PD Swatantra: Pengelolaan Pihak Ketiga Lebih Untung, Curiga Ada “Kebocoran†Hasil
Jumat, 19 Agustus 2016
00:00 WITA
Buleleng
4625 Pengunjung
suaradewata
Buleleng, suaradewata.com – Pengelolaan hasil perkebunan ditubuh Perusahaan Daerah (PD) Swatantra ternyata cukup mengalami kondisi yang dilematis. Dari 87,440 Hektare lahan yang dikelola, hanya 60,249 Hektare yang dikategorikan sebagai lahan produktif. Hal tersebut berdasarkan pengakuan Direktur PD Swatantra, Ketut Siwa, Jumat (19/8).
Selain itu, pengelolaan yang dilakukan penggarap atau yang dikenal dengan istilah penyakap lebih cenderung menghasilkan angka pendapatan yang lebih besar daripada pengelolaan yang dilakukan sendiri. Hal tersebut khususnya berlaku pada tanaman kopi yang menjadi komoditi perkebunan utama milik PD Swatantra.
“Kalau kebun cengkeh tidak ada yang ngomplek (Tersentral di satu luasan lahan kebun). Karena pohon cengkeh hanya jadi tanaman sela. Semua tanaman di sana (Desa Tajun dan Desa Mengening) adalah kopi intinya,” ujar Siwa.
Kondisi perkebunan yang tidak tersentral di satu hamparan luasan kebun milik PD Swatantra di Desa Tajun dan di Desa Mengening pun disebut tidak bisa dikalkulasikan dengan hitungan hasil kebun yang satu jenis tanaman.
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun suaradewata.com, di areal perkebunan yang dikelola dengan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 47,210 Hektare, tedapat total 2601 pohon dengan Musim Tanam (MT) yang bervariatif. Tanaman cengkeh tersebut ditanam di atas total lahan 12,744 Hektare yang terpisah dengan istilah Blok. Khusus jumlah pohon cengkeh, terdapat pengklasifikasian pohon berdasarkan masa tanam. Mulai dari Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) yang musim tanam di tahun 2011 hingga tahun 2014.
Dari jumlah pohon cengkeh yang menghasilkan dikawasan perkebunan Desa Tajun dan Desa Mengening, tercatat totalnya 482 pohon yang tersebar di dua desa wilayah Kecamatan Kubutambahan. Jarak tanam antar satu pohon ke pohon lainnya pun sepanjang tujuh meter dari satu pohon ke pohon lainnya.
Di areal perkebunan yang terdapat di kawasan perkebunan HGU seluas 47,210 Hektare terdapat masyarakat desa yang menempati perkebunan dengan membuat pondok tinggal. Masyarakat yang menghuni pondok diperkebunan milik PD Swatantra tersebut pun diketahui memiliki tempat tinggal tetap di masing-masing tempat asalnya yang ada di kawasan desa wilayah perkebunan PD Swatantra.
Kondisi keberadaan para pemondok tersebut pun disebut turut melakukan pengelolaan terhadap hasil bumi yang ditanam oleh mereka. Seperti sayur mayur dan juga tanaman lain yang diluar komoditas inti PD Swatantra.
Keberadaan masyarakat yang menghuni perkebunan pun disebut turut membantu mengurangi biaya pengeluaran. Khususnya biaya perabasan atau pembersihan kebun yang dilakukan oleh masyarakat penghuni perkebunan. Dari keterangan Siwa, upah harian pun tidak lebih dari Rp10 ribu perhari untuk pekerjaan pembersihan areal kebun.
“Ada perjanjian dengan mereka (Masyarakat penghuni kebun). Diperkenankan tinggal dikebun tapi wajib membersihkan areal perkebunan dengan upah yang disepakati (Rp10 ribu perhari). Baru sekarang minta naik menjadi Rp15 ribu untuk upah hariannya,” tutur Siwa didampingi sejumlah Kepala Bagian (Kabag) yang ada di PD Swatantra.
Dikonfirmasi terkait dengan sistem penjualan cengkeh, Siwa menyebut penjualan dilakukan dengan sistem tebasan atau dibeli ketika buah masih berada di atas pohon. Yang mana, pihaknya tidak menanggung biaya oprasional panen khusus pada tanaman cengkeh yang buahnya dijual.
Ironisnya, hasil global untuk perkebunan cengkeh dan juga kopi yang dikelola langsung memiliki hasil yang lebih rendah dibanding dengan jumlah yang dikelola oleh penggarap pada perkebunan HPL. Yang dicontohkan terhadap hasil perkebunan HGU menghasilkan Rp193 juta dengan pengeluaran sebesar Rp68 juta di tahun 2015, sedangkan untuk perkebunan HPL yang dikelola oleh penggarap di tahun yang sama menghasilkan Rp247 juta dibalik biaya pengeluaran yang hanya Rp37 juta.
Hasil pengelolaan perkebunan HGU di tahun 2015 pun mengalami kenaikan dengan perbandingan di tahun 2014 yang hanya menghasilkan Rp120 juta. Khusus hasil cengkeh, lanjut Siwa, hanya mampu menghasilkan 13 kuintal atau 1325 Kilogram kering di tahun 2015 yang merupakan hasil bersih dari penjualan sistem tebasan.
Sedangkan untuk hasil tanaman Kopi jenis Robusta di lahan HGU seluas 47,210 Hektare, hasilnya pun cenderung lebih kecil dari hasil perkebunan kopi yang dikelola di perkebunan aset Pemkab Buleleng yang berstatus HPL seluas 40,230 Hektare.
Biaya pengeluaran yang dikeluarkan pun lebih banyak karena dipanen langsung dengan tenaga harian dari PD Swatantra. Menurut Siwa, tidak ada yang berani membeli sistem Tebasan khusus kawasan perkebunan di Kecamatan Kubutambahan.
Dikonfirmasi terkait dengan minimnya hasil panen dari pengelolaan diperkebunan HGU dibanding dengan kebun berstatus HPL aset Pemkab Buleleng, Kepala Bagian Perkebunan dan Peternakan PD Swatantra, Made Arya Suhartana, mengatakan, ada bentuk kecurigaan yang sampai saat ini belum bisa dibuktikan oleh pihaknya.
“Kami memang menduga ada kebocoran hasil panen karena selalu melenceng dari penilaian kami ketika melihat kondisi buah. Seharusnya mendapatkan hasil besar, tetapi setelah panen dilakukan kemudian malah lebih sedikit dari perkiraan awal,” pungkas Arya.
Kondisi berbeda dengan hasil kebun yang dikelola oleh pihak ketiga pun disebabkan ada pengeluaran yang turut ditanggung oleh penggarap. Dimana, perbandingan sistem dua banding satu dinilai mempengarhui besarnya pendapatan dari pengelolaan kebun berstatus aset Pemkab (HPL).
Hasilnya pun sebanding dengan sistem dua banding satu tersebut. Dimana, lanjut Arya, jika hasilnya satu untuk penggarap maka PD Swatantra menerima dua dalam perbandingan itu. Dan pengeluaran yang dikeluarkan oleh PD Swatantra pun berbanding dua dengan penggarap yang hanya mengeluarkan satu dalam sistem pembangian.adi/aga
Komentar