Rohingya Dari Tahun Ke Tahun
Minggu, 17 September 2017
00:00 WITA
Nasional
3087 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Kekerasan kemanusian terbaru dan terbesar sepanjang abad ini kembali tertuju pada etnis Rohingya yang merupakan sebuah kelompok etnis Indo-Aryadari Rakhine atau yang juga dikenal sebagai Arakanatau Rohang dalam bahasa Rohingya di Burma, Myanmar. Konon kejahatan yang menyita perhatian dunia tersebut bermula saat pengkhianatan oleh Inggris dan kesewenang-wenangan para penguasa Myanmar yang menjadikan Rohingya sebagai etnis tanpa negara dan kewarganegaraan yang telah berlangsung sejak satu abad terakhir.
Menelaah beberapa sumber literatur sejarah, etnis Rohingya mendiami wilayah Kerajaan Arakan yang kini dikenal sebagai Rakhine, Myanmar, bermula saat fakta sejarah yang menunjukan sekitar abad ke-8 hingga ke-14 terdahulu, para etnis Rohingya intens berinteraksi dengan para pedagang Arab yang kala itu juga membawa Islam sebagai budaya dan agama. Tak ayal apabila pada kurun waktu tersebut, infiltrasi pemahaman Islam yang dibawa para pedagang Arab, dengan mudah masuk dan diadopsi oleh beberapa warga setempat, sehingga mendominasi sebagai sebuah ajaran keagamaan yang dianut oleh mayoritas penduduk di Rakhine.
Sama halnya di Indonesia, pada kurun waktu sekitar tahun 1784 hingga 1790, Raja Burma yang bernama Bodawpaya, menakhluan Arakan (kala itu) yang membuat ratusan ribu pengungsi bermigrasi ke daerah Bengal. Melihat kondisi tersebut, konon saat itu Inggris (masih menjajah India) melihat peluang terkait permasalahan pengungsi sehingga mengirimkan seorang Diplomat yang bernama Hiram Cox untuk membantu menyelesaikan permasalahan kemanusiaan di Arakan hingga dapat mendirikan sebuah Kota yang bernama Cox’s Bazar di Bangladesh sebagai salah satu tempat bermukim warga Rohingya.
Pelan namun pasti, melihat retaknya kondisi kebudayaan, persatuan, kekuatan, dan dinamika politik yang terjadi di beberapa kerajaan di Burma kala itu, Inggris memanfaatkan hal tersebut untuk menjajah Burma pada fase sekitar tahun 1824 hingga 1942. Namun demikian, pada tahun 1942, Jepang sang matahari timur tak tinggal diam untuk mendepak Inggris dari wilayah Burma yang dahulu merupakan salah satu wilayah yang masuk ke dalam daerah kolonial Jepang.
Sekitaran tahun 1945 hingga 1948, bersamaan dengan dinamika politik dan kekuasan Jepang yang melemah, Inggris melihat peluang kembali untuk membebaskan Burma dari Jepang, dengan bantuan pejuang Burma dan Rohingya. Tak ayal, hal tersebut berbuah manis saat Burma memproklamirkan kemerdekaannya pada sekitaran tahun 1948. Namun demikian, proklamasi kemerdekaan Burma malah justru menjadi titik konflik yang terjadi. Pejuang Rohingya yang merasa dirinya ikut bagian dalam perjuangan kemerdekaan justru menganggap Inggris sebagai seorang pengkhianat. Hal ini dikarenakan Arakan, tempat warga Rohingya bermukim kala itu tidak diberikan otonomi atau kewengan untuk mengatur dan mengurus daerah mereka secara mandiri.
Oleh karenanya, sekitar tahun 1950-an, muncul sebuah ketegangan yang terjadi antara Rohingya dan pemerintah Burma yang baru merdeka. Dimana, Rohingya berkeinginan untuk bergabung dengan Pakistan selaku salah satu negara yang memiliki kesamaan dalam bidang kepercayaan, namun Burma malah justru bersikap dingin dan mengucilkan Rohingya. Sehingga muncullah beberapa pergerakan dan kelompok perlawanan yang menamakan diri mereka sebagai kelompok mujahid yang berjuang melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah Burma kala itu yang cenderung sentimental dan otoriter dalam hal menjaga kemerdekaan kemanusiaan.
Kala itu, sekitaran tahun 1962 hingga 1977, Jenderal Ne Win dari Burma mengambil kendali pemerintahan Burma dan menerapkan kebijakan keras kepada etnis Rohingya atau yang dikenal dengan Operasi Nagamin yang menarget warga asing termasuk etnis Rohingya, mengungsi ke Bangladesh dengan jumlah yang tidak sedikit, sekitar 200 ribu warga Rohingya.Sempat terjadi pendinginan konflik sekitaran tahun 1978 hingga 1982, dimana Bangladesh – Burma, dengan dimediasi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa atau PBB, menyepakati repatriasi pengungsi pada tahun 1978. Namun empat tahun berselang, repatriasi tersebut malah justru dicederai oleh Burma, yangmana pengesahan UU Imigrasi yang menyatakan semua yang bermigrasi di era kolonialisme Inggris dianggap sebagai imigran Ilegal.
Di sekitaran tahun 1991 hingga 1997, sebanyak 250 ribu warga Rohingya menjadi korban UU Imigrasi Myanmar yang cenderung kurang manusiawi (perubahan nama Burma sejak tahun 1989). Etnis Rohingya mengungsi untuk menghindar menjadi korban perbudakan, pemerkosaan, dan persekusi sektarian oleh militer Myanmar. Namun demikian, PBB kembali mengambil peran, dengan kesepakatan repatriasi yang baru, sekitar 230 ribu warga Rohingya kembali pulang ke Myanmar pada tahun 1992 hingga fase 1997.
Kerusuhan sektarian kembali terjadi pada tahun 2012. Sekitar 100 orang meninggal di Rakhine yang mayoritas diisi oleh etnis Rohingya. Tak dipungkiri banyak pihak yang mengkaitkan permasalahan ini dengan fakta sejarah sebelumnya, yang juga memicu gelombang kekerasan dan pengungsian Rohingya ke Bangladesh dan berbagai negara di Asia Tenggara.
Tahun 2016 hingga 2017, konflik Rohingya kembali pecah, tatkala kelompok perlawanan Rohingya, Harakah Al Yaqin, membalas kebijakan otoriter Pemerintah Myanmar dengan sebuah penyerangan terhadap berbagai pos keamanan, termasuk pada akhir Agustus silam. Hingga saat ini, pemerintah Myanmar yang merasa tercederai kedaulatannya, justru membalas hal tersebut dengan sebuah pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran secara massal yang menghantam masyarakat sipil, wanita dan anak kecil, tanpa mempertimbangkan nilai kemanusiaan.
(Sumber: AFP/Reuters/BBC/Time)
Oleh: Ardian Wiwaha (Mahasiswa Pasca SarjanaFakultas Ilmu Politik Universitas Gajah Mada)
Komentar