Tafsir Keliru Mahasiswa Kini
Kamis, 09 Februari 2017
00:00 WITA
Nasional
3584 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), meningkatnya biaya kepengurusan administrasi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), tingginya tarif listrik, hingga meningkatnya harga cabai dipasaran secara signifikan memicu resistensi dikalangan mahasiswa di Indonesia. Hal ini dapat dilhat dari upaya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SIc untuk menyelenggarakan aksi demonstrasi terkait penolakan terhadap kebijakan pemerintah saat ini yang dinilai cenderung mencekik dan menyengsarakan rakyat.
Kebijakan Penyamaan Harga Dilupakan
Betapa bahagianya saudara-saudara kita di Papua setelah sekian lama merasakan harga BBM 70.000 rupiah per liter berubah menjadi 7.000 rupiah pe liter setelah pemerintahan Presiden Jokowi dan JK beberapa waktu silam menegaskan untuk menetapkan penyamaan harga BBM diseluruh wilayah Indonesia.
Apakah aspek ini telah dipertimbangkan oleh sebagian kelompok mahasiswa yang kemarin berdemo menuntut Presiden Jokowi agar menangguhkan kebijakan menaikan harga yang hanya sebesar 300 rupiah.
Terlebih lagi alasan pemerintah untuk menaikan harga BBM dinilai logis dan berlandasan pada peraturan yang telah disepakati terkait penetapan harga BBM yang akan diupdate per triwulan dan didasarkan pada fluktuatif harga minyak dunia.
Pencabutan Subsidi Listrik 900 VA
Status mahasiswa yang disandang oleh seorang indivdu merupakan sebuah tanda yang mengisyaratkan bahwa seseorang berada diposisi “maha” yang merupakan salah satu posisi tinggi didalam pendidikan. Hal yang memang wajar dan diharuskan apabila seorang mahasiswa memiliki pola pemikiran yang kritis dan inovatif tatkala bangsa dan negara ini butuh kader dan generasi penerus yang akomodatif dan dapat membuat perubahan yang positif.
Namun demikian, kekritisan seorang mahasiswa seharusnya dilandasi oleh pemikiran ilmiah dan berdata, bukan hanya mengkomentar dan mengkritisi tanpa memberi solusi yang dapat menyelesaikan masalah.
Terbukti dari salah satu tuntutan mahasiswa pada demo kemarin (12/1) yang menginginkan agar pemerintah menarik kembali kebijakan menaikan harga tarif listrik untuk kalangan 900 VA terbantahkan dengan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang dengan tegas akan tetap memberikan subsidi kepada 4,1 juta pelanggan yang tidak mampu.
Kritik untuk Kenaikan Tarif Kepengurusan STNK
Tak ketinggalan kenaikan tarif kepengurusan STNK sekalipun, kemarin menjadi salah satu aspek yang diperjuangkan oleh para mahasiswa. Menurut para mahasiswa, kenaikan tarif tersebut dinilai sebagai kebijakan pemerintah yang dapat mencekik masyarakat. Sebagaimana peningkatan terendah sebesar 100 persen untuk penerbitan dan perpanjangan STNK kendaraan roda dua dan tiga, hingga tertinggi sebesar 275 persen untuk penerbitan BPKB kendaraan bermotor roda empat atau lebih dinilai terlalu berlebihan dan tidak pantas untuk rakyat miskin.
Namun jikalau ditelaah kembali terkait tuntutan mahasiswa tersebut, seharusnya dalam tuntutannya mahasiswa harus mempertimbangkan secara matang perihal poin-poin yang akan diperjuangkan.
Coba dipikirkan secara logika sehat, biaya kepengurusan STNK dan penerbitan BPKB untuk kendaraan bukanlah sebuah biaya yang harus dikeluarkan secara reguler atau bulan perbulan. Namun yang perlu diketahui apabila peningkatan biaya tersebut, tertuju kepada tarif kepengurusan STNK yang dilaksanakan per lima tahun.
Selain itu, perlu juga ditelaah kembali perihal penyebutan rakyat miskin. Apakah rakyat miskin yang sebetulnya miskin memiliki kemampuan untuk membeli motor apalagi mobil?
Oleh karena itu, bukan tidak boleh sekelas mahasiswa berpikir cerdas dan reformatif. Namun yang perlu dikaji dan dievaluasi kembali perihal cara dan kepastian data serta fakta pendukung yang kuat guna mengkritisi kebijakan pemerintah. Tak ayal apabila tafsir masyarakat cenderung menumbuhkan kecurigaan terkait gerakan pergerakan yang muncul mengkritisi pemerintah. Bukan tak mungkin apabila hal tersebut kedepannya akan ditunggangi oleh kepentingan kelompok yang gencar mendeskreditkan peran pemerintah.
Ricky Saputra (Pengamat Politik di LSISI)
Komentar