PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

KAHMI Buleleng Sadarkan Semangat Kebangsaan

Sabtu, 06 Agustus 2016

00:00 WITA

Buleleng

4276 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

suaradewata

Buleleng, suaradewata.com – Persoalan mendasar tentang kebangsaan menjadi suatu masalah yang diakui terjadi belakangan ini. Hal tersebut disampaikan Ketua Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Buleleng, Lewa Karma, dalam acara halal bihalal dan dialog kebangsaan, Sabtu (6/8).

“Kesadaranan inilah (Semangat Kebangsaan) yang dibangun oleh segenap kader KAHMI baik Buleleng maupun Bali untuk menyadarkan kepada masyarakat. Seperti bahasanya, potensi konflik di Bali tinggi. Sedikit sumbunya di colek maka akan meledak,” ujar Lewa yang juga salah satu tokoh penerima Satya Lencana dari Presiden Joko Widodo di penghujung November 2015 lalu.

Menurut Lewa, peran KAHMI di Buleleng khususnya maupun di Bali pada umumnya merupakan salah satu perpajangan tangan pemerintah untuk menekan konflik tersebut. Bahkan, lanjutnya, bila perlu konflik tersebut dihapuskan dan bila perlu jangan sampai ada konflik.

Di sisi lain lain,  tokoh Nahdatul Ulama (NU) Buleleng, KH Maksum Amin, mengingatkan tentang semangat “menyame beraye” atau “persaudaraan” yang sudah tumbuh di Buleleng sejak lama. Maksum yang sebelumnya pernah menjabat sebagai tokoh sentral NU di Buleleng mengaku, perbedaan yang ada di Buleleng sebetulnya menjadi sebuah kekuatan besar yang pernah tercatat dalam sejarah Buleleng.

Ia pun merasakan bibit perpecahan yang muncul dalam bentuk sekat di masyarakat khususnya di Buleleng pasca tragedi Bom Bali I dan II. Terlebih, lanjutnya, muncul oknum-oknum di tubuh elit politik yang mengaku idealis dan mengaku memperhatikan permasalahan bangsa tapi dibaliknya memiliki kepentingan pribadi.

Menurut Maksum, Buleleng harus melihat kembali tentang konsep menyame beraye seperti yang terjadi pada tahun 1988. Yang kala itu di bawah Raja Ki Barak Panji saksi mengajak seluruh masyarakat Buleleng yang memiliki perbedaan suku dan agama di untuk bersatu melawan penjajah dan memerdekakan bangsa.

“Maka dengan dialog ini perlu di urai kembali dan dikembalikan (Semangat Kebangsaan di tahun 1988). Karena akhir-akhir ini ada isu tentang faham radikalisme, ada isu terorisme, yang padahal itu adalah isu yang diciptakan dari luar dan dibawa masuk ke Indonesia. Sebab kita di Indonesia tidak ada ISIS, tidak ada faham radikalisme, semuanya menyame beraye (Bersaudara),” kata Maksum mengingatkan.

Masih dalam acara yang sama, Ketua MUI Bali, KH Muhamad Taufik Asy’adi mengatakan, masyarakat Bali seluruhnya diharapkan mampu melengkapi kekurangan satu sama lain dan juga memetik kelebihan bersama.

Taufik mengutip pernyataan bekas Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Amir Syarifuddin dan Kabinet Hatta (Mantan Wapres RI) yakni Agus Salim. Yang mana, lanjutnya, orang takwa itu adalah orang yang awas dan hati-hati dalam bertindak.

“Karena dalam kehidupan ini, banyak sekali godaan dan rintangan. Sehingga manusia bisa terpeleset dan jatuh. Dari dulu sama saja yang mengoda. Kadang-kadang unsur wanita, kadang unsur harta, dan kadang unsur kekuasaan. Kita sudah sepakat terbentuknya NKRI bukan untuk satu Agama, tetapi untuk satu bangsa dan untuk melaksanakan ketertiban dunia,” ujar Taufik.

Taufik pun kembali mengingatkan tentang kebersamaan yang terjadi di Buleleng termasuk Bali. Tentang bagaimana kebersaaam seluruh elemen masyarakat Buleleng kala dahulu sama-sama menjaga hutan dan membuat kebun serta sawah.

Dalam acara tersebut juga dihadiri langsung oleh salah satu anggota DPD RI Dapil Bali yakni Gede Pasek Suardika (GPS) dan juga salah satu anggota DPRD Provinsi Bali, Nyoman Tirtawan.

GPS yang menjadi narasumber dalam dialog tersebut menekankan, masyarakat  di Bali dan khususnya yang ada di Buleleng harus kembali mengingat sebuah sejarah tentang terbentuknya negara Indonesia. Dimana, konsep “menyame beraye” adalah sebuah fakta yang tidak mampu terbantahkan hingga menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pernah tidak percaya bahwa asal leluhur saya dari Jawa Tengah. Karena nama Gede yang menempel pada identitas saya sebagai orang Bali. Tapi ada wujud dan bukti peninggalan sejarah di salah satu daerah di Jawa Tengah yang pada waktu tertentu didatangi oleh keluarga Pasek untuk bersembahyang atau saudara di islam sebut berziarah,” ungkap GPS.

Selain dihadiri oleh sejumlah tokoh agama serta tokoh partai, acara dialog kebangsaan yang diselenggarakan oleh KAHMI Buleleng juga turut dihadiri oleh perwakilan unsur Polri, TNI, Pemkab Buleleng, dan termasuk sejummlah Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang ada di Buleleng. adi/hai


Komentar

Berita Terbaru

\