Dunia Maya dan Arus Radikalisme Baru
Kamis, 08 Juni 2017
00:00 WITA
Nasional
3444 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Meskipun perkembangan teknologi dan informasi dapat dikatakan sangat cepat dan pesat, namun demikian bukan berarti upaya radikalisasi merupakan sebuah proses yang instan dan sederhana.
Diperlukan sebuah alur yang panjang dan kompleks, mulai dari tahapan proses pengenalan, identifikasi diri, indoktrinisasi, radikalisasi, hingga pelaksanaan aksi teror.
Globalisasi dan modernisasi yang semakin bergulir dengan pola dan aktifitas kehidupan umat manusia dewasa ini, secara tidak langsung telah mempengaruhi perubahan terhadap pola jaringan dan aksi kelompok terorisme
Pertama, upaya radikalisasi di lingkungan remaja. Penggunaan media oleh kelompok teroris ditujukan tidak hanya sebagai media propaganda dan rekrutmen, serta alasan praktis dan kemudahan. Namun demikian kelompok radikal cenderung sadar bahwa secara demografis para penghuni dunia maya berasal dari kelompok remaja yang secara umum, dapat dikatakan sebagai fase umur yang paling rentan terhadap hasutan radikalisme. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut, kebanyakan remaja masih sibuk dalam mencari jati diri dan proyeksi hidup di masa yang akan datang.
Salah satu bukti nyata bahwasannya kelompok usia remaja merupakan kalangan yang paling mudah tergalang oleh konsep dan pemikiran radikal adalah hasil data terkait jumlah anggota ISIS yang didominasi oleh kelompok umur remaja yang berusia 18 hingga 25 tahun. Begitupun di Indonesia, telah diidentifikasi sebanyak lima remaja SMK di Kab. Klaten, Jateng, yang mengakui bahwa sempat mendapatkan ilmu perakitan bom dari sebuah forum online bernama Al-Busyro.
Kedua, selain dari kalangan remaja, kelompok radikalis dan teroris juga menyasar kelompok umur terdidik sebagai target penggalangannya. Seperti halnya Umar Patek (terpidana kasus terorisme yang sedang menjalani masa hukuman di Porong, Sidoarjo) yang dikenal pintar dan cerdas. Begitupun dengan alm. Dr. Azhari yang merupakan salah satu tokoh akademisi ternama di bidang ilmu kimia dan science. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya radikalisasi juga dapat menargetkan siapa saja, termasuk kalangan akademisi dan terdidik bahkan kelompok masyarakat kelas menengah ke atas.
Penebaran teknik propaganda yang dilakukan secara terus menerus, ditambah dengan pendektan semi-personal melalui fasilitas chatting, semakin memudahkan kelompok radikalis dan teroris merambah berbagai lini.
Ketiga, internet merupakan ruang terbuka untuk melancarkan propaganda. Dunia maya yakni internet yang difasilitasi dengan website dan media sosial, telah menjadi ruang terbuka bagi siapa saja. Meskipun dapat dikatakan unreal, namun demikian tidak sedikit orang mengekspresikan emosi dan jalur pikirnya melalui media ini.
Terbukanya akses untuk menjalin komunikasi dengan banyak orang, termasuk orang-orang yang tidak dikenal sebelumnya, telah menggeser pola persebaran radikalisasi itu sendiri. Jika sebelumnya proses indoktrinisasi dan rekrutmen hanya bisa dilakukan di ruang tertutup dan menggunakan perantara orang terdekat, namun saat ini proses tersebut dapat disingkat dan dipercepat dengan memanfaatkan media maya sebagai lapangan dan sarana prasarananya.
Oleh karenanya, persebaran propaganda terorisme yang tersebar di dunia maya tidak dapat dianggap remeh. Hal ini dikarenakan kebebasan kita dalam mengakses informasi dan komunikasi dapat menimbulkan efek radikalisme yang begitu besar. Arus baru dalam pola dan alur persebaran terorisme saat ini, menjadi tantangan tersendiri bagi kita semua untuk segera sadar dan bertindak tegas terhadap segala bentuk dan upaya kelompok radikal dan teroris, yang semakin mengancam keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ahmad Putra (Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia)
Komentar