Gianyar, suaradewata.com - Desa Pekraman Suwat menggelar siat yeh (perang air) Minggu (1/1). Siat yeh adalah rangkaian acara dalam gelaran Festival Air Suwat. Festival yang masuk tahun kedua ini didedikasikan oleh masyarakat adat Suwat kepada sang air.
"Kita berharap semua yang ikut siat yeh lahir dengan spirit baru, menjadi manusia baru dan siap menghadapi tantangan yang semakin kompleks untuk menapaki hari demi hari dalam 365 hari ke depan," ujar Jero Bendesa Suwat, Ngakan Putu Sudibya.
Sebelum berperang, krama adat menggelar sembahyang bersama di catus pata desa pekraman. Persembahyangan dipimpin oleh lima jero mangku. Para rohaniawan ekajati ini duduk menghadap empat arah mata angin. Satu di antaranya berada di tengah.
Setelahnya, krama melakukan persembahyangan bersama memohon restu kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam representasinya sebagai Dewa Wisnu, dewa kehidupan yang disimboliskan dengan air.
"Kita menyambut tahun baru dengan semangat baru. Satu sama lain saling membersihkan. Saling mengingtakan dengan kesejukan. Semuanya bersih lahir bhatin, sekala dan niskala," tutur jero bendesa.
Fragmen tari bertajuk We Amerta ditampilkan dengan apik oleh kolaborasi seniman yang tergabung dalam Penggak Men Mersi dan Pancer Langit Bali. Secara etimologi, We berarti mengalir dan Amerta berarti air kehidupan. Dalam kehidupan masyarakat Bali, air memiliki fungsi yang sangat vital.
"Kesuburan alam akan terjaga karena kelimpahan air yang dimiliki. Pepatah mengatakan di mana air mengalir, di sanalah kesejahteraan akan terwujud. Jadi tidak berlebihan masyarakat Bali setiap saat memuja air," tutur Konseptor fragmen, Kadek Wahyudita.
Air sebagai mandala puja dipersonifikasikan sebagai sinar para dewata. Inilah esensi air yang disampaikan lewat garapan pertunjukan We Amerta.
"Dalam keyakinan umat Hindu Bali, mengalirnya amerta diyakini sebagai tugas dari Dewa Wisnu. Oleh karena itu, Dewa Wisnu dalam fungsinya sebagai dewa pemelihara kehidupan, senantiasa dipuja oleh umat Hindu agar tetap mengalirkan air untuk kesejahteraan dunia," tuturnya.
Sehari sebelumnya, krama adat Desa Pekraman Suwat menggelar prosesi mendak tirta, Sabtu (31/12). Tirta ini yang digunakan sebagai senjata dalam siat yeh (perang air).
Setidaknya ada 200 kendi yang diusung krama. Krama tedun "ketog semprong" dalam prosesi sakral ini, berjalan menuju mata air Tukad Melangge, Desa Pekraman Suwat.
"Bila pada prosesi mendak tirta secara umum di Bali hanya menggunakan satu sampai lima kendi, maka kami menggunakan lebih dari 200 kendi. Ini mungkin merupakan prosesi mendak tirta dengan kendi terbanyak di Bali," ujar Jero Bendesa Suwat, Ngakan Putu Sudibya. dar/ari
Komentar