Pemerintah Perkuat Jaminan Sosial untuk Hadapi Risiko PHK
Selasa, 15 April 2025
14:10 WITA
Nasional
1101 Pengunjung

Jaminan Sosial Pekerja
Oleh: Briana Putri )*
Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam memperkuat perlindungan sosial bagi pekerja, khususnya di tengah meningkatnya risiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat dinamika ekonomi global dan regional. Melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025, negara mengambil langkah konkret untuk memperkuat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kesejahteraan pekerja.
Regulasi baru ini merupakan revisi atas PP Nomor 37 Tahun 2021 dan menghadirkan sejumlah penyempurnaan substansial. Tujuan utama dari perubahan ini adalah memastikan bahwa pekerja yang terdampak PHK tetap mendapatkan perlindungan finansial yang layak, serta akses terhadap layanan pasar kerja dan pelatihan untuk kembali masuk ke dunia kerja. Langkah ini tidak hanya menunjukkan keberpihakan terhadap pekerja, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial nasional di tengah tekanan ekonomi.
Salah satu pembaruan yang paling menonjol dari PP ini adalah penyesuaian tingkat iuran JKP. Sebelumnya, pekerja dan pemberi kerja diwajibkan menyetor iuran sebesar 0,46 persen dari total upah, kini diturunkan menjadi 0,36 persen. Penurunan ini dinilai dapat memberikan ruang fiskal tambahan bagi pelaku usaha sekaligus tetap menjamin keberlangsungan manfaat program.
Pemerintah juga memperpanjang batas waktu klaim manfaat JKP dari tiga bulan menjadi enam bulan. Hal ini memungkinkan pekerja yang terdampak PHK untuk memiliki jangka waktu lebih luas dalam mengakses bantuan, yang mencakup uang tunai, layanan penempatan kerja, dan pelatihan vokasi. Fleksibilitas baru ini memberikan peluang yang lebih besar bagi pekerja untuk beradaptasi dan mendapatkan pekerjaan baru yang sesuai dengan keahliannya.
Tidak hanya itu, PP Nomor 6 Tahun 2025 juga memberikan kepastian bahwa manfaat JKP tetap akan diberikan meskipun perusahaan tempat pekerja bernaung mengalami kebangkrutan atau menunggak iuran hingga enam bulan. Ketentuan ini penting karena memberikan perlindungan maksimal bagi pekerja tanpa membebani kondisi perusahaan yang tengah mengalami kesulitan finansial.
Dalam konteks implementasi, Kementerian Ketenagakerjaan bersama BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan diberi batas waktu 15 hari kerja untuk menyesuaikan sistem kepesertaan dan operasional sesuai regulasi yang baru. Ini menunjukkan adanya urgensi dan keseriusan pemerintah dalam memastikan kebijakan tidak berhenti pada tataran normatif, tetapi benar-benar bisa dirasakan dampaknya di lapangan.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, melihat bahwa langkah pemerintah memperkuat jaminan sosial ini sangat penting di tengah tren peningkatan PHK di sektor manufaktur. Meskipun terjadi pengurangan tenaga kerja di sejumlah industri, ia menilai program prioritas pemerintah tetap mampu menciptakan lapangan kerja dan menjaga stabilitas konsumsi. Penurunan daya beli akibat perlambatan pendapatan dan meningkatnya pekerja informal, menurutnya, dapat diatasi dengan penciptaan lapangan kerja formal yang lebih masif.
Josua menilai bahwa kebijakan perlindungan sosial ini juga akan berdampak pada kepercayaan masyarakat untuk tetap melakukan konsumsi, terutama di masa-masa penting seperti Ramadan dan Idulfitri. Pemerintah sebelumnya juga telah memberikan stimulus seperti diskon listrik untuk meredam beban pengeluaran masyarakat, dan kebijakan itu turut mendorong peningkatan belanja masyarakat yang pada akhirnya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, mendorong perusahaan agar mengupayakan efisiensi sebagai strategi utama dalam mencegah PHK massal. Langkah efisiensi yang dimaksud dapat dilakukan melalui pengurangan biaya operasional non-produktif, serta optimalisasi dialog bipartit untuk merancang penyesuaian kerja yang disepakati bersama. Upaya ini memberikan ruang bagi perusahaan dan pekerja untuk menghadapi tekanan ekonomi secara bersama, tanpa harus mengambil langkah ekstrem seperti PHK.
Indah juga menekankan pentingnya penyesuaian kerja seperti pengurangan jam kerja atau penundaan tunjangan dalam kondisi tertentu. Penyesuaian ini bukan hanya menjadi jalan tengah, tapi juga bukti bahwa pemerintah mendorong iklim hubungan industrial yang sehat dan kolaboratif.
Kepala Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan, Sunardi Sinaga, menyatakan bahwa pemerintah melalui Kemnaker juga memastikan bahwa seluruh hak pekerja yang terdampak PHK tetap dipenuhi. Selain itu, pemerintah aktif membuka akses pasar kerja baru melalui Bursa Kerja dan menyediakan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan. Langkah ini bukan hanya bersifat reaktif, tetapi juga proaktif dalam mempersiapkan tenaga kerja menghadapi tantangan masa depan.
Langkah pemerintah memperkuat JKP juga menjadi respons nyata terhadap berbagai peristiwa PHK besar-besaran pada awal 2025, seperti penutupan beberapa pabrik besar, termasuk Sritex di Sukoharjo dan sejumlah perusahaan di kawasan industri Cikarang dan Bekasi. Ribuan pekerja kehilangan pekerjaan akibat situasi ini, dan pemerintah segera turun tangan dengan pendekatan strategis, termasuk pemetaan peluang kerja alternatif di wilayah terdampak.
Kebijakan jaminan sosial yang diperkuat ini menjadi bagian integral dari visi besar pemerintah dalam membangun sistem ketenagakerjaan yang tangguh dan adil. Program JKP bukan hanya instrumen perlindungan saat terjadi PHK, tetapi juga sarana pemberdayaan untuk memulihkan produktivitas dan martabat pekerja. Dengan reformasi regulasi ini, pemerintah tidak hanya merespons krisis, tetapi juga menciptakan pondasi yang lebih kokoh untuk pasar tenaga kerja nasional.
Melalui kebijakan yang adaptif, komprehensif, dan responsif terhadap kondisi nyata di lapangan, pemerintah menunjukkan keberpihakan terhadap pekerja serta menjaga stabilitas sosial-ekonomi nasional. Penguatan jaminan sosial menjadi bukti bahwa negara hadir dan bertanggung jawab dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi yang dihadapi masyarakat pekerja.
)* Pengamat Kebijakan Publik
Komentar