Korupsi Alkes dan Malpraktek
Rabu, 07 Mei 2014
00:00 WITA
Nasional
4436 Pengunjung

Korupsi Alat Kesehatan adalah Extra Ordinary Crime
Aksi solidaritas atas kriminalisasi dokter Ayu akhir tahun lalu berbuntut manis. Tanggal 7 Februari 2014 lalu, Mahkamah Agung akhirnya memutus bebas dr. Ayu cs yang sebelumnya divonis 10 bulan penjara atas tuduhan malpraktek. Meski bebas, ancaman kasus malpraktek masih tetap terbuka bahkan semakin lebar dikemudian hari. Pasalnya, akar permasalahan yang selama ini diwacanakan masih parsial, tidak menyentuh penyebab malpraktek secara menyeluruh. Selama ini, kompetensi dan profesionalitas dokter dianggap satu-satunya penyebab utama malpraktek. Padahal, korupsi alat kedokteran luput dari wacana publik sebagai penyebab potensi malpraktek. Opini ini memberikan gambaran keterhubungan antara korupsi alat kesehatan dengan potensi malpraktek di tanah air.
Akhir tahun lalu, dunia kedokteran tanah air dihebohkan oleh 2 kasus nasional; aksi solidaritas atas kriminalisasi dr Ayu – terpidana mal-praktek di Manado, dan penahanan gubernur Banten, Ratu Atut, dalam kasus dugaan Korupsi alat kesehatan (alkes) di Tangerang Selatan. Dalam pandangan umum, kedua kasus tersebut - korupsi alat kesehatan dan mal-praktek –tidak memiliki hubungan sama sekali. Tulisan ini memaparkan keterhubungan korupsi alat kesehatan dengan potensi mal-praktek secara umum, dan oleh karenanya pantas disebut sebagai kejahatan kemanusiaan.
Dalam Seminar "Kesiapan Perumahsakitan Menghadapi Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional 2014, di JCC, Jakarta (9/11), wakil gubernur DKI Jakarta, Purnomo Tjahjana Adi (Ahok) menengarai bahwa pengadaan alat kesehatan merupakan bidang terkorup. Pernyataan ini cukup mengejutkanmengingat minimnya pemberitaan korupsi dan opini dari para pakar pada bidang kedokteran ini. Hiruk pikuk opini dan korupsi yang diwacanakan oleh media selama ini sebagian besar kasus yang menyangkut korupsi kekuasaan seperti kasus Hambalang, Century dengan kerugian negara yang eskalatif. Mengemukanya kasus korupsi alkes di Tangerang Selatan yang melibatkan dinasti Ratu Atutlebih dikarenakan keterkaitannya dalam kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, M. Aqil Mochtar dalam sengketa Pilkada Lebak Banten.
Pemberitaan korupsi alat kesehatan yang minim tidak terlepas dari terbatasnya pengetahuan publik tentang bidang ini. Tidak seperti pengadaan barang lainnya yang bersentuhan langsung dengan public domain, alat kesehatan mempunyai ‘komunitas ekslusif’ yang hanya diketahui oleh orang-orang yang berkecimpung didalamnya.Pengetahuan publik bahkan semakin menyempit ketika ‘masuk’ ke ranah produk; harga dan spesifikasi. Tidak adanya acuan dalam penentuan harga minimum sebuah produk menjadi kendala terbesar. Jamak ditemui alat kesehatan dengan fungsi dan teknologi yang sama mempunyai pautan harga hingga puluhan kali lipat. Untuk mengetahui spesifikasi barang bahkan jauh lebih sulit dan memerlukan kompetensi khusus. Hal teknis inilah ditengarai ikut berperan dalam sulitnya akses publik terhadap pengadaan alkes yang koruptif.
Dari sedikit datang yang ada, mari kita amati kembali catatan korupsi bidang ini pada masa lampau. Pasca desentralisasi, tercatat setidaknya ada lima kasus korupsi di bidang ini. Di tahun 2006, tercatat kasus korupsi pengadaaan alat penanggulangan wabah flue burung dengan terdakwa Soetedjo Yuwono, Sekretaris Menko Kesra yang saat itu dijabat oleh Aburiza Bakrie dengan kerugian negara mencapai 36.2 Milyar rupiah. Tahun berikutnya, korupsi alkes melibatkan terpidana Ratna Dewi Umar pada kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) flu burung dengan kerugian negara 50.477 milliar rupiah. Dalam kasus ini pula, dua mantan mantan menteri Kesehatan; Siti Fadillah Supari dan Endang Rahayu Setyaningsih, diduga terseret. Masih di tahun 2007, korupsi alkes lainnya melibatkan mantan Kepala Pusat Penanggulan Krisis Kemenkes, Rustam Syarifuddin Pakaya dengan kerugian negara 2,47 milyar. Kasus alat bantu Belajar Rumah Sakit di tahun 2009 tercatat sebagai kejadian dengan jumlah kerugian terbesar (163milyar). Di tahun 2010, dugaan korupsi alat kesehatan tak bertuan ‘merambah’ ke Bangli. Dan, yang teranyar adalah pengadaan alkes senilai 23 milyar di Tangerang Selatan (2012) yang melibatkan adik kandung Ratu Atut, Tubagus Chaeri Wardana.
Dilihat dari kerugian negara yang ‘hanya’ pada kisaran milyaran, korupsi bidang alat kesehatan ini masih tergolong ‘kelas bulu’ jika dibandingkan kedua contoh korupsi lainnya diatas; Century dan Wisma Atlet. Bahkan, secara prosentase angka ini terlihat‘kerdil’ jika dibandingkan dengan total pembelanjaan alkes dalam negeri yang mencapai angka puluhan triliun setiap tahunnya. Jika sumbangan alkes dari lembaga donor yang mencapai 80% dari total peredaran alkes (WHO, 2009) diperhitungkan, pembelanjaan bidang ini mendekati angka 100 triliun (Maruli, 2012).
Lantas, mengapa Ahok menyebut bidang ini adalah yang paling korup?Ahok yang kenyang dengan pengalaman di pemeritahan tentu melihat ‘lubang hitam’ sistemik, dibalik ketertutupan domain dan spesifikasi kompetensi seperti yang disebutkan diatas, yang menyangkut implementasi regulasi, standarisasi dan kompetensi.
Regulasi
Peraturan Menteri Kesehatan No 1189 dan 1190 tahun 2010 masing-masing mengatur tentang Sertifikat Produksi dan ijin Edar Alat Kesehatan,menyatakan bahwa standarisasi dan distribusi alat kesehatan harus seijin Menteri. Meski terkesan sentralistik, motivasi kontekstual regulasi ini untuk menghindari administrasi ‘banyak pintu’ dan standar ganda atas kelayakan mutu dan distribusi sebuah produk kesehatan. Dengan demikian, jaminan kualitas dan keamanan sebuah produk sebelum didistribusikan ke publik bisa terpenuhi.Demikian pula ketentuan menkes sebelumnya yang salah satunya mengatur tentang ‘usia’ minimal distributor alkes peserta tender, dimaksudkan untuk jaminan ketersediaan suku cadang dan garansi atas produk yang dipasarkan. Pada tataran aplikasi, terjadi banyak banyak penyimpangan atas regulasi ini.
Standarisasi
Meski telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan celah ‘permainan standarisasi’ ini masih terjadi. Sebagai contoh kasus pengadaan sterilisasi rumah sakit yang ditentukan melalui tender oleh Kemenkes 2010, dianulir oleh departemen yang sama pada tahun berikutnya, karena ketidaklayakan kualitas. Alibi keterjaminan kesehatan masyarakat menjadi dalih atas ‘standar ganda’ yang mereka terapkan. Namun demikian, kasus ini memberi sinyal negatif ke publik, bahwa peluang standarisasi transaksional di tingkat penentu kebijakan bisa saja terjadi. Pengabaian regulasi ini juga terjadi pada kasus Tangerang Selatan. Perusahaan milik adik Ratu Atut sebagai pemenang tender bahkan tidak mempunyai rekam jejak pada bidang alkes.
Kompetensi
Meski tanggung jawab penentuan distribusi dan ijin edar alkes ada pada menteri Kesehatan, secara teknis, pelimpahan penentuan standar kualitas produk dilakukan oleh Direktoral Jenderal Bina Kefarrmasian dan Alat Kesehatan. Jika dilihat dari struktur organisasi dan kompetensi para pejabat pada bidang ini, tidak ada seorangpun dari mereka mempunyai kualifikasi akademis di bidang teknologi biomedis – yang mempelajari alat kesehatan secara menyeluruh. Bisa saja para pejabat ini sudah memiliki pengalaman dibidangpemeriksaan alat kesehatan, namun apakah itu cukup dan masuk akal? Jika kondisinya dibalik, apakah seorang insinyur diperbolehkan mendiagnosa penyakit dan meresepkan obat hanya karena insinyur tersebut tahu tentang penyakit dan pisiologi tubuh?
Inkompetensi regulator semakin diperparah dengan dengan ketiadaan lembaga kontrol non-pemerintah di bidang ini.Jikapun ada tenaga elektromedis, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No 371/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Teknisi Elektromedis – salah tua bagian dari teknologi biomedika,adalah ‘bentukan’ departemen kesehatan dengan tugas utama pemeliharaan alat. Secara hierarki dan kompetensi, profesi ini tidak didesain sebagai lembaga kontrol melainkan teknis pemeliharaan.Secara teknis, para tenaga elektromedis sulit melakukan fungsi diluar togas pokoknya. Dengan tidak berimbangnya rasio jumlah tenaga dengan alat yang harus ditangani, penyelesaian semua tugas pokok merupakan hal yang paling realistis dan di banyak rumah sakit target tersebut tidak terpenuhi. Tidak mengherankan jika jumlah alat yang rusak dan tidak layak pakai di rumah sakit umum lebih banyak daripada jumlah alat yang berfungsi optimal.
Ketiga celah korupsi diatas berimplikasi pada hal yang satu, tidak terjaminnya kualitas alat kesehatan dan kecenderungan terabaikannya keselamatan pasien. Meski belum ada laporan yang sahid, secara intuitif kesalahan diagnosis akibat penggunan alat kesehatan yang tidak layak pakai – baik disebabkan oleh kualitas produk maupun sisi perawatan – dalam hal ini kalibrasi – mengakibatkan konsekuensi serius seperti mal-praktek. Namun sayangnya, adanya potensi ini jarang diperhatikan bukan hanya oleh publik, melainkan oleh tenaga paramedis itu sendiri.
Jika korupsi bidang lain ‘hanya’ mengakibatkan kerugian keuangan negara, konsekuensi korupsi alat kesehatan ini berpotensi mengancam keselamatan ribuan bahkan jutaan pasien, dan oleh sebab itu layak disebut ‘extra ordinary crime”.
Sadwika Salain
International Reviewer for Medical Devices
Dosen Kopertis Wil VIII dpk Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Warmadewa,
Kandidat Doktor bidang Biomedical Engineering di The University of Western Australia
Komentar