Saatnya Mengambil Alih Freeport
Minggu, 09 April 2017
00:00 WITA
Nasional
4245 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Operasi PT. Freeport Indonesia di Papua telah menimbulkan polemik luas dan memicu pro kontra di masyarakat. Penerapan kebijakan pemerintah yang melarang ekspor konsentrat sejak 12 Januari 2017 telah menjadi pukulan telak bagi Freeport yang hingga kini belum merealisasikan kewajibannya. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, pasal 170telah mewajibkan perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya untuk melakukan pemurnian dan pengolahan dalam waktu 5 tahun sejak UU disahkan atau efektif Smelter selesai dibangun pada tahun 2014. UU ini melarang ekspor bahan mentah yang digali dari bumi Indonesia.Hilirisasi diharapkan memberi nilai tambah bagi masyarakat dengan menyerap tenaga kerja, menjadi insentif bagi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan negara.Sayangnya, PT. Freeport Indonesia yang merupakan PMA justru tidak taat pada UU dan selalu mencari celah untuk menghindar dari kewajiban.
Sebenarnya itikad baik pemerintah untuk memahami kepentingan dari semua bentuk investasi asing di Indonesia telah sangat besar.Bahkan, karena itu akhirnya memunculkan kesan seolah pemerintah terlalu longgar dan berpotensi melanggar aturan. Kritik kemudian disasarkan pada kebijakan pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa perusahaan tambang diperbolehkan melakukan ekspor mineral mentah hingga 11 Januari 2017. Revisi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian, dianggap jalan pintas untuk mengakomodasi kepentingan perusahaan tambang besar yang sebagian besar dikuasai asing, untuk dapat meneruskan produksi dan ekspor konsentrat mentah meski belum membangun Smelter.
Menurut Maryati, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, revisi kebijakan pada 11 Januari 2017 berpotensi bertentangan dengan UU Minerba, terutama pasal 102 dan 103 yang mewajibkan perusahaan minerba untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri, serta pasal 170 yang mewajibkan seluruh pemegang KK yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba diundangkan pada 2009. Selain itu, berbagai pihak juga menilai bahwa kebijakan relaksasi sejak 2014 justru tidak menimbulkan efek jera dan menjadi celah yang dimanfaatkan oleh perusahaan tambang besar, seperti Freeport. Menurut perkiraan, darisekitar 6.541 Ijin Usaha PertambanganMineralyang dikeluarkan pemerintah, dimana 4.019 diantaranya merupakan IUP Operasi Produksi, hanya 26 smelter yang siap beroperasi.
Pilih IUPK atau Putus KK?
Polemik mengenai status operasi PT. Freeport McMoran di Indonesia harus segera dicarikan jalan keluar yang terbaik, terutama bagi kepentingan bangsa dan negara Indonesia.Selama puluhan tahun, Freeport telah mengeruk emas, perak,tembaga, dan mineral berharga lainnya dari bumi Indonesia.Freeport juga telah mendapat keuntungan berlimpah tanpa memberikan konstribusi yang signifikan.Kewenangan Freeport untuk mengeskpor konsentrat mentah membuat Indonesia tidak memiliki akses informasi yang akurat mengenai nilai komersial sesungguhnya dari produksi, terutama emas, perak dan tembaga.
Merujuk pada KK, sejak tahun 1967, Indonesia hanya mendapatkan royaltitembaga sebesar3,5%, emas sebesar 1%dan perak 1 %. Selain itu, hingga kini pemerintah Indonesia hanya memiliki saham 9,36%, sisanya dimiliki oleh PT. Indocopper Investama 9,36%, dan saham mayoritas dikuasai olehFreeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) sebesar 81,28%. Padahal Freeport memiliki kewajiban divestasi saham hingga 30%, karena itu Freeport telah mengingkari kewajiban divestasi saham sebesar 20,64 persen sebagai konsekuensi pasal 10 Kontrak Karya II tahun 1991 yang merevisi Kontrak Karya I tahun 1967. Bahkan, dari sisi penerimaan negara sebagaimana dinyatakan Ignatius Jonan, Menteri ESDM, royalti dan pajak yang dibayarkan PT. Freeport selama 25 tahun terakhir hanya sebesar Rp. 214 Triliun (per tahun Rp 8 triliun). Nilai ini jauh dari yang didapatkan negara dari pembayaran cukai rokok satu tahun pada 2015 sebesar Rp. 149,5 triliun.Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa pendapatan negara dari operasi Freeport tidak cukup signifikan dibandingkan dengan keuntungan Freeport.
Langkah pemerintah untuk mengatasi sengkarut usaha pertambangan, khususnya Freeport memang tidak lepas dari kontroversi.Namun demikian, langkah tersebut patut diapresiasi sebagai terobosan maju untuk meningkatkan kendali negara atas sumber daya pertambangan dan mineral, serta mendongkrak pendapatan negara. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017), tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Substansi dari perubahan kebijakan itu memang dikritik oleh sejumlah pihak, namun hal penting yang hendak dicapai oleh perubahan kebijakan itu harus dipahami pula sebagai jalan keluar dari kepentingan negara di satu sisi, dan kepentingan investasi di sisi lain. Dalam PP 1/2017, para pemegang Kontrak Karya seperti PT Freeport Indonesia, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), dan sebagainya, didorong mengubah status kontraknya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi, hal itu sebagai syarat untuk memperoleh ijin mengekspor konsentrat (mineral olahan yang belum sampai tahap pemurnian).
Perubahan KK menjadi IUPK dinilai lebih menguntungkan karena sejumlah aspek, pertama, posisi negara lebih tinggi dibandingkan investor sehingga kendali negara sebagai pemberi ijin lebih efektif dibandingkan KK yang menempatkan negara dan investor sejajar. Kedua, secara fiskal, jika dalamKK perusahaan tambang dikenakan royalti, iuran tetap, PPh Badan, PBB dan pajak daerah yang sifatnya tetap sepanjang waktu kontrak atau naildown, maka dalam IUPKbesarnya pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bersifat prevailing. Perusahaan juga membayar retribusi daerah dan pungutan lain sesuai kebijakan pemerintah.Khusus mengenai pembayaran royalti, pemerintah menetapkan royalti tembaga naik dari 3,5 persen menjadi 4 persen. Royalti emas dari 1 persen menjadi 3,75 persen dan perak dari 1 persen menjadi 3,25 persen.Ketiga, pemerintah juga mensyaratkan agar Freeport meningkatkan penggunaan barang dan jasa dalam negeri (local content).Keempat, kewajiban divestasi meningkat hingga 51% sebagai jalan bagi pemerintah untuk meningkatkan kendalinya.Kelima, Freeport tetap dibebankan kewajiban untukmembangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter)dalam jangka waktu 5 tahun dimana progres pembangunan smelter akan direview setiap 6 bulan oleh verifikator independen, dan jika progres tidak mencapai minimal 90 persen dari rencana yang disetujui, rekomendasi ekspor akan dicabut.
Sejumlah klausul yang diajukan oleh pemerintah ini tentu merupakan opsi yang telah diperhitungkan sebelum Freeport mengajukan perpanjangan pada tahun 2019, dua tahun sebelum masa KK habis pada tahun 2021.Perlawanan Freeport yang mengancam untuk membawa masalah perubahan kebijakan ini ke Arbitrase Nasional dan rencana PHK karyawan tentu saja hak bagi PT. Freeport Indonesia yang dibawah kendali Freeport McMoran Amerika Serikat.Namun, hal itu justru menunjukan bahwa Freeport tidak kooperatif dan melecehkan integritas pemerintah Indonesia.Sejak awal Freeport telah menunda-nunda kewajiban realisasi membangun Smelter, kini Freeport mengancam pemerintahan suatu negara yang berdaulat setelah puluhan tahun memperoleh miliaran dollar keuntungan dari bumi Indonesia.Karena itu, pemerintah perlu untuk mempertimbangkan opsi selain perubahan KK menjadi IUPK, yakni pemutusan kontrak dan mengambil alih operasi Freeport.
Percaya Kemampuan Sendiri
Intimidasi sebagaimana disampaikan oleh CEO Freeport McMoran, Richard C Adkersosn tidak bisa dianggap sebagai strategi bisnis semata.Langkah tersebut dapat dimaknai sebagai ancaman serius terhadap otoritas negara yang berdaulat penuh untuk membuat kebijakan bagi negaranya.Freeport telah mendapat berbagai diskresi dan kesempatan yang diberikan oleh pemerintah untuk menjamin operasinya di Indonesia selama puluhan tahun.Bahkan, ketika Freeport tidak menepati kewajibannya pun, pemerintah Indonesia masih memberikan berbagai kebijakan relaksasi guna mencegah berhentinya produksi Freeport di Papua.Karena itu, pemerintah tidak perlu takut untuk mengambil opsi yang lebih tegas dengan menghentikan kerjasama dengan PT. Freeport Indonesia.
Penghentian kerjasama akan mendapat dukungan penuh dari seluruh rakyat Indonesia. Hal ini tidak semata-mata eforia gelombang nasionalisme, tetapi secara rasional karena Indonesia memiliki sumber daya manusia dan industri nasional yang mampu mengelola operasi Freeport di Papua.Hal ini penting untuk memastikan peranan negara secara penuh dan efektif dalam mengelola sumber daya alam strategis, termasuk berbagai mineral penting selain emas, perak dan tembaga yang dikandung dalam tambang Freeport. Menurut berbagai laporan, diduga kuat bahwa ada potensi mineral yang penting seperti uranium, bagi pengembangan energi masa depan Indonesia. Karena itu, pengambilalihan Freeport juga merupakan langkah pengamanan energi masa depan (energi security) bagi Indonesia.
Indonesia juga tidak perlu takut jika benar Freeport membawa masalah ini ke Arbitrase Internasional.Langkah yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia telah sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia sebagai negara berdaulat penuh. Selain itu, dunia internasional juga akan terbuka matanya bahwa selama Freeport beroperasi telah menimbulkan berbagai masalah, secara bisnis Freeport memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang tidak fair, berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan diduga kuat berada dibalik sejumlah peristiwa yang memicu munculnya kekerasan di Papua.
Saat ini adalah momentum yang tepat bagi pemerintah Indonesia untuk menunjukan kapasitasnya dalam mewujudkan kepentingan nasional sesuai dengan program Nawacita. Negara hadir dalam pengelolaan sumber daya alam yang penting dan strategis bagi kepentingan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apapun opsi yang akan diambil oleh negara, perlu ditekankan pula kepentingan para pekerja Indonesia yang harus diperhatikan hak dan kesejahteraanya oleh pemerintah. jika Freeport diambil alih, maka pekerja Freeport asal Indonesia harus diprioritaskan untuk menduduki posisinya seperti semula. Begitupula dengan akses masyarakat di sekitar Freeport untuk mendapatkan manfaat baik langsung maupun tidak langsung dari operasi tambang di wilayah mereka.Peningkatan pembangunan dan kesejahteraan harus menjadi perhatian utama sehingga keberadaan tambang Freeport dapat menjadi berkah, bukan musibah bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Oleh :Wildean N (Peneliti di Cersia, di Jakarta)
Komentar