PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Menilik Tantangan Pemberantasan Terorisme di Indonesia

Kamis, 28 September 2017

00:00 WITA

Nasional

3052 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

google

Opini, suaradewata.com - Belum lama ini Densus 88 dan Polda Jabar menggelar rekonstruksi kasus bom panci dengan tersangka Agus Wiguna (22) selama dua hari, Senin dan Selasa (28-29/8/2017). Rekonstruksi yang digelar di 11 lokasi, di antaranya, di kamar kontrakan Agus di Sekejati, Buahbatu, Pagarsih dan RM Celengan, Jalan Astana Anyar, Kafe I Am Beer, Jalan Braga, Suniaraja, dan Jalan Pajajaran. Rekonstruksi yang menghadirkan tersangka Agus Wuguna pada Selasa (29/8/2017), dimulai di Kafe I Am Beer (Bali Hai), Jalan Braga sekitar pukul 10.00 WIB. Meskipun berbagai upaya pemberantasan terorisme hingga saat ini telah mengalami kemajuan yang dapat dikatakan signifikan, namun demikian, perkembangan dan pertumbuhan idealis terkait radikalisme dinilai akan terus masif terbangun mengimbangi pertumbuhan dan pencegahan baik teknologi maupun upaya deradikalisasi. Terbukti hal tersebut dapat ditelaah dari perubahan pemikiran-pemikiran kader-kader pembawa misi Negara Islam Indonesia (NII) dari mulai awal kemerdekaan hingga zaman reformasi, yangmana justru menjadi tantangan tersendiri bagi aparat yang menaungi. Mengutip salah satu pemikiran ahli terorisme Dr. Petrus Reinhard Golose, terdapat empat tantangan tersendiri dalam kaitan upaya pemberantasan terorisme di Indonesia.

Radikalisasi Berlangsung Secara Sistematis dan Terorganisir

Ibaratkan sebuah mesin, kelompok terorisme merupakan segenap kumpulan alat dan peralatan yang menyatu dalam sistem dan diciptakan untuk melakukan sekaligus memproduksi landasan awal penciptaan mesin tersebut.

Sehingga eksistensi sebuah kelompok radikal ataupun kelompok teroris, membutuhkan kader-kader sebagai pemegang kendali jalannya roda kelompok hingga untuk melaksanakan berbagai agenda kegiatan mereka, demi tercapainya tujuan organisasi.

Untuk itu, kelompok-kelompok ini sering kali giat melakukan upaya radikalisasi di masyarakat, baik melalui upaya dakwah atau syiar agama yang melalui media massa, komunikasi langsung, lembaga pendidikan, hingga hubungan keluarga sekalipun, acapkali ditunggangi dengan pemikiran-pemikiran radikal, hingga upaya rekrut terhadap kader-kader potensial yang telah diploting atau ditandai oleh para pengkader untuk dijadikan anggota.

Memerangi Pola Pikir Radikal

Berbagai pemikiran sesat dan destruktif acapkali dijadikan dogma bagi diri sang teroris. Bom bunuh diri, anti partisipasi, jihad, merupakan segenap nilai-nilai yang ditanamkan secara intesif oleh para elit kelompok teror guna melahirkan sebuah pemikiran dialektika kritis bagi kesesatan pikiran mereka. Pemikiran-pemikiran inilah yang menggagas seorang pelaku terorisme untuk mendirikan sebuah negara islam yang dalam hakikatnya menyepelekan hingga melupakan semangat berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia.

Agama, merupakan salah satu isu yang paling sensitif di Indonesia. Tak jarang apabila berbagai konflik baik komunal maupun horisontal acapkali muncul akibat dari tidak terakomodirnya keanekaragaman kehidupan beragam dan beragama. Sehingga dibutuhkan upaya yang sarat akan kehati-hatian dalam mengatasi permasalahan terorisme yang erat kaitannya dengan sebuah agama, karena harus dipahami bahwa pemberantasan tindak perilaku terorisme tidak dapat disejajarkan dan disama ratakan dengan pemberantasan terhadap suatu umat beragama.

Penanganan Terorisme yang Dititikberatkan pada Hukuman Pidana

Mengingat hukum pidana merupakan bagian dari hukum, maka sudah sepatutnya hukum pidana mengabdi pada tujuan hukum yakni sebuah ketertiban. Salah satu argumentasi ahli hukum, J.E. Sehetepy, merumuskan sebuah tujuan pidana sebagai upaya untuk membebaskan terpidana dengan jalan memperbaiki sikap mental dan spiritual, dan dikatakan juga bahwa persoalan pidana tidak hanya menjadi persoalan dari seorang terpidana saja, melainkan berkaitan erat dengan sikap pembuat undang-undang, permasalahan sepak terjang aparat penegak hukum, hingga permasalahan dengan cara apa dan bagaimana hukum dilaksanakan dan ditegakkan.

Pelaksanaan hukum pidana baik penjara maupun hukuman mati saat ini justru menjadi dilema tersendiri bagi aparat penegak hukum, disatu sisi longgarnya pengawasan dan upaya penjara menjadi rahasia umum bagi keberadaan lapas di Indonesia, disisi lain gagasan hukuman mati bagi para pelaku teror juga berpotensi menimbulkan aksi simpati para pelaku teror lain, yang kedepannya justru dapat menimbulkan semangat radikal dan teror yang baru seolah bertindak membalaskan dendam para terdahulu mereka.

Kemampuan Bermetamorfosis Kelompok Teroris

Mempelajari siklus metamorfosis sebuah kelompok teroris, dapat difokuskan terhadap eksistensi salah satu kelompok yang tergolong radikal yakni Jamaah Islamiyah (JI). JI merupakan salah satu kelompok yang membangun berbagai aliansi dengan organisasi-organisasi sejenis, termasuk dalam tataran internasional. Sejak terungkapnya bahwa JI merupakan salah satu organisasi yang memiliki kaitan dengan para pelaku terorisme, JI berupaya untuk senantiasa mempertahankan keberadaan dirinya dengan melakukan metamorfosis dan mensinergikan dirinya dengan cara mendirikan ormas berbasis islam yang baru atau masuk menjadi anggota baru di keorganisasian Islam.

Kemampuan bermetamorfosis ini, dimaksudkan untuk merubah ataupun memodifikasi struktur badan keorganisasiannya untuk selalu mempertahankan eksistensi dirinya.

Oleh karenanya, tidak mudah untuk melakukan sebuah aksi dan tindakan dalam menyelesaikan idealisme radikal dan terorisme. Karena perlakuan terhadap tindak pemberantasan terorisme di Indonesia, harus senantiasa dibarengi dengan upaya tindak pencegahan yang sistematis dan masif dibangun mulai sejak dini.

Oleh: Ardian Wiwaha (Mahasiswa Pasca Sarjana FISIP Universitas Indonesia)


Komentar

Berita Terbaru

\