SETARA: Vonis Terhadap Ahok Tak Lazim
Rabu, 10 Mei 2017
00:00 WITA
Denpasar
3174 Pengunjung
suaradewata.com
Denpasar, suaradewata.com - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akhirnya divonis hukuman 2 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, dalam sidang putusan yang berlangsung di Jakarta, Selasa (9/5). Vonis Majelis Hakim ini, menuai reaksi beragam dari publik.
Ketua SETARA Institute, Hendardi, misalnya menyebut bahwa vonis 2 tahun penjara untuk Ahok ini sangat tidak lazim. Vonis ini, menurut dia, lebih menjelaskan bahwa Majelis Hakim sedang bekerja dalam tekanan.
"Sebagai sebuah mekanisme demokrasi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara haruslah dihormati. Akan tetapi harus pula diakui bahwa Majelis Hakim bekerja di bawah tekanan gelombang massa yang sejak awal memberikan tekanan dan mendesak pemenjaraan Basuki," ujar Hendardi, dalam siaran pers yang diterima wartawan, di Denpasar, Selasa (9/5).
Vonis itu, imbuhnya, mempertegas bahwa delik penodaan agama rentan digunakan sebagai alat penundukkan bagi siapapun dan untuk kepentingan apapun. Hendardi lalu membeberkan bahwa, vonis bagi Ahok ini menambah daftar panjang kasus penodaan agama di Indonesia. Sebab, vonis untuk Ahok ini menjadi kasus penodaan agama yang ke-97, sepanjang 1965-2017.
Dari 97 kasus dugaan penodaan agama yang pernah terjadi, 89 kasus di antaranya terjadi pasca 1998. "Di sinilah bahaya dari ketentuan yang bias dan multitafsir dari Pasal 156a KUHP," ujarnya.
Dikatakan, vonis terhadap Ahok sesungguhnya juga di luar kelaziman. Pasalnya, hakim memutus melampaui apa yang menjadi tuntutan JPU. JPU gagal membuktikan dakwaan primer Pasal 156a, maka JPU hanya menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP.
Meskipun tidak lazim, demikian Hendardi, secara prinsip memang hakim independen dan merdeka dalam memutus perkara, sepanjang tidak keluar dari delik dan dakwaan yang termaktub dalam UU. Namun demikian, kemerdekaan hakim semestinya haruslah sejalan dan bertolak dari fakta-fakta persidangan.
"Kualitas peristiwa hukum yang menimpa Basuki dan pembuktian yang lemah sepanjang masa sidang, semestinya mampu meyakinkan hakim untuk membebaskan Basuki atau setidaknya memvonis dengan hukuman yang tidak melampaui tuntutan JPU," tandas Hendardi.
Ia menambahkan, menyimak konsideran putusan atas Ahok, tampak bahwa hakim menerapkan standar ganda dalam mempertimbangkan konteks peristiwa hukum itu. Di satu sisi, hakim mempertimbangkan situasi ketertiban sosial yang diakibatkan oleh ucapan Ahok. Namun di sisi lain, hakim a historis dengan peristiwa yang melatarbelakangi pernyataan Ahok dan pelaporannya oleh kelompok masyarakat. "Betapa politisasi identitas dan peristiwa hukum itu dijadikan alat penundukkan yang efektif untuk memenangi sebuah kontestasi," tegasnya.
Ketidakseimbangan dalam memperlakukan aspek-aspek non hukum ini, imbuhnya, membuat putusan PN Jakarta Utara mempertegas adanya trial by mob. Kerumunan massa menjadi sumber legitimasi tindakan aparat penegak hukum. Majelis hakim memilih jalan pengutamaan koeksistensi sosial yang absurd dibanding melimpahkan jalan keadilan bagi warga negara, seperti Ahok.
"Trial by mob sudah dipastikan bertentangan dengan rule of law dan membahayakan demokrasi dan negara hukum kita, karena sumber legitimasi telah bergeser dari kedaulatan rakyat yang dijalankan berdasarkan UUD menjadi kedaulatan kerumunan meski harus mengingkari prinsip-prinsip negara hukum. Due process of law dalam penegakan Pasal 156a tidak pernah dilakukan, padahal genus Pasal 156a adalah UU No. 1/PNPS/1965 yang menuntut adanya peringatan dan proses-proses non yudisial sebelum seseorang diproses secara hukum," urainya.
Trial by mob, demikian Hendardi, telah mengikis kepercayaan diri hakim untuk menghayati asas “in dubio pro reo” dalam memutuskan kasus Ahok. Asas ini memandu hakim, jika ada keragu-raguan mengenai suatu hal, maka haruslah diputuskan berdasarkan pertimbangan yang paling menguntungkan terdakwa.
"Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah," pungkas Hendardi. san/dev
Komentar