Fenonema Calon Independen Bukan Berarti Deparpolisasi
Kamis, 16 Juni 2016
00:00 WITA
Nasional
4417 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Sebanyak 249 provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, telah menggelar suksesi kepemimpinan dalam Pilkada serentak gelombang I, 9 Desember 2015 lalu. Kini, masyarakat di 101 provinsi, kabupaten dan kota sedang menatap Pilkada serentak gelombang II, Februari 2017 mendatang.
Untuk dua gelombang pelaksanaan Pilkada serentak ini, satu fenomena yang mengusik partai politik adalah maraknya kemunculan calon perseorangan. Fenomena ini menjadi sesuatu yang tampak buruk bagi sebagian politisi, namun justru dielu-elukan oleh masyarakat awam.
Ini menarik, mengingat sesungguhnya dalam dinamika demokrasi Indonesia, calon independen atau perseorangan bukan sesuatu yang tabu. Calon independen memiliki hak untuk dapat berpartisipasi dan bersaing dalam hajatan Pilkada, apalagi hal tersebut sudah diatur dalam undang-undang.
UU Nomor 8 Tahun 2015, khususnya dalam Pasal 35, telah jelas mengisyaratkan ruang bagi calon perseorangan untuk bertarung. Ini diatur sekaligus untuk mengakomodir semangat dan keinginan masyarakat untuk mengakomodor figur-figur yang membangun negeri namun tak mendapatkan tempat di partai politik yang sesungguhnya merupakan merupakan pencetak calon-calon pemimpin.
Semangat dan hasrat publik yang menggelora sejak keran reformasi dibuka ini, kini justru dikesankan berbeda oleh segelintir elit. Sebab pergerakan masyarakat yang demikian kuat dalam mengusung calon independen, malah dianggap sebagai upaya pelemahan partai politik atau deparpolisasi. Lalu, benarkan fenomena kemunculan calon independen ini akan mematikan peran partai politik dalam sistem kepartaian negara kita?
Jika mengacu pada aturan yang justru menjadi produk wakil-wakil partai di DPR, maka sungguh naif ketika saat ini ada upaya untuk mendiskreditkan calon ndependen. Apalagi jika fenomena calon independen dituding sebagai upaya melemahkan peran partai politik dalam kehidupan demokrasi Indonesia.
Lontaran para elit partai terkait upaya melemahkan partai politik ini, tanpa disadari telah mengecilkan peran partai politik sendiri sebagai wadah atau pilar filterisasi para pemimpin-pemimpin idealis yang lahir dan dibesarkan oleh rumah partai politik yang di dalamnya terdapat ide, gagasan dan semangat perjuangan membangun negara untuk mewujudkan keadilan sosial serta kesejahteraan yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945
Lontaran itu juga mengecilkan peran partai politik sendiri, karena secara de jure tiap warga negara dibolehkan bertarung dalam hajatan demokrasi di Indonesia melalui jalur independen. Sementara secara de facto, keinginan masyarakat tak terbendung untuk memunculkan dan mengusung calon perseorangan.
Pertanyaan kritisnya adalah, apakah partai-partai politik telah melaksanakan fungsi dan perannya sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang? Bukankah delegitimasi tidak lain sebagai bukti kuat tidak berfungsi dan tidak berperannya partai politik sebagaimana mestinya?
Tingkah dan tindak kader-kader partai politik yang kerap mengabaikan aspirasi rakyat, juga keterlibatan kader partai politik dalam sejumlah kejahatan, seperti korupsi, kekerasan, dan lainnya, telah menggerus simpati dan kepercayaan publik. Maka, tuduhan deparpolisasi setepatnya diarahkan kepada partai politik itu sendiri.
Selain itu, delegitimiasi yang berkaitan dengan pencalonan di Pilkada, juga merupakan bukti kegagalan partai politik melakukan fungsi rekruitmen sehingga tidak menciptakan kader pemimpin yang kredibel, berintegritas, dan berkompeten untuk mengisi jabatan-jabatan publik. Sebaliknya, kader-kader yang oleh masyarakat dinilai memiliki kualifikasi memadai, justru diabaikan oleh partai politik.
Dari sini, akhirnya lahir jalur independen guna membuka jalan bagi 'kader-kader pilihan masyarakat' agar bisa menduduki jabatan-jabatan publik. Fenomena ini sangat kental dengan dinamika Pilkada DKI Jakarta 2017, di mana sosok Basuki T Purnama alias Ahok begitu diidolakan oleh masyarakat, namun dipandang sebelah mata oleh sebagian partai politik.
Fenomena kekuatan Kawan Ahok, Teman Ahok, Saudara Ahok dan Muda Mudi Ahok, menjadi bukti bahwa kekuatan rakyat sudah tak bisa lagi dibendung. Dan menjadi potret yang menarik, ketika ada partai politik seperti Partai NasDem dan Partai Golkar yang dengan sikap ksatria membuka pintu bagi Ahok yang sudah mendapatkan kekuatan rakyat dan mantap dengan keputusannya tampil melalui jalur independen.
Namun kekuatan rakyat yang disambut kedua partai politik ini, oleh partai politik lain malah dianggap mencederai proses demokrasi di Indonesia sekaligus mencederai partai politik. Padahal jika ingin jujur, ini adalah pukulan telak bagi partai politik karena tidak dapat mendidik dan membentuk karakter kader-kadernya.
Dari berbagai catatan ini, maka jelas bahwa kemunculan calon independen sesungguhnya terlalu berlebihan jika dianggap sebagai upaya deparpolisasi. Ingat bahwa, fenomena Ahok berangkat dari keinginan rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang mereka idam-idamkan. Apakah fenomena ini akan merasuk ke daerah lainnya di Indonesia? Kita tunggu saja.san
Komentar