Menggairahkan Perfilman Nasional
Senin, 20 Maret 2017
00:00 WITA
Nasional
3543 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Banyak orang tidak tahu bahwa tanggal 30 Maret merupakan salah satu hari peringatan bersejarah bagi para awak media dan pencinta perfilman nasional. Telah berjalan lebih dari satu abad, kiprah perfilman Indonesia berkembang tumbuh dan juga pasang surut seperti saat ini. Meskipun banyak versi dan cerita terkait alasan mengapa tanggal 30 Maret dijadikan hari perfilman nasional, namun yang terpenting adalah bagaimana perjuangan para seniman film Indonesia, membawa kondisi perfilman nasional untuk berkompetisi dan tetap eksis melawan gempuran perfilman luar negeri.
Sejarah Awal Film Indonesia
Ada banyak alasan mengapa tanggal 30 Maret dijadikan hari peringatan film nasional. Konon pengambilan gambar film Darah & Doa atau Long March Siliwangi yang disutradarai oleh Usmar Ismail pada 30 Maret 1950 merupakan pencetus awal hari perfilman nasional. Sebenarnya perfilman Indonesia bukanlah baru dimulai tahun 1950, berdasarkan fakta sejarah, konon perfilman dalam negeri telah tumbuh dan berkembang sejak zaman penjajahan Belanda.
Diera awal perfilman Indonesia, fakta sejarah yang mendukung hal tersebut diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Jakarta, dengan nama “Gambar Idoep” yang menanyangkan berbagai jenis film tanpa suara, produksi para seniman kolonial.
Konon, film pertama yang diproduksi didalam negeri baru dimulai disekitar tahun 1926-an. Hal ini ditandai dengan lahirnya sebuah film yang berjudul “Loetoeng Kasaroeng” yang disutradarai oleh G. Kruger dan L. Heuveldorp yang ditayangkan di Bioskop Majestic Bandung. Meskipun kedua sutradaranya berkewarganegaraan Belanda, namun dalam pengoperasian film ini didukung dengan partisipasi beberapa aktor lokal Perusahaan Film Jawa NV di Bandung.
Tak ketinggalan setelah Belanda, diera 1942 -1949 jajahan Jepang juga memproduksi film yang bertemakan tentang propaganda politik Jepang. Dimana hampir semua penayangan film, berisikan tentang pencitraan hingga kekuatan Jepang dalam menguasai Indonesia.
Pasang Surut Perfilman Nasional
Cukup memakan waktu yang panjang kondisi film Indonesai mulai dapat menjadi sebuah industri. Di era 1970-an, seiring dengan perkembangan situasi politik dan teknologi yang mulai membaik, berbagai karya film hasil seni sutradara dalam negeri lahir mulai marak bermunculan.
Seperti salah satu sutradara Sjuman Djaya, menjadi salah satu sutradara terkenal di kala itu, Sjuman melahirkan berbagai film yang berisikan tentang kritik sosial terhadap kondisi modernisasi di Kota Jakarta. Hasil karya film yang ia cetuskan, cenderung bermaknakan tentang kondisi sosial budaya dan kehidupan riil penduduk Jakarta kala itu.
Siapa yang tidak tahu dengan film “Si Doel Anak Betawi” atau “Laila Majenun”, yang keduanya hampir sama-sama berisikan tentang realita kehidupan masyarakat di Jakarta.
Tak hanya itu, diera tahun 70-an, gendang percintaan juga mempengaruhi hasil karya para sutradara, seperti film yang berjudul “Gita Cinta dari SMA” tahun 1979 yang dibintangi oleh Rano Karno dan Yessy Gusman. Bahkan salah satu film yang berjudul “Naga Bonar” sempat menjadi salah satu film terbooming, lantaran hasil capaian yang dibuat berhasil memenangkan 6 kategori penghargaan Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1987.
Memasuki era tahun 1990-an, film Indonesia memasuki zona keterpurukan. Hal ini ditandai dengan minimnya produksi film dan tema seks yang digunakan sebagai tema dominan perfilman nasional, cenderung menimbulkan keresahan.
Hanya berselang satu dasawarsa, kemunculan film musikal garapan Mira Lesmana dan Riri Reza yang “Petualangan Sherina” tahun 2000, menandai kebangkitan kembali perfilman dalam negeri. Selain itu film-film box office seperti halnya “Ada Apa dengan Cinta?” juga menjadi pertanda kelahiran lembar baru bagi kondisi perfilman Indonesia.
Kondisi Perfilman Indonesia Saat ini
Hingga kini, kondisi perfilman Indonesia tidak dapat dinafikan bahwa berkembang pesat dan tumbuh produktif. Hal ini ditandai dengan lahirnya berbagai hasil karya sutradara dalam negeri, dimana berbagai tema film mulai dari kisah romance hingga politik aksi, terus mewarnai pertumbuhan perfilman nasional.
Namun demikian, disatu sisi perkembangan perfilman Indonesia acapkali menuai kritik dan cenderung menumbuhkan pro dan kontra. Misalnya saja beberapa tayangan film atau siaran televisi yang acapkali kurang edukatif dan terkesan memberikan propaganda pembodohan. Misalnya saja dominasi film dengan tema cinta ataupun tema kekerasan yang terkadang menimbulkan propaganda negatif bagi para audience yang tidak memiliki prinsip dan pengetahuan berlebih terkait hal tersebut.
Oleh karenanya, ditengah-tengah perkembangan perfilman dalam negeri yang mulai masif terjadi, sudah sehendaknya peranan orang tua selaku orang dewasa wajib berada diantara film dan anak-anak mereka. Bukan untuk membatasi apalagi melarang, namun dalam porsi ini peranan orang tua dapat dijadikan alat pemfilter segala jenis info negatif yang kapan saja dapat diperoleh sang anak. Selain itu, para stakeholder dan instansi terkait yang dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki peranan yang besar sehingga diharapkan tak pernah lelah dan terus mempertahakan objektifitasnya dalam meningkatkan pengawasan dan menyeleksi kategori layak tidak layaknya sebuah film untuk ditayangkan.
Oleh:Ardian Wiwaha (Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia)
Komentar