Diduga Salahgunakan Kewenangan, Sejumlah Pejabat Pemkab Buleleng “Dilaporkanâ€
Senin, 20 Maret 2017
00:00 WITA
Buleleng
7385 Pengunjung
suaradewata.com
Buleleng, suaradewata.com – Se
“Kami melihat adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan sehingga merugikan masyarakat dan kas daerah. Ada peraturan yang dilanggar oleh oknum pejabat di (Pemerintah Kabupaten) Buleleng sehingga keluar izin itu (Izin HGB dari Pemkab Buleleng). Pantasnya tidak keluar karena melanggar aturan, jadi keluar. Dipaksakan itu (Proses keluarnya izin HGB ke PT. Prapat Agung),” papar Gede Suardana dari LSM Forum Peduli Masyarakat Kecil (FPMK) yang mendampingi warga ke Kejaksaan Negeri SIngaraja.
Menurut Suardana, sejumlah masyarakat di Desa Pejarakan yang mendatangi Kejari Buleleng juga menunjukan bukti kepemilikan tanah mereka. Ada yang berupa Patok D yang dikeluarkan tahun 1959 bahkan penetapan kepemilikan tanah berupa Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1982 yang disahkan Direktorat Jendral Agraria.
Ironisnya, kegiatan diatas lahan yang di klaim oleh PT Prapat Agung bukan merupakan permasalahan baru. Suardana mengungkapkan, sudah dilakukan pengawasan sejak era Bupati Buleleng Ketut Wirata Sindu. Yang saat itu pemberian izin kepada PT Prapat Agung dalam bentuk HPL. Bahkan, lanjutnya, akibat tidak ada kegiatan signifikan, maka lahan tersebut sempat ditetapkan sebagai lahan terlantar.
Beberapa sumber dari warga pemilik lahan pun bahkan mengaku masih sempat melakukan pengelolaan terhadap lahan tersebut. Hingga akhirnya Bupati Buleleng era Putu Bagiada pada tahun 2008 merekomendasikan izin pembuatan sertifikat hak milik bagi masyarakat yang berpuluh tahun menggarap lahan terlantar itu.
“Prosesnya sudah sampai di BPN (Badan Pertanahan Nasional) Singaraja dan sampai sekarang tidak jelas. Bahkan ada PT Coral Park yang sempat masuk dan digugat lalu dimenangkan oleh warga. Putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap pun sempat dilampirkan untuk mengurus bukti kepemilikan tanah, tapi tidak belum juga diterbitkan oleh BPN,” papar Suardana.
Suardana pun mengungkapkan, ada bentuk pelepasan hak oleh masyarakat dalam bentuk jual-beli kepada PT Prapat Agung. Tapi di sejumlah lokasi pinggiran yang dekat dengan kawasan pantai tidak ada bentuk pelepasan hak sampai kasus ini dilaporkan ke Kejari Buleleng.
Disinggung terkait siapa oknum pejabat yang dilaporkan dalam dugaan penyalahgunaan wewenang, Suardana enggan menyebutkan sederetan nama. Namun dari penuturan Suardana, sederetan pejabat yang turut merekomendasikan hingga turunnya pepanjangan izin kepada PT Prapat Agung tidak menutup kemungkinan wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Pelanggaran terhadap aturan Mendagri itu sudah sangat jelas. Dan kami sudah konfirmasi ke Wakil Rakyat Buleleng (DPRD Kabupaten Buleleng) bahwa MoU (Memorandum of Understending) antara Pemkab Buleleng dengan PT Prapat Agung tidak jelas. Bahkan ditanya berapa PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang masuk juga tidak jelas. Bahkan dalam aturan pengelolaan asset juga tegas disebutkan bahwa izin HPL atau HGB yang diberikan harus atas nama Pemda. Tapi nyatanya itu bukan atas nama Pemda,” ungkap Suardana.
Laporan tersebut awalnya sempat nyaris tidak dilayani terkait Kajari Buleleng H Fahrur Rozy yang sedang tidak berada di tempat. Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Buleleng yakni Gede Eka Haryana awalnya sempat menolak terkait keberadaan Kasi Intel Baharudin yang juga tidak berada di tempat.
Namun setelah terlihat melakukan hubungan telepon dengan seseorang petinggi Kejari Buleleng, Eka Haryana pun akhirnya menerima laporan warga di ruang kerjanya. Dikonfirmasi usai menerima warga, Eka Haryana tidak banyak berkomentar terkait laporan tersebut.
Ia pun hanya membenarkan laporan yang disampaikan warga di Desa Pejarakan. Menurutnya, yang dilaporkan masyarakat adalah terkait dengan dugaan penyalahgunaan kewenangan terhadap proses pemberiaan izin PT Prapat Agung.
“Proses penerbitannya yang katanya tidak sesuai dengan procedural. Nanti kami laporkan dulu ke pimpinan (Kajari Buleleng),” pungkas Eka Haryana.
Pemilik Lahan Tetap Bayar Pajak?
(Laporan warga akhirnya diterima oleh Kasi Pidum Kejari Buleleng)
Walaupun sudah tidak diberikan mengelola sejumlah lahan yang di klaim dan di pagari PT Prapat Agung, beberapa warga yang memiliki bukti kepemilikan tanah sebelum Undang-undang nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yakni surat Patok D tahun 1959 mengaku masih tetap melakukan pembayaran pajak hingga tahun 2012.
Bahkan, pembayaran pajak tersebut pun terhenti bukan atas kehendak warga melainkan karena surat tagihan pajak tidak pernah disampaikan ke para pemilik oleh oknum Kepala Desa Pejarakan. Hal tersebut terungkap dari pengakuan Arif yang mertuanya merupakan salah satu pemilik lahan dengan bukti kepemilikan surat Patok D tahun 1959.
“Jadi, surat tagihan pajak (SPPT) di klaim dan tidak diberikan kepada kami. Kemudian kami datangi kantor pajak (Dispenda) dan ternyata ada masih nama orang tua serta langsung kami bayar. Semua bukti pembayaran pajaknya ada. Padahal saat itu lokasi sudah dipatok bahkan ada yang dipagari PT Prapat Agung,” kata Arif yang tampak emosi menjelaskan sejumlah kejanggalan proses keberadaan izin PT Prapat Agung di lokasi seluas 45 hektare tersebut.
Selain diatas tanah muncul bangunan hotel Bali Dinasti, posisi pagar pun juga sempat dimajukan dari posisi awal oleh PT Prapat Agung. Sehingga, ada barisan pagar lain yang terpaksa dirusak oleh warga karena areal tersebut masih milik masyarakat. adi/ari
Komentar