PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Menyoal Perselisihan Antara Sby-Antasari Azhar

Selasa, 21 Maret 2017

00:00 WITA

Nasional

3637 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

google

Opini, suaradewata.com - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar menuding mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi sosok dibelakang tuduhan pembunuhan yang menyebabkan Antasari Azhari dibui selama 18 tahun. Antasari mengklaim bahwa Yudhoyono telah menginstruksikan pengusaha besar, Hary Tanoesoedibjo untuk menjenguknya beberapa minggu sebelum dia ditangkap, dimana Hary Tanoesoedibjo meminta Antasari untuk tidak menahan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Aulia Pohan, yang telah melakukan korupsi.

Antasari mengatakan, Hari Tanoesudibyo pernah mengunjunginya beberapa minggu sebelum dirinya ditangkap. Antasari melapor ke kantor Polisi bersama pengacaranya bahwa tuduhan yang pernah ditujukan kepadanya melanggar Pasal 218 KUHP.

Antasari mengatakan hal ini setelah Presiden Joko "Jokowi" Widodo memberikan grasi kepadanya. Antasari kemudian dibebaskan setelah menjalani hukuman selama 8 tahun.

Untuk diingat, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman kepada Antasari selama 18 tahun sejak tahun 2010 sebagai aktor intelektual pembunuhan Direktur Perusahaan Pharmasi milik BUMN, PT Putra Rajawali Banjaran yaitu Nasrudin Zulkarnaen. Nasrudin saat mengendarai mobilnya di Tangerang pada 14 Maret 2009.

Sementara itu, mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempercayai bahwa pemerintah ada di belakang keberanian mantan Ketua KPK, Antasari Azhar menjatuhkan citra keluarganya.

Yudhoyono mengatakan, Antasari menuduh Yudhoyono berada dibelakang kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen setelah mantan Ketua KPK tersebut bebas dari penjara.

"Saya percaya adalah tidak mungkin Antasari melakukannya tanpa adanya dukungan dari pemegang kekuasaan," kata Yudhoyono, seraya mengklaim bahwa pemberian grasi kepada Antasari oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo bulan lalu didorong oleh faktor-faktor politis.

Yudhoyono menambahkan bahwa sejak dua bulan yang lalu dia mendengarkan informasi bahwa Antasari akan menyerang dia dan keluarganya. Serangan tersebut sebenarnya terkait dengan Pilkada Gubernur DKI Jakarta, dimana klaim Antasari tersebut dilakukan sehari sebelum Pilkada Serentak 2017 dilaksanakan.

 

Tidak ada intervensi pemerintah

 

Merespons perselisihan antara SBY dengan Antasari, Jubir Kepresidenan, Johan Budi yang juga mantan petinggi KPK mengatakan, Presiden Jokowi dan kabinetnya tidak melakukan intervensi apapun terkait perselisihan SBY-Antasari Azhari, sehingga apapun yang diucapkan Antasari maka menjadi tanggung jawabnya sendiri.

Penulis berpendapat, tudingan mantan Presiden SBY kepada pemerintahan saat ini tidak berdasarkan fakta-fakta yang kuat, tapi hanyalah pendapat SBY, terlihat dari pernyataan SBY bahwa “Saya percaya tidak mungkin Antasari melakukan semua ini tanpa adanya dukungan dari pemegang kekuasaan” seperti dikutip kompas.com. Yudhoyono mengklaim bahwa pemberian grasi kepada Antasari oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo bulan lalu bersifat politis.

Sebagai mantan Presiden dan mantan Jenderal, SBY harus mempunyai sumber-sumber yang lengkap sebelum dirinya membuat pernyataan yang menolak pendapat terang terangan yang telah dikemukakan Antasari. Namun, dapat diprediksikan bahwa pernyataan SBY bahwa pemberian grasi terhadap Antasari bermotif politis akan sangat sulit dicarikan faktanya, karena arti politis adalah dipenuhi motif politik dibelakang pemberian grasi Antasari.

Bagaimanapun, pasca perselisihan SBY-Antasari Azhar, dapat diestimasikan bahwa hubungan antara SBY dengan Presiden Jokowi dapat semakin memburuk dibandingkan sebelumnya, dan hal ini akan membuat Sikon nasional khususnya di Provinsi Jakarta akan memanas dan membahayakan dan selanjutnya perkembangannya bukanlah merupakan contoh pendidikan politik yang baik bagi generasi muda kita. Dari “konflik” ini, masyarakat dapat mempelajari bahwa komunikasi politik antara mantan pejabat dengan pejabat yang menggantikannya pada umumnya di Indonesia kurang berjalan dengan baik.   

Ada baiknya untuk memperbaiki silaturahmi diantara keduanya yang selama ini terganggu “rumors dan hoax”, maka Presiden Jokowi disarankan untuk bertemu dengan mantan Presiden SBY, sebagaimana Jokowi bertemu mantan-mantan Presiden dan mantan Wapres sebelumnya. Masyarakat akan sulit memahami jika dengan PB HMI, PP Pemuda Muhammadiyah dan konon dengan elemen kelompok mahasiswa Cipayung saja, Jokowi mau menerima dan berdialog dengan mereka, maka tidak ada salahnya Jokowi bertemu SBY membahas current affairs saat ini.

Diakui atau tidak, hasil Pilkada 2017 akan menjadi gambaran bagaimana landscape politik nasional menghadapi Pileg dan Pilpres tahun 2019. Berbasiskan alasan inilah, banyak pelaku politik dan Parpol di Indonesia menilai hasil Pilkada 2017 sangat dibutuhkan sebagai persiapan mereka menghadapi Pileg dan Pilpres 2019, sehingga apapun dinamika politik yang berlangsung adalah menjadi sesuatu yang krusial bagi mereka untuk terus diamati serius dari jam ke jam.

 

Oleh : Willyandu(Pemerhati sosial budaya Tinggal di Batam, Kepri)


Komentar

Berita Terbaru

\