Bersama Mencegah Terorisme
Kamis, 10 Agustus 2017
00:00 WITA
Nasional
3691 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Terorisme, sebuah kata yang dapat dikatakan merupakan objek musuh bersama baik individu maupun negara. Tak dapat dipungkiri bahwasannya terorisme dapat diibaratkan sebagai sebuah pengalaman buruk bagi negara-negara yang terutama memiliki pengalaman atau sering kali dijadikan ladang “amaliyah” atau tempat berjihad bagi komplotan kelompok teror.
Sama halnya dari perspektif religiusitas atau agama, dapat dipastikan bahwasannya kelompok terorisme merupakan musuh bersama. Hal ini berkaca dari beberapa pelaku teror yang acapkali mengatasnamakan kelompoknya dengan homogenitas agama. Tak ayal hal tersebut justru memunculkan stigma negatif terhadap sebagian kelompok agama yang menjadi korban pengatasnamaan.
Hadirnya fenomena terorisme di masyarakat seakan membangunkan kesadaran masyarakat Indonesia bahwa halnya masih terdapat banyak celah bahkan lubang besar yang tidak terpikirkan selama ini untuk dimanfaatkan sebagai peluang aksi teror. Sehingga, diperlukan sinergitas peran semesta antar stakeholder dalam menangkal hingga membasmi tumbuh kembang kelompok terorisme di Indonesia.
Peran Pemerintah
Selaku pemegang tampuk kekuasaan, pemerintah dinilai merupakan salah satu subjek yang memiliki peranan yang paling signifikan dalam membasmi tindak terorisme dalam suatu negara. Selain dari pada memiliki otoritas dan legal formal dalam upaya pembasmiannya, pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan-kebijakan seperti halnya kebijakan sensor amupun memblokir suatu situs atau website media yang terbukti menyebarkan konten negatif atau bahkan berpotensi merongrong independensi negara sekalipun.
Meskipun kadakala kelompok teroris telah merambah arena baru, senjata baru, pasukan baru, hingga pola perang yang baru, pemerintah juga harus menyesuaikan perubahan demi perubahan tersebut sehingga niat hingga aksi untuk melancarkan tindakan teror dapat dicegah secara efektif dan efisien.
Peran Keluarga
Keluarga merupakan kelompok terkecil dalam sebuah kehidupan yang memiliki peranan besar dalam menghadapi persebaran tindak terorisme. Terlebih persebaran paham terorisme yang dewasa ini marak menggunakan dunia maya, keluarga merupakan salah satu agen yang memiliki peran untuk menangkal hal tersebut.
Seperti yang terjadi di Timur Tengah, kasus yang menimpa keluarga Aqsa yang mengakui bahwa seorang remaja perekrut tiga remaja Inggris, telah menglami proses radikalisasi yang berlangsung di ruangan kamar pribadinya tanpa sepengetahuan orang tuanya sekalipun. Lemahnya komunikasi dan upaya kontrol terhadap persebaran tindak terorisme, merupakan faktor utama bagi proses radikalisais di dunia maya tanpa sepengetahuan orang tua.
Peran Tokoh Agama
Berdasarkan penjelasan salah satu direktur Pusat Kajian Radikalisasi di London, Inggris, Peter Neumann, dari 100 anak muda, baik pria maupun wanita yang bergabung dalam sebuah kelompok radikal, bukanlah tipikal muslim yang memiliki latar belakang pendidikan agama yang baik dan taat. Sehingga peluang tersebutlah yang justru dimanfaatkan oleh komplotan kelompok teror untuk menggunakan peranan internet sebagai media persebaran paham mereka hingga tahapan rekrutmen anggota.
Dalam perkembangan teknologi internet kecenderungan belajar agama melalui dunia maya dinilai sangat populer. Gary R Bunt, salah satu ilmuan Inggris yang meneliti tentang perkembangan kelompok teror mengulas secara baik fenomena tersebut dengan istilah Islamic Authority Online (Fatwa Online) sebagai bagian dakwah Islam dengan ragam ideologi yang menyokongnya termasuk yang radikal sekalipun.
Oleh karenanya, peranan tokoh agama menjadi sangat penting untuk terlibat dalam pencerahan di dunia maya. Terlebih sejalan dengan kredibilitas dan otoritatif peranan tokoh agama, menjadi sangat penting untuk terlibat dalam proses deradikalisasi dunia maya.
Peran Lembaga Pendidikan
Mengutip salah satu hasil penelitian Setara Institute tahun 2015 terhadap sebuah Sekolah Menenagah Umum (SMU) di Jakarta mengenai pengetahuan tentang eksistensi kelompok teror ISIS, dari 684 responden yang menjadi objek penelitian, 75,3 persen responden atau setara dengan 515 responden didapati mengetahui eksistensi kelompok ISIS dari pemberitaan media masa dan internet.
Dapat disimpulkan secara singkat bahwasannya lingkungan pendidikan tidak hanya menjadi arena pendidikan, namun juga sekaligus tempat bermain para peserta didik yang mempengaruhi dalam pembentukan sikap dan karater siswanya. Sekolah merupakan unit sosial terkecil yang memiliki peranan dan bertanggung jawab terhadap pembentukan kematangan sesorang. Karena sekolah menjadi pondasi awal di luar keluarga yang mempengaruhi sikap, pemahaman, dan keyakinan terhadap seorang individu.
Peranan Komunitas atau Penggiat Dunia Maya
Hasil survei yang dilakukan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia pada tahun 2015 menyebutkan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2014 sebanyak 88,1 juta penduduk atau setara dengan sekitar 34,9 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Terlebih dengan fakta bahwa pengguna internet di Indonesia didominasi oleh kalangan generasi muda dengan rentang umur 18 hingga 25 tahun dan cenderung menggunakan seluler sebagai media untuk mengakses dan berkomunikasi didunia maya. Fakta tersebut justru memperlihatkan sebuah peluang bagi perkembangan dunia teknologi dan informasi di Indonesia khususnya dengan hadirnya generasi muda yang sudah mulai melek media. Tak ayal apabila seorang individu atau bahkan kelompok kaula muda penggiat dunia maya dapat berperan aktif serta terlibat dalam program damai di dunia maya hingga menginisiasi gerakan perdamaian yang dapat mencegah persebaran paham radikalisme dan terorisme yang dewasa ini masif terjadi.
Ardian Wiwaha( Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia )
Komentar