PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Pengelolaan Pasar Rakyat Desa Banjar Ditenggarai Ada “Permainan”?

Senin, 20 Juni 2016

00:00 WITA

Buleleng

4677 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

suaradewata

Buleleng, suaradewata.com – Pengelolaan pasar rakyat Desa Banjar, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, yang merupakan bantuan dari Kementrian Perdagangan Republik Indonesia yang disalurkan kepada desa melalui Pemerintah Kabupaten Buleleng ditenggarai sarat “permainan”. Pasalnya, proses pembagiannya dinilai terdapat indikasi kolusi. Wow, kok bisa?

Berdasarkan pemaparan Ketut Wardipa (60), salah satu pedangan yang mengantongi Sertifikat Hak Persewaan Tempat Usaha (SHPTU) dari Perusahaan Daerah (PD) Pasar Buleleng mengatakan dirinya sampai saat ini belum mendapatkan lapak sebagaimana haknya.

Padahal, direlokasi dari pasar lama, sudah ada kesepakatan antara pihak desa adat di Desa Pakraman Banjar dengan PD Pasar terkait pengelolaan pasar baru. Menurutnya, dalam kesepakatan itu Desa Pakraman Banjar mendapatkan 30 persen dan PD Pasar 70 persen dari hasil pengelolaan pasar.

Proses jual-beli lapak sisa yang tidak terpakai lagi akhirnya terjadi antara PD Pasar dengan pedagang.  Wardipa pun membeli dua lapak kepada PD Pasar senilai Rp11 juta hingga munculah SHPTU dari pihak PD Pasar sebagai bukti kepemilikannya.

Ironisnya, pasca dibeli hingga saat ini pun belum juga mendapatkan lapak yang dibelinya tersebut dan malah terancam kehilangan haknya memiliki lapak yang dibelinya itu. Pasalnya, kebijakan melalui persetujuan Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, atas pengelolaan yang dilakukan oleh pihak desa adat ternyata berujung aksi arogansi.

Menurut penuturan Wardipa, anaknya sempat mendatangi Bendesa adat (Ketua Adat) setempat untuk menanyakan posisi lapak yang dibeli dari PD Pasar. Bukannya mendapat pencerahan, lanjutnya, Bendesa Adat malah lepas tangan dan meminta anak dari Wardipa untuk berurusan dengan pihak PD Pasar.

“Anak saya yang menanyakan lokasi lapak atas SHPTU yang telah dibeli malah ditanya balik dan disuruh berurusan dengan PD Pasar. Katanya karena urusan jual-beli dulu dengan PD Pasar dan bukan dengan Desa Adat. Sampai sekarang masih belum dapat lapak jualan walau pegang sertifikat (SHPTU),” ujar Wardipa, Senin (20/6).

Kondisi tersebut malah terbalik dengan sejumlah pedangan yang saat ini telah mendapat lapak dan berjualan sejak dua setengah bulan lalu. Dimana, lanjutnya, sejumlah pedangan tersebut tidak memiliki SHPTU malah bisa menguasai lapak dan berjualan.

Wardipa yang keseharian berjualan makanan tradisional Bali dan sekitar 50 orang pedangan lain yang memiliki SHPTU namun tidak mendapat lapak pun akhirnya terpaksa berjualan di pinggir pasar dan tidak mendapatkan lapak sebagaimana haknya.

Berdasarkan keterangan sumber yang enggan disebut identitasnya mengatakan, terdapat sekitar 73 pedangan pasar yang tidak memiliki SHPTU tapi bisa menguasai lapak yang menjadi hak pemegang SHPTU.

Informasi yang berkembang pun menyebutkan adanya pemberian “suap” sebesar Rp1 juta sampai dengan Rp2 juta kepada oknum pengelola pasar rakyat. Uang yang konon disebut pelicin itu ditenggarai sebagai kompensasi pemberian lapak bagi pedangan yang tidak memiliki SHPTU.

Ironisnya, para pemilik SHPTU yang total keberadaannya sekitar 80 orang dan yang berjualan dipasar sekitar 50 orang ternyata dikenakan restribusi sebesar Rp5 ribu  bagi yang berjualan di emperan. Restribusi tersebut dipungut oleh oknum pengelola pasar dibawah pengelolaan desa adat dan dikenakan setiap hari selama berjualan.

Pasar rakyat yang ada di Desa Banjar itu dibangun oleh kementrian Perdagangan RI dengan menggunakan anggaran pemerintah yang bersumber dari APBN/TP dan total menghabiskan dana sebesar Rp 6.358.593.000. Pembangunan tersebut pun berlangsung diatas tanah seluas 37 are yang merupakan Pelaba Pura Segara Desa Banjar.

Direktur PD Pasar Buleleng, Putu Gede Satwika Yadnya, ketika dikonfirmasi terpisah oleh awak media mengatakan, akan melakukan pengambilalihan pengelolaan pasar pada pekan depan. Ia pun mengaku akan tetap memberikan ruang bagi pedangan yang tidak memiliki SHPTU dan mengembalikan hak para pedangan yang memegang SHPTU.

Ironisnya, Satwika mengaku tidak mengetahui kondisi puluhan pedangan pemegang SHPTU yang tidak bisa berjualan akibat lapaknya dikuasai oleh pedangan yang tidak memegang SHPTU.  

“Itu yang di luar sepengetahuan kami (Pemegang SHPTU lapaknya disabotase), itu yang kita ingin investigasi sampai langkah-langkah apa yang kontrukstif kita temukan bersama. Harapan saya, semua yang punya sertifikat sah dari PD Pasar mendapatkan lapak. Sekarang yang tidak punya sertifikat tapi sudah masuk di dalam, bagaiamana nanti mengaturnya sehingga semua bisa kita tampung karena semua pedangan itu pun adalah warga kita,” pungkasnya.

Satwika mengaku terkejut ketika mendengar informasi terkait keberadaan “uang suap” yang diberikan oleh pedangan ilegal yang tidak memiliki SHPTU namun mendapatkan lapak. Ia pun bahkan minta suap yang konon diberikan kepada oknum pengelola pasar agar bisa dibuktikan sehingga bisa proses karena suap meyuap untuk mendapatkan lapak tersebut dirasa cukup meresahkan.adi


Komentar

Berita Terbaru

\