PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Ketika Indonesia Kembali Ke Pemilukada Langsung

Senin, 02 Maret 2015

00:00 WITA

Nasional

3546 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Opini, suaradewata.com- Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut Pemilukada adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pemilukada meliputi :

1        Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur;

2        Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati;

3        Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota.

Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilukada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.

Kemudian di tahun 2014, DPR mengajukan Pemilukada dipilih oleh DPRD. Sehingga mengadakan Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD. Komisi II DPR RI dan Pemerintah menyepakati pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak dilakukan dalam beberapa gelombang mulai Desember 2015.

Dari dipilih oleh rakyat maka kembali lagi dipilih oleh DPRD,tentunya mengakibatkan pro dan kontra bagi rakyat Indonesia. Pro dan kontra masih tetap berlanjut, pemerintah sendiri yakin jadwal pemilukada serentak nasional sewaktu-waktu bisa berubah sesuai dengan keputusan DPR serta kabinet baru yang terpilih pada pemilu legislatif 2019.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) rencananya akan menggelar sebanyak 247 Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak pada desember 2015. Pemerintah dan DPR RI juga menyepakati calon kepala daerah dipilih berpasangan dengan wakilnya. Penambahan revisi juga dilakukan pada poin pihak yang akan menyelesaikan sengketa Pilkada dan penguatan wewenang KPU dan Bawaslu.

Sudah seharusnya pemilihan kepala daerah melalui DPRD memilih calon berdasarkan kompetensinya dalam birokrasi pemerintahan di daerahnya sehingga jabatan kepala daerah tidak melulu hasil karir politik melainkan bisa melalui jalur karir profesi.

Sebagai masyarakat sudah seharusnya sikap kita adalah mewujudkan kedamaian dan menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara aman dan nyaman. Menurut Prof. Jimly Ashidiqi bahwa proses pemilihan kepala daerah baik langsung maupun tidak langsung adalah sama – sama merupakan proses demokrasi. “Bangsa kita memang terlalu beranekaragam sehingga kita perlu merumuskan demokrasi yang sesuai dengan karakter bangsa. Di Amerika struktur masyarakatnya sudah terbentuk secara alami menjadi dua kelompok besar, kalangan produsen dan pemerintah di Partai Republik sedangkan buruh dan petani di Partai Demokrat. Hanya ada dua partai dan sudah dua setengah abad mereka berdemokrasi tanpa ada keributan berkepanjangan”.

Prof. BJ. Habibie menggarisbawahi pemilihan langsung dengan masih banyaknya PR besar agar demokrasi berjalan dengan baik, tidak ada money politic, pencitraan palsu dan membohongi masyarakat. Bagi Habibie Negara yang nyaman dan sejahtera adalah setiap masyarakat dapat hidup layak dan tidur dengan tenang.

Begitu selesai pemilihan Presiden yang dimenangkan Jokowi-JK, konstelasi kekuatan politik di DPR mengalami perubahan. Boleh jadi ini merupakan ekses dari hasil pemilu presiden dimana enam fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah-Putih (KMP) yakni, Golkar, Demokrat, PAN, PPP, PKS dan Gerindra berbalik arah meminta pemilukada digelar secara tidak langsung – lewat DPRD. Tiga fraksi lainnya, PDIP, PKB dan Hanura menginginkan pemilukada tetap dilakukan secara langsung.

Banyak pihak menuding bahwa KMP yang dulunya mendukung pemilukada secara langsung dan kini bertahan ingin mengembalikan ke DPRD punya agenda tersembunyi, yakni untuk memenangkan semua pemilukada di provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini memungkin karena di hampir semua provinsi dan kabupaten/kota KMP menguasa kursi DPRD. Artinya sudah pasti kadidat yang didukung oleh KMP akan terpilih sebagai kepala daerah bila pemilihan dilakukan di DPRD.

Sekalipun memang partai politik yang tergabung dalam KMP menangkis tudingan tersebut dengan mengatakan bahwa keinginan untuk memidahkan ruang pemilukada dari ruang terbuka ke ruang tertutup lebih termotivasi untuk kualitas pemilukada dan demokrasi itu sendiri. Di samping itu menurut mereka bahwa keinginan pengembalian mekanisme pemilukada kembali ke DPRD menurut karena sistem pemilukada melalui DPRD paling sesuai untuk Indonesia yang menganut sistem demokrasi perwakilan sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.

Adapun alasan lain yang memunculkan partai politik yang tergambung dalam KMP untuk mengubah pemilukada langsung menjadi tidak langsung antara lain untuk efisiensi anggaran, mencegah terjadinya konflik sosial, menghentikan praktek politik uang, penguatan fungsi partai politik, banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi dan menghindari ekses negatif lainnya. Jadi bukan alasan karena kalah dalam pemilihan umum presiden atau ingin memenangkan semua pemilukada yang akan digelar di provinsi dan kabupaten/kota.

Sedangkan bagi kelompok yang pro pemilukada langsung berargumen bahwa pemilukada yang dilakukan di DPRD justru akan menyuburkan praktek politik uang dan kepala daerah terpilih akan tersandera oleh DPRD. Disamping itu hak-hak politik rakyat terberengus oleh segelintir elit politik, dimana daulat rakyat menjadi daulat elit. Padahal logika demokrasi esensinya adalah kedaulatan ada di tangan rakyat. Pemilukada yang digelar di DPRD juga dianggap sangat absurd, tidak rasional dan sebagai bentuk kemunduran berdemokrasi bangsa ini.

Ketidak setujuan terhadap pemilukada tidak langsung juga dilandasi oleh alasan yang menyebutkan bahwa sistem pemerintahan kita yang bersifat presidensial. Maka mau tidak mau mengharuskan pimpinan di level eksekutif seperti gubernur dan bupati/walikota juga harus berdasarkan pilihan rakyat secara langsung sebagaimana halnya pemilahan presiden yang dilakukan secara langsung dan bukan dipilih lewat perwakilan rakyat.

Terlepas dari sikap pro kontra yang diperlihatkan oleh fraksi DPR dan sikap banyak pihak terkait dengan pemilukada yang setuju atau tidak setuju dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Kesimpulannya tetaplah kedua model pemilukada tersebut memiliki nilai plus minus. Sekalipun sebenarnya menurut hemat penulis yang paling pas adalah pemilukada yang digelar secara langsung karena esensi demokrasi sesuangguhnya adalah kedaulatan ada di tangan rakyat bukan yang diperwakilkan atas nama rakyat.

Tinggal yang harus dilakukan adalah bagaimana menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang ada dalam pemilukada langsung. Ketika pemilukada langsung yang sudah berlangsung sejak tahun 2005 dianggap banyak menuai masalah pra dan pasca perhelatan. Maka tidak serta merta langsung diubah menjadi pemililihan yang digelar secara tertutup di DPRD. Artinya regulasinya yang harus diperbaiki bukan dengan mengubahnya menjadi pemilukada tidak langsung.

Selama ini yang menjadi masalah dengan pemilukada langsung antara lain adalah tingginya cost yang harus dikeluarkan setiap pasangan calon terutama karena harus melakukan kampaye terbuka. Maka dalam hal ini bisa diubah menjadi kampaye tertutup dan bersifat dialogis. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengelar pemilukda secara serentak ini juga akan dapat mengurangi anggaran yang membebani APBD.

Yang lebih penting untuk kasus politik uang, maka sudah seharusnya MK bisa membatalkan kemenangan pasangan calon yang terbukti melakukannya. Tapi karena selama ini lebih pada pembuktian yang harus bersifat masiv, terstruktur dan sistematis maka sangat mustahil untuk melakukan pembatalan kemenangan pasangan calon terpilih. Kalaupun ada yang dibatalkan sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Kotawaringtin Timur. Tapi dalam banyak kasus persengketaan pemilukda, umumnya MK hanya memerintahkan pemilukada ulang di semua daerah saja. Jadi perlu terobosan hukum dalamm hal pembuktian dan pembatalan calon kepala daerah yang melakukan politik uang.

Demikian juga keterlibatan kepala daerah terpilih dalam melakukan mobilisasi PNS semestinya bisa berbuntut pembatalan kemenangan pasangan calon. Sementara untuk yang sifatnya ketidak netralan penyelenggara pemilukada, baik KPUD dan Panwas. Maka seharusnya diberikan sanksi hukum yang berat berupa pemecatan dan sanksi pidana. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya preventif dan efek jera untuk para penyelenggara agar bisa bersikap netral dan tidak memihak pada salah satu pasangan calon.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya resmi menerbitkan dan menandatangani dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Adapun dua Perppu yang dimaksud adalah Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Perppu itu sekaligus mencabut Undang-undang Nomor 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Lalu Perpu kedua yakni terkait Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang isinya menghapus kewenangan DPRD untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah. Indonesia kembali kepada Pemilukada langsung.

Lukman Harus Satrio, Penulis adalah Pemerhati Pemilu, Tinggal di Jakarta

 


Komentar

Berita Terbaru

\