengan berbagai tuntutan. Sangat disayangkan sekali, dimana sejatinya aksi protes serta tuntutan tersebut merupakan hasil yang telah diperbuat oleh mereka sendiri. Seperti dalam peribahasa, apa yang kalian tanam, itulah yang akan kalian tuai, dan sampai kapan hal ini akan terus terjadi ?
Maka dari itu, perlunya pembenahan bagi seluruh rakyat Indonesia bahwa golput bukanlah sebuah alternatif untuk menentukan pemimpin yang diinginkan, melainkan titik awal dari sebuah ketidakpuasan. Dengan semakin dekatnya waktu pilkada serentak 2018 mendatang, hal ini dapat menjadi sebuah momentum pembuktian bagaimana potret sebuah pemerintah apabila tingkat golongan putih dapat dipangkas sebesar-besarnya, dibandingkan dengan hasil “praktek” Pilkada sebelumnya, serta mempersempit adanya gerakan kelompok kepentingan yang selama ini dengan mudah memanfaatkan pergelaran pesta demokrasi kita.
Oleh : Arya Pradipta (Alumni ISIP)
Komentar