Opini, suaradewata.com - Panasnya gelombang politik mendekati Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Serentak di sekitar 101 daerah mulai dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Tanpa terkecuali mulai dari golongan tua hingga kelas pelajar sekalipun, aroma kesibukan dan ramainya Pemilukada 2017 telah merasuki sendi kehidupan publik.
Tak hanya masyarakat, masing-masing calon dan tim sukses partai politik pun juga disibukan dengan berbagai penyusunan strategi kemenangan. Berbagai macam cara dilakukan tatkala target untuk menduduki kursi panas adalah harga mati. Mulai dari aksi positif dengan mengkampanyekan visi, misi hingga program kerja jikalau terpilih nanti, bahkan cara “sadis” yang memanfaatkan kelemahan lawan sebagai senjata kampanye dalam menjatuhkan elektabilitas calon lain, hingga isu yang paling sensitif santer terdengar yakni suku, ras, dan agama (SARA).
Sebagai negara yang majemuk dengan beragam suku, ras, agama, dan golongan, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan akan konflik SARA. Beberapa konflik SARA yang dahulu masih membekas diingatan dan dapat dijadikan pelajaran oleh para aktor politik untuk menghentikan tindakan dan propaganda kejam mereka.
Konflik Dayak dan Madura
Tidak terlupakan konflik SARA Sampit yang paling membekas dan menggemparkan bumi Nusantara di tahun 2001. Konflik yang melibatkan suku Dayak dan Madura ini dipicu banyak penyebab seperti tewasnya seorang warga Dayak yang dibunuh oleh warga Madura hingga kasus pemerkosaan gadis Dayak. Sehingga hal tersebut berujung pada sentimen kesukuan yang mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia.
Warga Tionghoa dan Krisis Moneter 1998
Krisis moneter tahun 1998 membekas diingatan tatkala peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei berbuntut pada kerusuhan publik. Kerusuhan yang terjadi menular pada konflik antar etnis pribumi dan Tionghoa dimana banyak aset yang dimiliki etnis Tionghoa dijarah dan dibakar oleh massa yang emosi. Tidak berhenti sampai disana, tindakan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para wanita dari etnis Tionghoa kala itu menjadi catatan kelam bagi pemerintah Indonesia.
Peristiwa Tragis Ambon
Selanjutnya konflik berbau SARA yang paling tragis meletus pada tahun 1999 di Ambon. Kerusuhan yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999 telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa yang juga menghancurkan tatanan kehidupan bermasyarakat. Konflik tersebut meluas dan menjadi kerusuhan hebat tatkala banyaknya nyawa menjadi korban sebagai imbas konflik agama antara umat Islam dan Kristen.
Dikaitkan dengan pesta demokrasi Pemilukada 2017, pengguna kata SARA cenderung dilandaskan sebagai bagian untuk menghina baik secara lisan maupun tulisan yang ditujukan untuk menistakan atau melakukan pencemaran nama baik terhadap calon kepala daerah. Batasan penistaan atau bukan dalam konteks Pilkada adalah pengaruhnya terhadap keterpilihan calon, yang artinya menimbulkan kerugian atas keterpilihan yang dialami pasangan calon oleh adanya praktik penistaan tersebut.
Hal ini telah di atur didalam Undang-undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 69 tentang larangan melakukan penghinaan kepada seseorang, agama, suku, ras, dan golongan terhadap calon kepala daerah. Dalam pasal yang sama kampanye juga dilarang menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan dan atau kelompok.
Oleh karenanya,apakah iya kita masyarakat Indonesia yang dikenal cerdas dan santun masih menggunakan isu SARA sebagai alat kampanye? Tidakkah khawatir sekumpulan kasus SARA yang telah terjadi dahulu kembali terulang di Pemilukada 2017? Mengedepankan kualitas dengan mengadu gagasan dan konsep perbaikan dan kemajuan daerah dinilai jauh lebih baik nan menarik bagi masyarakat ketimbang isu primordial yang dapat meluluhlantahkan ibu pertiwi.
Komentar