PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Dilarang Transhipment, Ratusan Kapal ATLI Ditambatkan di Benoa

Rabu, 05 Oktober 2016

00:00 WITA

Denpasar

4643 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

suaradewata

Denpasar, suaradewata.com – Sebanyak 401 milik Asosiasi Tuna Longline Indonesia (Atli) Bali akhirnya ditambatkan di Pelabuhan Benoa Bali. Penambatan ratusan kapal itu dilakukan secara bertahap sampai dengan 30 November 2016.

Sekjen Atli Bali Dwi Agus Siswa Putra menjelaskan, saat ini sudah ada lebih dari 100 kapal yang ditambatkan dan yang lainnya sedang dipanggil dari tengah laut.

"Proses penambatan sudah terjadi sejak tanggal 30 September kemarin. Dan akan dilakukan secara bertahap sempai tanggal 30 November 2016 nanti. Ingat, saya tidak pernah menyuruh ribuan ABK di Benoa untuk berdemo. Tetapi cukup ratusan kapal itu sandar, mereka mau parkir dimana, ribuan ABK mau makan pake apa. Dan kami sudah dalam posisi pasrah. Silahkan saja pemerintah melalui KKP maunya seperti apa. Bila dalam sebulan ini tidak pernah ada solusi maka kami angkat tangan dan tutup buku," ujarnya dengan kesal, saat dikonfirmasi, Rabu (5/10).

Sementara itu, Ketua Atli Bali Kasdi Taman menjelaskan, kapal yang ditambatkan dan sudah tidak bisa beroperasi lagi. Ratusan kapal milik anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia (Atli) itu dikandangkan atau diikat di dermaga barat Pelabuhan Benoa. Langkah tersebut sebagai bentuk protes dari para anggota penyumbang eksport tuna terbesar bagi Indonesia tersebut, terhadap pelarangan proses pemindahan muatan dari satu kapal ke kapal lainnya di tengah laut (transhipment) oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP).

"Kami hanya minta satu saja. Cabut Permen KKP Nomor 57, karena aturan itu sangat merugikan kami dan membuat anggota Atli terancam bangkrut dan tidak bisa beroperasi," ujarnya.

Aksi ikat kapal telah dilakukan sejak 30 September 2016 sampai dengan keluarnya kebijakan penghapusan pelarangan transhipment oleh Menteri KKP, Susi Pudjiastuti. Beberapa poin yang menjadi tuntutan Atli adalah pencabutan Peraturan Menteri KKP nomor 57 tahun 2014, Revisi Permen KKP nomor 30 tahun 2011 dan memperbolehkan kembali proses transhipment.

"Himbauan kepada pemerintah terutama KKP, cepatlah itu cabut Permen 57, revisi Permen 30 tahun 2011, pasanglah untuk memperbolehkan kapal pengangkut kembali beroperasi. Kita ini pengusaha perikanan, dibantu sama nelayan, ABK, bukan maling, mau bekerja enak, dengan aturan yang ada. Jadi apapun aturan pemerintah, kita menganggap itulah cara pemerintah untuk menyejahterakan masyarakatnya. Jadi kita ini bukan, bukan dianggap maling, tetap masyarakat Indonesia yang ingin mencari hidup," tegasnya.

Ditanya dampak pelarangan transhipment, Dwi Agus Siswa Putra mengatakan, pelarangan transhipment berpotensi menimbulkan pengangguran massal di Indonesia, karena ribuan orang terancam kehilangan mata pencaharian. Ia membeberkan, khusus di Pelabuhan Benoa saat ini ada 401 kapal ikan dengan rata-rata 17 Anak Buah Kapal (ABK), 11 Unit Pengolahan Ikan (UPI) dengan tenaga kerja 60 sampai 300 orang persatu UPI, tenaga administrasi, tenaga bongkar muat dan penggiat di sektor terkait lainnya. Ia memastikan, jika pelarangan transhipment tidak dicabut, maka ribuan tenaga kerja yang terlibat di sektor perikanan tuna akan kehilangan pekerjaannya. Tidak hanya tenaga kerja, pelarangan transhipment juga berakibat pada penurunan eksport tuna Indonesia.

Dampak itu terlihat dari data produksi Bulan Juli 2016 yang hanya 379,83 ton, sedangkan Bulan Juni 2016 mampu menembus angka 1.204,25 ton, untuk jenis Blue Fin Tuna, Big Eye Tuna, Yellow Fin Tuna dan Albacore Tuna.

Pria yang disapai Pak Black itu mengatakan, pihaknya tidak bertanggungawab akan apa yang terjadi di Pelabuhan Benoa sebagai salah satu fasilitas publik di Indonesia. "Kami tetap akan menyuruh pulang ratusan kapal yang kini masih berada di tengah laut. Kami sudah tahu itu, dampak sosialnya. Minimal ada 15 ribu orang yang kehilangan pekerjaan di Benoa. Belum lagi ratusan kapal yang akan datang. Mau parkir dimana, terserah saja. Pejabat KKP semuanya doktor, tetapi tidak menyelesaikan masalah," ujarnya.

Kapal tangkapan tuna harus beroperasi di laut lepas. Mereka harus 3 bulan. Longline hanya bisa bermain di laut lepas, kerugian cukup banyak. Biaya untuk pemantauan pengawasan harus pake CCTV, harus 2 CCTV, harus online, biaya perdetik 10 euro. "Bagaiamana mungkin hal itu terjadi. Lebih baik kami tutup saja kapal-kapal di Benoa," ujarnya. Padahal Indonesia adalah ekspor tuna terbesar nomor dua di dunia. Dari total ekspor itu, 87 persen berasal dari Bali. "Kami mau lihat, setelah kita tidak melaut, apakah Indonesia masih menyumbang ekspor nomor dua di dunia," ujarnya. Kalau KKP tetap menerapkan peraturan yang sama, maka Atli akan berhenti total kegiatan di Benoa ini. ids/ari


Komentar

Berita Terbaru

\