Dugaan Korupsi PD Swatantra Bergulir Ke KPK
Sabtu, 13 Agustus 2016
00:00 WITA
Buleleng
4969 Pengunjung
suaradewata
Buleleng, suaradewata.com – Kasus dugaan korupsi yang ada di tubuh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Buleleng yakni PD Swatantra akhirnya masuk kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan/pengaduan dugaan korupsi atas pengelolaan dan indikasi laporan fiktif terhadap hasil usaha yang dikelola PD Swatantra di tahun 2013 dan 2014 tercatat masuk ke kantor KPK RI pada (11/8/2016).
Sebagai pelapor yakni LSM Forum Peduli Masyarakat Kecil (FPMK), Gede Suardana, mengaku gerah dengan proses penegakan hukum di Pengadilan Tinggi Bali terhadap laporan yang sampai saat ini tidak jelas juntrungnya.
Suardana yang dikonfirmasi dibalik telepon selulernya mengatakan, akan terus melakukan pengawalan terhadap dugaan korupsi pengelolaan hasil usaha PD Swatantra yang hingga penegakan hukum betul-betul diterapkan.
“Kami heran ketika kasus ini bergulir di Kejaksaan Tinggi Bali. Dua orang Jaksa mendadak dipindah karena melakukan penyelidikan kasus ini. Padahal dari kordinasi kami sebelumnya dengan jaksa yang dipindahtugaskan, ini jelas sekali indikasi korupsinya,” ujar Suardana dengan intonasi tinggi, Sabtu (13/8/2016).
Dikatakan, hasil pengelolaan dari 87 hektare kebun cengkeh dan coklat yang dilakukan oleh pihak PD Swatantra bukan hanya milik pemerintah Kabupaten Buleleng. Namun, lanjutnya, hasil pengelolaan sudah pasti akan berdampak terhadap pembangunan daerah di kawasan Bali Utara.
Pasalnya, hasil keuntungan sejumlah 40 persen yang menjadi hak pemerintah Kabupaten Buleleng merupakan salah satu dana yang masuk ke pos Pengadapatan Asli Daerah (PAD) dalam APBD Buleleng. Dan dengan jumlah panen hektaran lahan perkebunan cengkeh dan coklat yang dikelola secara benar, tentu akan dirasakan oleh masyarakat Buleleng dalam bentuk pembangunan.
“Jika pengelolan BUMD dilakukan secara benar, bukan hanya berdampak pada kesejahteraan daerah. Seharusnya hasil keuntungan yang dikelola secara baik akan mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat Buleleng. Kami serahkan seluruh bukti serta temuan yang kami dapatkan di lapangan terkait dengan dugaan kasus korupsi di PD Swatantra. Dan kami masih percaya dengan KPK sebagai institusi yang menjaga kedaulatan hukum dan harapan seluruh masyarakat Indonesia khususnya di Buleleng untuk membantu memperbaiki Buleleng,” paparnya.
Di tempat lain, Anggota Komisi I DPRD Provinsi Bali, Nyoman Tirtawan, mengaku sangat menyayangkan kinerja aparat penegak hukum termasuk legislatif Buleleng. Ia yang dikonfirmasi dari balik telepon selulernya mengatakan, sudah berulangkali mendesak aparat baik di kabupaten maupun tingkat provinsi untuk menerapkan hukum sebagaimana mestinya.
“Jika penegakan hukum masih dilakukan secara tebang pilih, kapan Buleleng akan memberikan pembangunan yang maksimal bagi Buleleng. Saya putra daerah (Buleleng) yang turut bertanggung jawab untuk menuntut aparat penegak hukum menjalankan fungsinya sebagai lembaga yudikatif. Terlebih ini dugaan korupsi yang menjadi musuh bersama seluruh rakyat termasuk institusi pilar demokrasi,” tegasnya.
Tirtawan pun menyesalkan sikap Dewan Buleleng yang selama ini dianggap adem ayem menyikapi dugaan korupsi yang terjadi di tempat usaha pencetak uang milik daerah tersebut. Menurutnya, desakan terhadap penegakan supremasi hukum seharusnya dilakukan oleh pihak legislatif daerah untuk kepentingan masyarakat di Buleleng.
Bahkan selain menyinggung kinerja wakil rakyat di gedung DPRD Buleleng, Tirtawan pun sempat menyentil kinerja aparat penegak hukum di kawasan Bali Utara. Menurutnya, dugaan indikasi korupsi tersebut seharusnya tidak perlu sampai ke KPK RI ketika penegakan hukum betul-betul dilakukan aparaturnya.
“Di Buleleng itu ada kantor Kejaksaan lho, ada kantor Polisi lho. Bau tidak sedap dari dugaan korupsi itu terjadi di Buleleng lho. Lalu kenapa bertahun-tahun hingga 2016 tidak ada geliat. Ini ada apa sebetulnya (Dengan penegakan hukum),” tandas Tirtawan.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Tirtawan sempat menyesalkan kinerja Kejaksaan Tinggi Bali yang tidak menggunakan rasionalisasi terhadap penyelidikan dugaan korupsi dalam pengelolaan usaha milik Pemkab Buleleng oleh PD Swatantra.
Berdasarkan hasil penyelidikan langsung ke lapangan yang dilakukan Tirtawan sebelumnya menyebut, harga cengkeh diatas lahan seluas 3000 meter persegi mencapai hasil Rp80 juta. Hal tersebut sesuai dengan hasil penjualan cengkeh di kebun salah satu warga di Desa Cempaga.
Sedangkan, hasil perkebunan cengkeh milik Pemkab Buleleng yang dikelola PD Swatantra mencapai lebih dari 20 hektare. Hal tersebut tidak sebanding dengan 40 persen hasil pengelolaan yang jika dilakukan secara benar, tentu melebihi hasil dari 3000 meter persegi yang ada di Desa Cempaga.
Bahkan, dalam kalkulasinya disebut ada angka yang hilang dari pengelolaan hasil perkebunan cengkeh dan coklat yang disetor ke kas PAD. Dimana, angka tersebut dianulir mencapai angka miliaran rupiah.
Sementara, terhadap pengelolaan 87 hasil perkebunan cengkeh dan coklat oleh PD Swatantra di tahun 2013 hanya disetorkan 40 persen keuntungan dengan jumlah Rp50 juta per tahun. Sedangkan di tahun 2014 hanya Rp75 juta per tahun. Angka yang dianggap tidak rasional tersebut tentu menimbulkan tanda tanya besar dibalik hasil perbandingan produksi yang sama terhadap perkebunan masyarakat.
“Saya tidak punya kepentingan lain selain hukum yang betul-betul ditegakan oleh aparatur penegak hukum khususnya di Buleleng. Semut di sebrang lautan begitu jelas terlihat. Ini kok Gajah yang ada di pelupuk mata tidak tampak. Ini baru saya hitung dengan logika saja, belum menyentuh bukti laporan yang ada di PD Swatantra. Aparat penegak hukum di Buleleng seharusnya bergerak untuk kepentingan masyarakat karena hasil pengelolaan itu kan masuk ke kas pemerintah daerah,” papar Tirtawan.
Berdasarkan hasil penelusuran suaradewata.com, harga cengkeh kering di tahun 2013 mencapai angka Rp200 ribu per kilogram. Berdasarkan data yang disampaikan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Pemerintah Kabupaten Buleleng, jumlah panen cengkeh tahun 2013 mengalami peningkatan dengan hasil mencapai 2.359,98 Ton atau 311,67 kilogram per hektare lahan.
Sedangkan hasil perkebunan cengkeh dari rata-rata yang dihimpun Dishutbun Kabupaten Buleleng di tahun 2014 mencapai hasil 5.270,75 Ton dengan rata-rata per hektare lahan mampu menghasilkan 670,81 kilogram cengkeh.
Hasil panen mengalami penurunan angka di tahun 2015 di angka 4.907,39 Ton atau sekitar 632,82 kilogram per hektare.
Berdasarkan hasil investigasi suaradewata.com kepada sejumlah sumber pemilik perkebunan cengkeh menyebutkan, hasil panen cengkeh yang baru turun dari pohon akan mengalami penyusutan paling banyak satu per empat dari berat semula ketika dalam kondisi kering.
“Itu pun tergantung dengan jenis buah cengkeh yang ditanam. Sebab sebagian besar yang ada di buleleng sebagian besar hanya menyusut sepertiga dari berat cengkeh mentah. Dan jarang sekali yang menyusut sampai seperempat kecuali gagal biji. Satu hektare cengkeh jika maksimal dikerjakan hasilnya lebih dari Rp50 juta pak. Apalagi cengkeh yang sudah lebih dari 10 tahun umur pohonnya. Hanya saja, harga sekarang lagi turun. Tidak seperti tahun sebelumnya,” pungkas sumbersuaradewata.com. adi/hai
Komentar