Perlunya Memblokir Situs Media Teroris, Lgbt Dan Radikal
Jumat, 10 Februari 2017
00:00 WITA
Nasional
4048 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Tsunami media sosial dan situs media online yang kurang bijaksana dan kurang dewasa dalam pengelolaannya, sudah semestinya disikapi secara tegas oleh pemerintah khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai bentuk kehadiran negara dalam memproteksi warganya dari informasi yang tidak benar atau hoax, yang meruntuhkan nasionalisme, membahayakan integrasi bangsa dan sebagai “komprador asing” di Indonesia. Oleh karena itu, adalah benar langkah Kominfo memblokir 11 situs media online yang dianggap mengandung konten negatif, apalagi menurut pengakuan Imam Wahyudi, anggota Dewan Pers menyebut situs-situs yang diblokir itu tidak terdaftar sebagai media.
Seperti Kemenkominfo memblokir 11 situs yang dianggap mengandung konten negatif. Kali ini, situs-situs yang diblokir Kominfo dimasukkan ke dalam database Trust+Positif. 11 situs tersebut adalah sebagai berikut voa-islam.com, nahimunkar.com, kiblat.net, bisyarah.com, dakwahtangerang.com, islampos.com, suaranews.com, izzamedia.com, gensyiah.com, muqawamah.com dan abuzubair.net. Sebelas situs yang diblokir ini merupakan hasil pantauan dari sekitar 200 situs maupun media online yang diyakini bermuatan negatif. Sebelum 11 situs ini, Kemenkominfo juga memblokir ribuan situs lain. Salah satunya www.habibrizieq.com, yang merupakan situs milik Imam besar FPI, Habib Rizieq.
“Dari 200-an situs, yang terindikasi 11 tadi. Yang sembilan pertama berkenaan indikasi konten negatif seperti fitnah, provokasi, SARA, penghinaan simbol negara. Sementara yang ke-10 itu karena phising, dan yang ke-11 karena malware," terang Noor Iza, dari Kementerian Kominfo.
Situs-situs tersebut ditutup Pemerintah lantaran dinilai menyebarkan berita bohong (hoax) dan isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Situs tersebut juga dianggap meresahkan masyarakat.
Menurut Imam Wahyudi, Dewan Pers tidak dapat melindungi 11 media itu dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers karena tidak terdaftar. Imam menyebut pihaknya juga tidak dapat mengambil peran sebagai mediator antara 11 media itu dengan Kemenkominfo dengan alasan yang sama. Media atau perusahaan pers yang laik, dapat berteduh di bawah payung hukum. Namun itu pun hanya media yang kontennya memenuhi standar produk pers.
“Garis besar bagaimana cara Dewan Pers mengkaji kelaikan media massa. Dewan Pers akan mengevaluasi konten atau 'daging' dari produk berita media tersebut. Media tidak akan dianggap pers bila kontennya tidak memenuhi elemen-elemen jurnalistik. Dewan Pers juga memiliki kewenangan untuk menanggalkan status suatu media sebagai pers. Yakni jika media tersebut terus menerus melanggar kaidah-kaidah jurnalistik,” katanya.
Menurut penulis, masyarakat Indonesia harus mendukung langkah pemerintah memblokir situs-situs ini, apalagi tolok ukur atau indikator yang digunakan sangat jelas yaitu selama kontennya bertentangan dengan regulasi, UU, hatespeech, masalah pornografi, child abuse, dan menyebarkan nudity (pornografi) akan dibabat habis pemerintah.
Menurut Menteri Kominfo, pemblokiran dari Kemenkominfo dilakukan dengan meminta semua penyelenggara jasa internet (PJI/ISP). Meski semua PJI diminta memblokir, namun ada yang sudah melaksanakannya dan ada yang belum.
Situs Penyebar LGBT Harus Diblokir
Perubahan sosial pada masa mutakhir itu berciri kan tiga : pertama adalah spektakuler, mendadak tanpa kita bersiap-siap, terdadak dengan perkembangan, ini sebuah proses. Kedua, perubahan Mondial yaitu tidak ada di dunia satupun yang selamat, seluruh lapisan merasakan sampai negara yang paling miskin, ketiga perubahan yang radikal, berpengaruh terhadap dasariah di negara kita. Ketiga jenis perubahan sosial ini dapat dimainkan sebagai alat “proxy-war” oleh kalangan “komprador asing” untuk merusak tata nilai sosial, tata nilai budaya dan yang terpenting adalah merusak tata nilai agama yang diakui di Indonesia.
Salah satu bentuk perubahan sosial yang merusak adalah fenomena berkembangnya lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Oleh kalangan pendukungnya, sosialisasi dan “promosi” tentang LGBT dilakukan melalui situs-situs online tertentu, termasuk melalui Medsos.
Oleh karena itu, penulis menyarankan agar situs berita dan Medsos yang “mempromosikan” LGBT juga harus diblokir, walaupun langkah ini mendapatkan resistensi dari lembaga masyarakat antara lain Forum Pengawas Blokir Internet, menyatakan tegas menolak upaya pemblokiran situs komunitas LGBT -- lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Menurut mereka, pemblokiran tanpa adanya indikasi pelanggaran hukum adalah ilegal.
Aksi penolakan 17 organisasi pro LGBT di Indonesia dipicu oleh permintaan Komisi I DPR RI kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk melakukan tindakan blokir terhadap situs-situs internet yang dikelola komunitas atau organisasi LGBT.
Penulis juga mendukung langkah Komisi Perlindungan Anak Indonesia juga diketahui meminta agar Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (Forum Blokir) yang dikelola Kominfo untuk melakukan blokir terhadap beberapa situs organisasi dan/atau komunitas LGBT. MUI sendiri telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan. Dalam fatwa ini, LGBT diharamkan karena disebut merupakan "suatu bentuk kejahatan".
Alasan yang dipakai oleh kelompok yang menolak situs berita LGBT diblokir antara lain : berdasarkan Pasal 28 J UUD 1945 dan juga Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, segala pembatasan hak asasi manusia harus dinyatakan dengan tegas dalam sebuah undang-undang. Tidak ada satupun UU di Indonesia yang mengatur pemblokiran atas akses sebuah situs web di internet. Permen Blokir dan Forum Blokir, selama ini hanya mengesankan bahwa pemblokiran oleh Pemerintah telah melalui saluran yang demokratis.
Komnas HAM sebagai lembaga “setengah pemerintah) ternyata juga melakukan blunder menyikapi LGBT. Dalam rilisnya pada 4 Februari 2016, Komnas HAM tersebut merujuk pada Prinsip-Prinsip Yogyakarta (The Yogyakarta Principles) Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Sosial No. 8 Tahun 2012 tentang Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (Permen 8/2012). Dengan alasan pembelaan atas hak berkumpul dan hak atas rasa aman kaum LGBT, Komnas HAM melayangkan “teguran” kepada para pejabat negara yang dianggap memberikan pernyataan “naif”.
Ternyata pendapat Komnas HAM “dibantah” banyak ahli hukum lainnya. Mereka menilai, Komnas HAM lupa bahwa konteks Permen 8/2012 bukan dalam preferensi pembelaan tapi perlindungan. Tidak seperti Komnas HAM dalam rilisnya, Permen 8/2012 samasekali tidak memuat norma yang membenarkan perilaku LGBT. Poin paling penting ialah bahwa Permen 8/2012 diperuntukkan bagi operasional pendataan dan pengelolaan data penyandang masalah sosial. Bahkan, terhadap poin 14 lampiran Permen 8/2012 yang dikutip, Komnas HAM alpa untuk menunjukkan bahwa di dalamnya terdapat muatan bahwa gay, waria, dan lesbian adalah kelompok dengan gangguan keberfungsian sosial yang memiliki kriteria: a. gangguan keberfungsian sosial, b. diskriminasi, c. Marginalisasi, dan d. berperilaku seks menyimpang.
Sementara itu, prinsip-prinsip Yogyakarta adalah rumusan pandangan (sumber doktrinal) yang samasekali tidak diadopsi dalam hukum nasional. Tidak sepantasnya Komnas HAM sebagai lembaga negara menegakkan pendapat-pendapat yang belum diterima secara positif oleh pejabat pembuat perundang-undangan yang berwenang. Terlebih lagi apabila pendapat tersebut bertentangan dengan substansi konstitusi dan falsafah kebangsaan Indonesia.
Pemblokiran situs LGBT dibenarkan oleh sejumlah undang-undang di Indonesia, karena pelanggengan perilaku LGBT sebagaimana halnya pemerkosaan, perzinahan/ perselingkuhan, dan seks bebas samasekali tidak mendapat tempat dalam payung hukum Indonesia. Kesemuanya itu bukan hanya jahat kepada satu atau dua orang, tetapi juga kejahatan bagi pemuliaan generasi. Perilaku tersebut secara jelas menghilangkan satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa. perilaku seksual adalah hal yang diatur secara ketat dalam suatu ikatan perkawinan. Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 merumuskannya sebagai “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa“. Perilaku seksual hanya diwadahi dalam perkawinan yang merupakan “ikatan lahir batin” yang bertujuan membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia bukan sekedar catatan sipil, tapi lebih dari itu adalah pengurusan sebuah tatanan kemasyarakatan. Sebab, satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual adalah pemeliharaan generasi. LGBT telah menabrak tata nilai sosial, tata nilai budaya dan tata nilai agama.
LGBT saat ini lebih dari sekadar sebuah identitas, tetapi juga merupakan campaign substance and cover atas pelanggengan Same Sex Attraction (SSA). Perilaku LGBT dimulai dari suatu preferensi homoseksual, kemudian mewujud dalam perbuatan homoseksual, lalu pada akhirnya melekat dalam bentuk perjuangan untuk diterima sebagai perilaku normal dalam membentuk institusi keluarga.
Preferensi homoseksual itu hadir dalam keyakinan atas aktualisasi diri, pemikiran berisi pembenaran preferensi tersebut, dan keinginan yang mendorong untuk merealisasikannya. Perbuatan homoseksual itu mewujud dalam hubungan interpersonal sesama homoseksual. Selanjutnya, pembentukan keluarga LGBT adalah fase paling mutakhir dalam melanggengkan kedua perilaku yang lainnya, baik preferensinya maupun perbuatannya sebagai homoseksual.
Perilaku LGBT pada gilirannya akan mendorong hadirnya pemahaman yang menyimpang tentang seksualitas. Dikatakan menyimpang karena tidak dapat menyatukan antara keinginannya dengan prinsip-prinsip dasar kehidupan, sehingga terjadi gangguan keberfungsian sosial. Faktanya, tidak ada satu pun agama, nilai kemanusiaan, atau nilai kemanfaatan manapun yang membenarkan perilaku demikian. Oleh karena itu, jangan ragu blokir semua situs berita online dan Medsos yang menyebarkan LGBT.
Iman Kosambi(alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia. Founder Cersia)
Komentar