Menjaga Keberagaman Pada Bingkai Indonesia Yang Damai
Rabu, 14 Desember 2016
00:00 WITA
Nasional
3720 Pengunjung
istimewa
Opini, suaradewata.com - Seolah telah menjadi tradisi bahwa setiap mendekati Natal marak perdebatan mengenai halal-haram mengucapkan natal bagi muslim. Mulai dari kalangan elite parpol, birokrat, ulama, mahasiswa, ormas-ormas, sampai kedalam masyarakatpun ramai untuk memperdepatkan hal ini. Banyak pendapat mengenai hal ini, seolah menjadi kontroversi dan entah mana yang benar mana yang salah. Bahwa sebenarnya bukan mengenai yang benar atau yang salah tapi tentang bagaimana cara kita mengambil sikap tanpa menyinggung semua pihak menurut saya itu yang terpenting, bukan malah menjustifikasi yang benar atau salah. Menurut penulis halal-haram, salah-benar seorang muslim mengucapkan Natal telah menjadi menu dan agenda tahunan yang mengusik rasa persaudaraan.
Tahun 1981 MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan fatwa mengenai himbauan agar umat muslim tidak perlu mengucapkan selamat Natal. Fatwa MUI ini masih menjadi kontroversi dan perdebatan sampai sekarang. Benar bahwa Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia, lebih dari 80% penduduk Indonesia beragama Islam dan sekaligus menjadi negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia. Tapi ada satu hal yang sangat istimewa bahwa Indonesia bukan negara Islam. Indonesia tidak menggunakan ideologi Islam sebagai Ideologi negara. Indonesia menggunakan ideologi Pancasila, yang mana merupakan ideologi asli dan berasal dari Indonesia sendiri, yang lahir dan berkembang sejak zaman leluhur bangsa Indonesia, yang mana nilai-nilai pancasila merupakan refleksi dari kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia sejak negara Indonesia belum berdiri. Pancasila merupakan ideologi bagi semua elemen masyarakat Indonesia, bukan hanya satu atau beberapa elemen saja tapi bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang ber Bhineka Tunggal Ika. Bersatu dalam perbedaan, bersatu dalam satu semangat NKRI.
Seiring dengan berkembangnya informasi dan cara bersikap yang kurang bijak dari beberapa kelompok, perihal kejadian ini konon telah menjadi kontroversi dan berpotensi menimbulkan sentimen hingga konflik agama yang dikhawatirkan dapat mengganggu ketentraman kehidupan dan toleransi beragama di Indonesia. Seperti halnya kasus pembubabaran paksa Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Natal di gedung Sabuga ITB, Bandung (6/12) oleh organisasi massa Islam yang terdiri dari Pembela Ahlu Sunnah (PAS), DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), Jundullah/Annas/FUUI, FPI, KPUB, dan API. Pada kesempatan tersebut juga umat Nasrani tetap melanjutkan ibadahnya tanpa menggubris intervensi oleh Ormas Islam yang menolak. Sehingga ditengah-tengah nyanyian “Malam Kudus” yang dinyanyikan oleh umat Nasrani terdengar sebutan takbir dari massa ormas Islam yang menentang pelaksanaan ibadah tersebut.
Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin menyesalkan peristiwa pembubaran kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB, Bandung, Jawa Barat, Selasa (6/12/2016) malam. Menurutnya secara nilai, baik itu agama maupun negara, seseorang atau sekelompok masyarakat dijamin hak-hak serta kebebasannya dalam memeluk serta menjalankan ibadah sesuai ketentuan agama masing-masing. Semuanya jelas termaktub dalam Pasal 29 UUD 1945 dan juga ajaran Islam, yang mengedepankan toleransi yang jelas dengan mempersilakan masing-masing untuk menjalankan agamanya. Lakum dinukum waliyadin, bagiku agamaku bagimu agamamu tanpa saling mengganggu. Sama halnya menurut Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, mengecam aksi pembubaran Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) tersebut. Menurutnya aksi pembubaran merupakan bentuk pelanggaran hukum dan tidak bisa dibenarkan. Selain itu juga bahwa setiap organisasi keagamaan tidak punya hak untuk membubarkan kegiatan umat agama lain. (sumber : Kompas.com 7/12/2016)
Sedangkan menurut Wali Kota bandung, Ridwan Kamil meminta maaf atas pembubaran jemaat Kristen dari acara KKR oleh sekelompok ormas Islam di Gedung Sabuga, Bandung. Menurutnya, sebagai walikota ia menyesalkan kehadiran dan intimidasi ormas keagamaan yang tidak pada tempatnya dan tidak sesuai dengan peraturan dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, Dia juga menyatakan, selama sifatnya insidentil, tidak ada masalah dengan kegiatan keagamaan yang menggunakan bangunan publik seperti Gedung Sabuga.
Negara Indonesia ini terdiri dari beragam suku dan agama. Kita hidup berdampingan dengan hak yang sama sebagai rakyat Indonesia, apapun sukunya, apapun agamanya. Itulah cara kita hidup selama ini, sejak negara ini berdiri sampai sekarang.
Setiap agama punya hari raya dan ritual keagamaan yang berbeda-beda, dan semuanya sudah mendapatkan hak perayaan dari negara. Semua umat beragama juga punya hak merayakan. Jika ada pihak-pihak yang menghalangi atau membubarkan sebuah perayaan, maka itu melanggar undang-undang dan kesepakatan kita sebagai warga Indonesia.
Perlu disadari memang bahwa Ibu pertiwi sedang diuji, setelah publik disibukan dengan permasalahan isu Makar, tuduhan penistaan agama oleh Ahok yang rawan akan dikaitkan dengan konflik SARA, serta dilanjutkan dengan permasalahan agama di Bandung ini yang sarat akan kepentingan, disinilah ajang kita bangsa Indonesia menunjukan kepada dunia, bahwa kepentingan kelompok oportunis dan pragmatis dapat kita kalahkan dengan kedewasaan dalam menghadapi sebuah perbedaan, Karena Indonesia Satu. */ari
Penulis adalah Peneliti Muda Pada Kajian Kebangkitan Umat untuk Kebangsaan
Komentar