Mengartikan Pemisahkan Agama dan Politik
Minggu, 02 April 2017
00:00 WITA
Nasional
3980 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Pernyataan Presiden Joko Widodo menanggapi dinamika politik Pilkada serentak sebagai kontestasi demokrasi lima tahunan terkait penekanan pemisahan agama dan politik yang disampaikan pada acara peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kec. Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Uara (Jumat, 24/3), menuai kontroversi dikalangan masyarakat.
Terdapat beberapa tokoh Ormas dan agama masyarakat merespon pernyataan tersebut dengan bijaksanaan dan penerimaan, namun tak sedikit juga beberapa tokoh agama merepon hal tersebut dengan nada tinggi lantaran adanya perbedaan persepsi dan pengertian terkait pernyataan Mantan Walikota Solo tersebut yang diartikan sebagai pemikiran sekuler.
Konsep Pemikiran Cak Nur
Menelaah dari sisi sejarah, pada dasarnya konsep pemikran Presiden Jokowi dalam memaknai perlu adanya pemisahan antara agama dan politik dalam menanggapi dinamika perpolitikan pemilukada serentak putaran kedua tepatnya, pernah disampaikan terlebih dahulu oleh salah satu tokoh agama Indonesia yakni Nurcholis Madjid atau yang akrab dengan sapaan Cak Nur.
Pendiri Universitas Paramadhina ini sempat menggagas konsep “Islam Yes Partai Politik No” pada sekitaran tahun 1960-an dimana gagasan tersebut diartikan dengan maksud untuk membawa corak kehidupan beragama menjadi lebih toleransi dan berpengertian.
Meskipun ide tersebut juga sempat direspon negatif oleh beberapa kalangan politisi dan agama yang diartikan sebagai konsep atau pemikiran sekuler, namun ide tersebut justru terbukti menjadi salah satu panutan Presiden Kedua Indonesia Soeharto dalam mengambil kebijakan untuk melakukan fusi terhadap beberapa partai di negeri ini, guna mengontrol jumlah partai dan mengkondusifkan situasi politik yang kala itu kurang menentu.
Agama dan Politik Menurut Rais Syuriah PBNU
Dalam acara diskusi “Mencari Pemimpin Berintegritas Kegembiraan vs Kepalsuan di Jakarta”, KH Masdar Mas’udi, salah satu Rais PBNU mengatakan bahwa kehidupan bernegara harus bebas dari kepentingan agama tertentu, hal ini dikarenakan kehidupan bernegara merupakan milik bersama.
Begitupun dalam hal kepemimpinan di Indonesia yang piilih melalui proses demokrasi dan politik, Masdar berpendapat bahwa tidak boleh ada sebuah kepemimpinan negara yang berafiliasi kepada agama tertentu, hal ini dikarena pimpinan dalam kehidupan bernegara adalah tokoh yang wajib memberikan keadilan yang sama rata bagi semua rakyat.
Selain itu, Masdar menilai bahwa terdapat beberapa kelompok dan golongan masyarakat saat ini mengartikan salah bahwa Islam harus merebut kekuasaan dan menjalankan kekuasaan dengan syariat Islam secara penuh. Oleh karenanya, perlu adanya pemahaman bijak terkait pengertian dan hubungan antara agama dan politik tersebut ditengah ekskalasi politik dalam negeri yang penuh kepentingan dan rawan untuk disulut.
Namun demikian, di era dan zaman keterbukaan yang mengedepankan asas demokrasi dalam aplikasinya, semua kelompok masyarakat baik ormas maupun tokoh agama bebas untuk mengomentari pernyataan Presiden Joko Widodo tersebut baik dengan nada rendah maupun tinggi.
Akan tetapi poin terpenting yang perlu diperhatikan oleh publik adalah agar tidak memperalat politik untuk menjauhkan agama ataupun sebaliknya, serta menjadikan agama sebagai isu politik yang berpotensi menimbulkan benturan horisontal maupun vertikal terkait keberagaman dan heterogenitas bangsa dan negara Indonesia.
Karena pada intinya, penyampaian Presiden Jokowi terkait adanya pemisahan agama dan politik cenderung bertendensi terhadap dinamika politik saat ini, yang acap kali menggunakan agama sebagai senjata kampanye dan rawan menimbulkan perpecahan.
Oleh : Ardian Wiwaha (Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia)
Komentar