Radikalisme dalam Spektrum Politik
Kamis, 24 Agustus 2017
00:00 WITA
Nasional
4222 Pengunjung
ilustrasi
Opini, suaradewata.com - Radikalisme dan deradikalisasi merupakan dua istilah politik yang muncul dalam penanganan gerakan terorisme saat ini. Karl Popper mendefinisikan radikalisme sebagai manifestasi atas penolakan terhadap proses modernisasi. Polanya mengarah pada upaya penggulingan atau paling tidak menentang kemapanan kekuasaan yang dianggap sebagai penyebab penderitaan rakyat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, radikalisme diartikan sebagai sebuah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drasti atau sikap ekstrim dalam suatu aliran politik.
Sementara didalam Kamus Politik, pengertian radikalisme diartikan sebagai ide-ide politik yang mengakar dan mendasar pada doktrin-doktrin yang dikembangkan dalam menentang status quo.
Horace M. Callen mengemukakan tiga ciri khas radikalisme, yangmana pertama, radikalisme dimaknai sebagai bentuk reaksi terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Dari reaksi-reaksi tersebut muncul sebuah evaluasi, penolakan atau bentuk perlawanan.
Adapun umumnya permasalahan yang ditentang tersebut berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab atas situasi dan kondisi yang terjadi.
Kedua, radikalisme tidak berhenti pada sekedar upaya penolakan, namun demikian terus berupaya mengganti tatanan yang sudah ada dengan bentuk tatanan nilai lain. Sebuah kelompok radikalis berusaha keras untuk menerapkan tatanan yang diyakini yang dipersiapkan mengganti tatanan sebelumnya.Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikal akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa.Sehingga dari tiga indikator radikalisme tersebut yang dimaksud oleh Horace M. Kallen dapat dijadikan rujukan dalam mengidentifikasi satu pemikiran atau gerakan yang bersifat radikal.
Radikalisme sarat akan nilai dan erat kaitannya dengan cita-cita yang diperjuangkan. Misalnya bersifat radikal dalam artian mencermati serta merespon setiap persoalan yang dihadapi sampai keakar-akarnya (radic). Sikap radikal tersebut berpegang teguh pada azas dan dasar dari suatu ajaran secara ekstrim, intoleransi, anti-kompromi, dan anti-akomoditif dengan nilai-nilai lain.
Sementara dalam perspektif spektrum politik, Leon P. Baradat menyatakan bahwa pengertian radikalisme mengacu pada pemahaman seseorang atau kelompok yang secara ekstrim tidak puas dengan kondisi masyarakat yang ada. Mereka tidak sabar untuk menanti perubahan yang fundamental.
Oleh karenanya, lebih lanjut radikalisme dalam spektrum politik dimaknai sebagai bentuk penolakan terhadap bentuk kekuasaan oleh orang-orang yang memiliki tingkat penolakan yang berbeda, mulai dari skala ekstrim hingga skala kecewa dan frustasi, yangmana masing-masing tingkatan memiliki cara dan aksi yang berbeda-beda mulai dari cara yang soft hingga cara-cara kekerasan dalam mencapai cita-cita dan harapannya.
(Sumber: Buku “Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdatul Ulama”, Tahun 2017, karangan: Saefudin Zuhri)
Ricky Rinaldi( Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia )
Komentar