PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Komunisme: Antara Ilusi dan Realita

Senin, 20 Maret 2017

00:00 WITA

Nasional

4138 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

google

Opini, suaradewata.com - Sejarah mencatat, PKI pernah memberontak tahun 1948, menjadi pemenang keempat dengan lebih dari 6 juta suara pada Pemilu 1955, hingga terlibat dalam krisis politik dan tragedi kemanusiaan tahun 1965 yang mengakhiri sepak terjang PKI di Indonesia.Di dunia, Vladimir Ulyich Lenin menggulingkan kekaisaran Rusia danmendirikan Uni Sovyet setelah memenangkan revolusi Bolshevik 1917.  Sementara di China, Mao Tze Tung mendirikan RRC tahun 1949 setelah mengalahkan faksi nasionalis Kuomintang, Chiang Kai Shek dan berkuasa di negara dengan penduduk 1,2 milyar hingga saat ini.  Di Korea Utara, komunisme ditransformasikan dengan ajaran Juche oleh Kim Il Sung, Vietnam setelah bersatunya Vietnam Utara dan Selatan dibawah kepemimpinan Ho Chi Minh, serta Kuba setelah Fidel Castro menggulingkan Fulgencio Batista.

Era runtuhnya Komunisme Eropa dimulai dengan jatuhnya tembok Berlin tahun 1989 dan reunifikasi Jerman Barat yang liberal dan Jerman Timur yang komunis.  Glasnost dan Perestroika meruntuhkan Uni Sovyet pada akhir 1991dan menjadi pukulan telak bagi rezim komunis di Eropa Timur.Secara global komunisme mengalami kebangkrutan, namun bukan berarti telah habis sama sekali, pemerintahan komunis masih eksis di Korea Utara, RCC dan Kuba.  Memang ada yang menilai bahwa komunisme di negara-negara tersebut telah menyimpang dari doktrin komunisme, namun tidak dapat dipungkiri ada karakteristik yang sama yakni pemerintahan totaliter yang didirikan melalui revolusi sosial, sistem partai tunggal, anti demokrasi dan represi terhadap kebebasan.

Sejarah rezim komunis di berbagai dunia tidak lepas dari revolusi dan tragedi kemanusiaan.Semua pemerintahan komunis pasti totaliter sebagai wujud dari diktator proletariat dengan kekuasaan monopolistik dan represif.Penggunaan kekerasan menjadi “halal” karena doktrin revolusi sosial secara substansi menekankan perebutan paksa faktor produksi sebagai sumber kekuatan yang harus diambil alih oleh kelas pekerja/proletar dari tangan pemilik modal.  Kaum komunis juga meyakini bahwa negara tidak lain adalah sarana menindas yang hanya membela kepentingan orang kaya pemilik modal.  Karena itu, kelas sosial harus dihancurkan dengan cara merebut kekuasaan dari pemilik modal menuju masyarakat tanpa kelas.  Seperangkat doktrin komunisme inilah yang membuat ideologi dan praktek politik komunisme menjadi “momok” menakutkan di dunia, termasuk di Indonesia.

 

Laten ke Manifest?

Orde Baru memiliki instrumenefektif untuk mewaspadai bahaya laten komunis melalui propaganda, litsus, screening politik maupun pendidikan.  Orde Selain Tap MPRS XXV tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan larangan penyebaran paham Marxisme Leninisme/Maoisme/Komunisme, Orde Baru juga menerapkan azas tunggal Pancasila.Bahkan, kebijakan kependudukan juga mencantumkan atribut eks Tapol/Napol yang biasanya dilekatkan pada eks simpatisan, anggota, dan underbouw PKI.Berbagai retriksi itu dicabut setelah reformasi, kecuali tentang pembubaran PKI dan larangan ajaran komunisme dalam Tap MPRS XXV/1966.  Aktivis atau keturunan PKI telah dipulihkan hak-hak sipil politiknya dan sejajar dengan warga negara lain.  Banyak diantara mereka telah memasuki berbagai sektor kehidupan politik, semisal Ribka Tjiptaning yang menggemborkan kebanggaannya sebagai anak PKI yang kini menduduki kursi di DPR RI dari PDI-P.

Harus diakui bahwa isu komunisme dan PKI sangat sensitif sehingga rawan untuk dimanipulasi demi kepentingan politik tertentu karena menyangkut luka sejarah.  Pada April 2016 digelar Simposium Tragedi 1965 yang memancing kecurigaan bahwa negara sedang diarahkan untuk meminta maaf dan pengakuan pada PKI, serta menegasikan fakta bahwa PKI terlibat pemberontakan dan aksi-aksi sepihak yang memicu korban kemanusiaan.  Hal ini memicu reaksi dengan digelarnya Simposium untuk mengamankan Pancasila dari ancaman PKI dan ideologi lain pada Juni 2016.  Para pengusung Simposium anti PKI menghendaki rekonsiliasi kemanusiaan yang telah berlangsung secara alamiah ini tidak diganggu.Tragedi kemanusiaan akibat konflik ideologis itu adalah aksi-reaksi yang menimbulkan korban diantara kedua belah pihak yang patut disesalkan.Opini seolah PKI adalah korban sepihak dianggap tidak fair dan menyesatkan fakta sejarah.Karena itu, mereka mendorong agar pemerintahkonsisten memastikan bahwa PKI dan ajarannya dilarang di Indonesia.

Momentum Pilpres 2014 lalu juga diramaikan dengan isu bangkitnya komunis setelah marak propaganda simbol komunisdan kader PKI yang hendak kembali ke panggung politik.Celakanya, banyak aktivis politik yang secara terang-terangan bersikap permisif terhadap propaganda komunis.Mereka menuding kekhawatiran akan komunisme sebagai old fashion, phobia, paranoid dan pro Orba.  Sungguh kontras dengan pandangan kritis yang mereka gunakan untuk merespon isu radikalisme Islam yang justru tidak nampak dalam menyikapi isu bahaya laten komunis. 

Suasana serupa juga berlangsung dalam momentum Pilkada serentak 2017.Media sosial ramai dengan munculnya akun-akun komunis dan simpatisannya.Simbol Palu-Arit khas PKI ditemukan pada kaos, buku, dinding rumah, bendera, selebaran, serta rumor bangkitnya PKI masif mengisi ruang publik.Di Pamekasan, Madura ditemukan aksi grafiti Palu-Arit di fasilitas publik termasuk Mushola.  Di Banten, PDIP yang menjagokan Rano-Embay dalam Pilgub 2017 diterpa isu santer sebagai tempat persembunyian kader PKI.  Alfian Tanjung, aktifis gerakan Islam bahkan menuding Istana sebagai tempat rapat-rapat para simpatisan dan kader komunis.  Di Kampar, Riau, sepasang suami istri ditangkap karena menggunakan kaos dengan gambar masjid yang dihiasi oleh lambang Palu-Arit.  Buku kisi-kisi UN SMA bergambarPalu-Arit ditemukan di Ciamis, hingga munculnya tudingan aktifis FPI, Habib Rizieq tentang logo BI yang diidentikan dengan Palu-Arit simbol PKI.

Keresahan ini diperburuk dengan berbagai rumor tentang implikasi yang dapat ditimbulkan akibat kedekatan hubungan ekonomi antara Indonesia dengan RRC yang menganut komunisme, serta komunikasi yang intens antara partai-partai politik di Indonesia dengan Partai Komunis China (PKC).Seperti diketahui publik, bahwa sejumlah partai besar di Indonesia, seperti PDIP, Golkar, Demokrat, Nasdem, PKS telah menjalin komunikasi intens dengan PKC.Para elit politik seharusnya sensitif terhadap psikologis masyarakat dan memahami munculnya kekhawatiran akan bangkitnya PKI.  Ada fakta sejarah politik Indonesia yang melekatkan PKI dengan RRC, sehingga dapat dimengerti jika ada keresahan sebagian masyarakat akankemesraan Indonesia dengan RRC dapat mengulang sejarah lampau dan dimanfaatkan simpatisan PKI untuk bermetamorfosa dari kekuatan laten menjadi kekuatan manifest dalam politik Indonesia.

 

Meningkatkan Kewaspadaan

Masifnya propaganda simbol komunis ini memang harus dicermati secara kritis.Era kebebasan dan demokrasi membuka peluang bagi semua bentuk ideologi politik untuk eksis ke permukaan, baik ekstrim kiri maupun ekstrim kanan.Karena itu, masyarakat tidak boleh bersikap permisif terhadap ideologi-ideologi ekstrim yang anti Pancasila.Sikap kritis sangat penting terhadap simbol dan propaganda komunis, baik melalui media sosial maupun propaganda terbuka.  Sikap kritis ini termasuk untuk memilah apakah propaganda itu Hoax yang ditebar kelompok yang tidak bertanggungjawab untuk memicu keresahan masyarakat dengan memanfaatkan psikologis histeria massa yang traumatik terhadap aksi PKI di masa lalu atau memang mengindikasikan munculnya kembali kekuatan komunis di Indonesia.

Kewaspadaan serta sinergi antara kelompok masyarakat, pemerintah dan segenap komponen bangsa menjadi sangat penting.Pemerintah memiliki tanggungjawab untuk menciptakan keamanan, ketertiban dan harmoni dalam masyarakat yang telah terbangun dengan baik.Setiap isu dan manuver yang justru kontraproduktif terhadap upaya membangun bangsa dan negara harus diantisipasi sejak dini, baik melalui pendekatan politik persuasif maupun penegakan hukum secara efektif.  Perlu dipahami, bahwa komunisme sebagai ideologi politik akan tetap memiliki ruang untuk berkembang dalam kerangka pemikiran dan sulit untuk dibelenggu.  Namun, komunisme sebagai gerakan politik dapat dicegah dengan menutup ruang gerak dan kondisi objektif yang dapat menjadi momentum bagi propaganda politik kelompok komunis.

Upaya menutup ruang gerak artikulasi politik ideologi komunis tentu harus melalui upaya membangkitkan kesadaran akan bahaya laten komunis.  Komunisme sama halnya dengan radikalismedan terorisme yang antiPancasila dan musuh rakyat.  Bagi mereka yang memberikan simpati dan berdalih atas nama demokrasi maupun HAM bagi kekuatan komunis, harus paham bahwa di Indonesia masih berlaku TAP MPRS XXV/1966, Pancasila telah disepakati sebagai Dasar Negara yang final, karena itu menjadi kewajiban pemerintah, masyarakat dan seluruh elit politik untuk memastikan tidak ada ruang bagi ideologi yang anti Pancasila tumbuh berkembang di Indonesia. 

Kondisi objektif yang seringkali dieksploitasi sebagai alat propaganda komunis seperti isu ketimpangan ekonomi, kemiskinan, ketidakadilan, menjadi pekerjaan rumah pemerintah dengan didukung oleh segenap kekuatan politik di Indonesia untuk dapat ditangani dengan baik.Para politisi dan elite politik memiliki tugas ideologis untuk mendorong agar pemerintah dapat bekerja secara efektif melaksanakan pembangunan di berbagai bidang secara merata dan maksimal demi kesejahteraan masyarakat.  Dengan sinergi yang kuat ini, niscaya bahaya laten komunis dan PKI dapat kita antisipasi dan hadapi bersama, mencegah sesuatu yang dianggap ilusi menjadi realita.

 

Oleh :Herlambang Pratama (Pemerhati sosial politik diJakarta)


Komentar

Berita Terbaru

\