Kebhinekaan dan Toleransi Beragama : Dua Jimat Andalan Indonesia
Minggu, 07 Mei 2017
00:00 WITA
Nasional
6864 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Menurut Dr. Dyah Adriantini Sintha Dewi, SH, M.Hum, dipergunakannya semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berasal dari tulisan Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma pada masa kerajaan Majapahit telah menunjukkan adanya penerimaan dari bangsa Indonesia. Hal ini mengingat bahwa, sekalipun bangsa.
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, adat istiadat, agama, bahasa daerah, namun penggunaan istilah yang berasal dari ajaran Budha dan Hindu, mendapat kesepakatan untuk dipergunakan tanpa menimbulkan gejolak pertentangan diantara pemeluk agama yang lainnya. Budaya bangsa Indonesia yang menganggap bahwa negara sebagai sebuah keluarga besar, telah mampu menguatkan keberlakuan semboyan Bhinneka Tunggal Ika hingga saat ini.
“Adanya upaya untuk melemahkan kebhinnekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, merupakan hal yang harus disikapi secara serius penanganannya,”ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang, Jawa Tengah ini.
Bukanlah hal yang mudah untuk mengatur dan menata sebuah negara dengan wilayah yang sangt luas, jumlah penduduk yang sangat besar dengan beraneka adat istiadat, bahasa daerah, budaya, agama dan karakter yang beragam. Keberagaman sangat mungkin merupakan pemicu perpecahan. Untuk itu, maka sangatlah hebat dan harus kita apresiasi adanya pemikiran dari para founding fathers yang menyitir kalimat bangunan Mpu Tantular, "Bhinneka Tunggal Ika" sebagai semboyan dasar negara Indonesia.Bhinneka Tunggal Ika dalam konteks Indonesia adalah rumah yang terdiri dari 17.504 pulau, 1.360 suku bangsa, 726 bahasa daerah, di samping adanya keragaman agama dan kepercayaan yang diakui oleh negara.
Konsep Negara Hukum Pancasila
Konsep negara hukum berkembang sesuai dengan karakter dari sebuah bangsa. Lahirnya konsep rechtstaat di Eropah berasal dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, sementara konsep The Rule of Law berkembang secara evolusioner. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sangatlah tepat dipakai sebagai dasar pembangungan konsep negara hukum bagi bangsa Indonesia, mengingat bahwa nilai-nilai Pancasila adalah digali dari diri bangsa Indonesia sendiri, sehingga mencerminkan jati diri bangsa Indonesia. Jati diri inilah yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain.
Bhinneka Tunggal Ika sebagai paradigma dalam penegakan konsep negara hukum Pancasila, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara hukum Indonesia, bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum". Secara umum, bahwa konsep negara hukum mengatur pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang mendasarkan pada hukum. Dalam menjalankan konsep negara hukum Pancasila, yang berangkat dari sikap asli bangsa Indonesia, bahwa perlu adanya paradigma yang tepat sebagai pedomannya.
Dalam rangka untuk menegakkan konsep negara yang berketuhanan sebagai realisasi dari kebhinnekaan dengan berdasarkan pada sikap toleransi, kekeluargaan dan gotong royong sebagai pencerminan dalam nilai-nilai Pancasila, maka dalam aktivitas ketatanegaraan di Indonesia perlu penguatan terhadap sistem hukum yang berlaku dalam aktivitas ketatanegaraan di Indonesia, yang meliputi 3 (tiga) unsur, yaitu substansi, struktur dan budaya hukum. Berkait dengan substansi, bahwa adanya ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus benar-benar difahami dan dihayati oleh seluruh bangsa Indonesia. Sementara berkait dengan struktur, bahwa penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk mengawal sekaligus mengawasi pelaksanaan dari Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 supaya terjaga adanya toleransi dan keharmonisan dalam melaksanakan ketentuan agama bagi masing-masing penganutnya.
Unsur budaya hukum menjadi dominan, mengingat kunci utama adalah dalam sikap dan perilaku masyarakat. Bahwa bangsa Indonesia terbentuk diawali dari keanekaragaman adalah merupakan hal yang tidak dapat diingkari, sehingga budaya hukum masyarakat untuk selalu menghormati perbedaan yang ada menjadi tuntutan dalam menegakkan konsep negara hukum Pancasila.
Penolakan HTI dan FPI
Jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengambil sikap terang perihal gerakan HTI dan FPI. Mereka mengimbau warga NU untuk tidak menyetujui bahkan terlibat dalam aksi-aksi gerakan keduanya. Karena, semangat dua organisasi yang disebut terakhir berada di luar nilai-nilai dakwah ahlussunnah wal jamaah. Menurut Katib Aam PBNU KH Malik Madani, warga NU tidak boleh terpengaruh oleh HTI dan FPI serta warga NU di daerah untuk menjaga aqidah warga NU setempat dari segala ajaran sempalan di dalam Islam.
“Kalau gerakan HTI bertolak belakang dengan kesepakatan Pancasila sebagai asas tunggal negara, aksi-aksi yang dilancarkan FPI tidak mengacu pada semangat dakwah aswaja. Praktik amar makruf dan nahi munkar model FPI, tidak terdapat acuannya di dalam kitab-kitab ulama mazhab”, tandas Kiai Malik (http://www.nu.or.id/post/read/51730/nu-tolak-tegas-gerakan-hti-dan-fpi)
Sebelumnya, FPI menghadapi penolakkan dari berbagai elemen masyarakat di beberapa daerah. Hal ini terjadi lantaran mereka menilai FPI sering melakukan aksi kekerasaan. Berdasarkan catatan Tempo, berikut ini adalah aksi penolakan masyarakat terhadap kehadiran FPI di sejumlah daerah.
FPI ditolak Suku Dayak Kalimantan Tengah. Sejumlah organisasi massa dan warga suku Dayak menentang rencana pendirian FPI di Provinsi Kalimantan Tengah. Mereka menilai FPI adalah organisasi massa yang identik dengan kekerasan, sehingga tidak sesuai dengan budaya suku Dayak, yaitu Huma Betang, yang mempunyai makna kebersamaan dalam keragaman. Ketua Gerakan Pemuda Dayak Kalteng, Yansen Binti, mengatakan filosofi Huma Betang menjunjung tinggi perdamaian serta toleransi antar-umat beragama. "Sementara FPI kerap menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya," kata Yansen, Sabtu, 11 Februari 2012.
Penolakan Pesilat Muslim di Kediri. Ketua Gerakan Aksi Silat Muslim Indonesia (GASMI), Zainal Abidin, menolak keras keberadaan FPI di Kediri, Jawa Timur. Organisasi pesilat ini bahkan telah menggagalkan rencana pembentukan FPI di Kediri. Gus Bidin -panggilan Zainal Abidin- meminta anggota FPI mengurungkan niat melanjutkan organisasi itu, jika tidak ingin berhadapan dengan para pesilat Muslim. Sebab, dia menilai FPI telah menjadi momok bagi perjuangan Islam. Alih-alih melakukan dakwah, perilaku mereka justru mengumbar kekerasan. "Apalagi kemana-mana membawa atribut dan simbol Islam," kata Gus Bidin, Selasa, 14 Februari 2012.
Ditentang Mahasiswa Kupang. Saat memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2013, puluhan mahasiswa di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), melakukan aksi menolak keberadaan FPI dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurut mereka kehadiran dua ormas Islam itu bertentangan dengan asas Bhineka Tunggal Ika. Koordinator aksi, Ilo mengatakan aksi ini merupakan bentuk keprihatinan pemuda terhadap kehidupan bangsa yang semakin diintervensi oleh ormas garis keras yang telah keluar dari nilai-nilai ke-bhineka-an. "Kami minta pemerintah segera bubarkan FPI dan HTI," katanya.
Dihadang Warga Wonosobo. Sejumlah warga Wonosobo, Jawa Tengah, sempat mengadang Ketua FPI Jawa Tengah, Syihabudin, seusai berceramah pada pengajian di Desa Bowongso, Kalikajar. Mereka tersinggung dengan isi ceramah Syihabudin yang tak suka dengan aktivitas Banser - organisasi sayap Nahdlatul Ulama- yang menjaga gereja kala ada kegiatan keagaman.
Terancam Sweepingdi Tulungagung. Aliansi Masyarakat Tulungagung Cinta Damai menolak rencana FPI mendeklarasikan diri di Tulungagung, Jawa Timur. "Kami tidak ingin Tulungagung dikotori oleh orang-orang yang menghalalkan kekerasan," kata Maliki Nusantara, juru bicara aliansi, Senin, 27 Oktober 2014. Maliki menyatakan akan melakukan sweeping terhadap anggota FPI, jika berani berbuat onar. Bahkan mereka juga siap melakukan perang fisik, jika dibutuhkan. Sebab, sepak terjang FPI selama ini dinilai buruk dan merusak citra umat Islam.
Dituntut Bubar oleh Warga Pontianak. Ribuan orang berkumpul di Rumah Betang, Jalan Sutoyo, Pontianak, pada Kamis, 15 Maret 2012. Mereka menuntut agar FPI Kalimantan Barat dibubarkan. Mereka datang dari daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Pontianak, antara lain Sei Ambawang dan Mandor. Konflik ini terpicu isu bentrokan, buntut dari ribut-ribut penurunan spanduk penolakan FPI di Kalimantan Barat.
Belajar dan menyimak dari fakta-fakta diatas, termasuk perkembangan bigotry yang semakin akut terjadi akhir-akhir ini, maka tidak salah jika masyarakat menuntut pemerintah bersifat tegas terhadap organisasi radikal, tidak hanya yang bernuansa Islam namun juga bernuansa agama lainnya, karena sejatinya organisasi radikal dan intoleran merusak ajaran agama apapun yang suci sifatnya.
Andika Rosidi (Pemerhati masalah Polkam di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD) Jakarta)
Komentar