PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Jalan Anyelir I, Nomor 4A, Desa Dauh Peken, Kec. Tabanan, Kab. Tabanan, Bali

Call:0361-8311174

info@suaradewata.com

Tidak Dianggap

Jumat, 30 Oktober 2015

00:00 WITA

Nasional

2996 Pengunjung

PT Suara Dewata Media - Suara dari Pulau Dewata

Opini, suaradewata.com – Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan lebih kurang terjadi tiga bulan, merupakan kabut asap terlama yang mendera masyarakat di tiga pulau di Republik Indonesia ini.

Meski sempat menipis beberapa kali, persisnya saat Presiden Joko Widodo meninjau lokasi karhutla di Sumatera Selatan, dan Provinsi Riau, kali ini kabut asap kembali menebal.  Kualitas udara pun menurun hingga level berbahaya.

Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah untuk mengatasi kabut asap yang sudah menjadi sorotan masyarakat Indonesia hingga internasional. Bahkan pihak asing, seperti Malaysia, Singapura, dan Australia sudah memberikan bantuan, namun kabut asap tetap menjadi ‘makanan’ sehari-hari di beberapa wilayah di negara ini.

Data sementara dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), total hutan dan lahan terbakar mencapai 1,7 juta hektar. Dari 1,7 juta areal terbakar itu, di Kalimantan 770 ribu ha, 35,9% di antaranya lahan gambut.

Sedangkan di Sumatera, areal terbakar seluas 593 ribu ha, 45,9 persen di antaranya lahan gambut dan 221.704 ha areal terbakar berada di Sumatera Selatan. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Sabtu (10/10/2015) mengatakan,  angka dipastikan akan terus bertambah, menyusul masih terjadinya karhutla di Sumatera dan Kalimantan.

Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Najib Razak menyurati Presiden Indonesia Joko Widodo terkait hal tersebut pada tanggal 7 Oktober 2015 lalu.

Kedubes RI di Malaysia,Hermono mengaku sudah memberikan Surat tersebut kepada Presiden Jokowi. “Suratnya tanggal 7 kemarin, dan sudah kita teruskan ke Jakarta,” kata Hermono dalam perbincangan bersama tvOne, Jumat 9 Oktober 2015.

Hermono menyebutkan, ada tiga pokok dalam surat tersebut, pertama, Pemerintah Malaysia prihatin atas bencana asap di Indonesia, yang juga memengaruhi masyarakat Malaysia, pendidikan anak terhambat dan kesehatan, kedua, meminta Pemerintah Indonesia agar secepatnya menanggulangi kabut asap, dan ketiga, Pemerintah Malaysia menyatakan kesediaannya memberikan bantuan kepada Indonesia untuk menanggulangi kabut asap secepat mungkin.

Menurut Hermono, tawaran bantuan Pemerintah Malaysia itu direspons baik Pemerintah Indonesia.

Perihal ini, Presiden Jokowi sebelumnya menginstruksikan kementerian/lembaga, TNI/Polri, dan semua pihak terkait untuk meningkatkan upaya penanganan bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera serta Kalimantan.

"Saya terus mengikuti perkembangan kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan serta terus melakukan komunikasi dengan menteri dan pejabat terkait," kata Jokowi seperti dikutip dari Tim Komunikasi Presiden, Senin (14/9/2015), di sela-sela kenegaraan ke Timur Tengah, seperti dirilis dari kompas.com.

Jokowi menegaskan, dirinya menginginkan semua kapasitas dikerahkan lebih cepat, lebih terkoordinasi dalam penanganan bencana asap tersebut. Instruksi itu secara khusus ia tujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan kepala daerah terkait.

Selain itu, kata Jokowi, dirinya juga telah meminta kepada penegak hukum untuk menindak tegas pihak yang melakukan atau bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan serta lahan. Tindakan tegas itu sampai pada pencabutan izin pengelolaan hutan yang diberikan pemerintah.

Namun, instruksi tersebut hanyalah pepesan kosong belaka. Toh nyatanya kabut asap semakin menggila, dan korban berjatuhan, baik yang mengidap berbagai penyakit hingga meninggal dunia.

Penulis memiliki berbagai pemikiran terkait kabut asap ini. Pertama, perintah Presiden Jokowi tidak lagi manjur, dan terbukti dengan masih adanya aktivitas pembakaran hutan dan lahan dengan adanya titik api (hot spot) di wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.

Kedua, kurang seriusnya pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan. Atau mungkin pemerintah belum memiliki manajemen penanggulangan bencana, seperti kabut asap yang setiap tahun terjadi.

Anggota DPD RI, Intsiawati Ayus mengaku geram dengan terus berulangnya bencana asap di Indonesia. Kegeraman Ayus terhadap bencana asap karena peristiwa tahunan itu akibat ulah manusia.

"Bicara keluhan asap, saya sudah muak. Bencana asap ini adalah kejahatan manusia. 90 persennya asap terjadi karena kejahatan manusia," kata Ayus dalam diskusi bertajuk 'Masihkah Ada Asa Melawan Asap?' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (10/10/2015), seperti dirilis dari tribunnews.com.         Ayus menuturkan, asap timbul karena akibat kebakaran hutan yang umumnya disebabkan oleh manusia. Menurutnya, ada modus yang sengaja dilakukan oknum tidak bertanggung jawab untuk membakar hutan.

"Modusnya macam-macam, ada yang mengincar mendapatkan klaim asuransi, ada yang ingin buka lahan baru. Ada juga yang inginkan harga lahan menjadi mahal karena lahan yang sudah bersih dibakar," ujarnya.

Ayus pun mempertanyakan manajemen penyelesaikan persoalan asap yang dilakukan oleh pemerintah. Dirinya melihat belum ada langkah konkrit pemerintah untuk menyelesaikan masalah asap ini. "Buktinya permasalahan asap ini selalu berulang setiap tahunnya. Sudah 17 tahun problem asap terjadi," katanya.           

Jika persoalan ini terus dan terus berulang. Ada pemikiran penulis, bahwa pemerintah sudah tidak dianggap lagi oleh dunia usaha, khususnya perusahaan perkebunan dan perusahaan Hutan Tanam Industri (HTI). Kata lainnya, pemerintah bagaikan tak berdaya dihadapan pengusaha meski telah meresahkan masyarakat dengan ulah menciptakan kabut asap.

Apakah ini diciptakan oleh pengusaha hitam? Tentu perlu pembuktian yang lebih akurat, dan perlu dilakukan ivestigasi mendalam. Tapi yang jelas, dengan kejadian ini, hingga saat ini 1,4 juta warga terdampak kabut asap di tujuh provinsi di Tanah Air.

Sudah saatnya pemerintah mengerahkan seluruh stakeholder dalam menuntaskan kabut asap di Tanah Air ini. Ada baiknya Pemerintah Jokowi menggunakan saran Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono. "Masalah kebakaran hutan & asap cukup kompleks. Diperlukan kepemimpinan, kesatuan komando, alat peralatan dan pengerahan petugas," kata SBY.

"Pencegahan dan tanggung jawab daerah penting. Reaksi cepat pusat penting. Hukum mesti ditegakkan dgn tegas bagi yg lalai & membakar," tambah Ketua Umum Partai Demokrat itu.

Rasanya tidak cukup hanya Mendapat bantuan dana kompensasi jaminan hidup (Jadup) dari Kementerian Sosial (Kemensos) sebesar Rp300.000/bulan untuk menyelesaikan masalah masyarakat dari kabut asap ini. Apakah kami tidak dianggap lagi? ***

Amril Jambak,penulis adalahFounder Forum Diskusi Publik, Koordinator Forum Pemerhati Sosial Kemasyarakatan, dan Peneliti Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI) Jakarta


Komentar

Berita Terbaru

\