Waspada Politisasi Indonesia Gelap Manfaatkan Isu Penolakan UU TNI dan RUU Polri
Selasa, 15 April 2025
06:12 WITA
Nasional
1183 Pengunjung

RUU TNI dan RUU Polri
Oleh: Dita Aida Putri )*
Polemik revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) serta wacana penyusunan ulang Undang-Undang Kepolisian (RUU Polri) kini menjadi sorotan dalam lanskap perdebatan kebangsaan. Dinamika ini memang bagian dari demokrasi, namun narasi yang berkembang menunjukkan kecenderungan mengarah pada provokasi yang membahayakan stabilitas nasional.
Penolakan yang dilandasi sentimen emosional tanpa pemahaman komprehensif terhadap substansi regulasi telah membuka ruang bagi pembentukan opini yang menyesatkan. Bahkan, sebagian kelompok tampak memanfaatkan momentum ini untuk menggiring persepsi publik agar melihat Indonesia dalam kacamata pesimistis, sebagaimana tergambar dalam wacana "Indonesia Gelap" yang akhir-akhir ini terus dikapitalisasi.
Pemerintah tidak menutup ruang partisipasi dalam pembahasan revisi UU TNI. Mekanisme pembentukan kebijakan telah dijalankan melalui proses konstitusional yang dapat diawasi dan diuji secara hukum. Meski demikian, sejumlah pihak tetap mencoba membingkai proses ini seolah bertentangan dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Padahal tudingan semacam ini tidak berdasar dan lebih merupakan upaya untuk menimbulkan keresahan. Politisasi terhadap agenda strategis ini bahkan berpotensi mengaburkan substansi yang sebenarnya: memperkuat daya tahan negara melalui pembaruan regulasi yang adaptif terhadap perkembangan zaman.
Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, telah menegaskan bahwa semangat di balik revisi UU TNI adalah penguatan profesionalisme militer yang tetap dalam koridor reformasi. Penyesuaian usia pensiun perwira tinggi misalnya, bukan dimaksudkan untuk memperpanjang kekuasaan personal, melainkan untuk menjamin kesinambungan kepemimpinan strategis di tubuh TNI. Kebijakan ini justru merupakan langkah preventif agar stabilitas komando tidak mudah terganggu oleh faktor administratif. Seluruh proses yang dijalankan tetap menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan tidak membuka ruang kembalinya peran militer dalam ranah sipil. Tuduhan tentang kebangkitan dwifungsi militer adalah kekeliruan yang tidak mencerminkan isi dari regulasi yang tengah dibahas.
Dari perspektif legislasi, Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir menyampaikan bahwa hingga saat ini, belum ada surat presiden (surpres) yang diajukan ke DPR terkait RUU Polri. Fakta ini menjadi penegasan bahwa wacana tentang pembahasan paksa revisi UU Kepolisian tidak memiliki dasar yang sah. Narasi yang berkembang lebih merupakan spekulasi yang belum tentu mengarah pada kenyataan, dan justru membuka ruang disinformasi yang kontraproduktif terhadap kerja-kerja kenegaraan. DPR berkomitmen untuk memastikan bahwa setiap proses legislasi yang dilakukan kelak akan bersifat terbuka, melibatkan publik, dan berjalan sesuai asas transparansi.
Lebih jauh, Kepala Staf Resimen Mahasiswa Indonesia, M. Arwani Deni, menekankan bahwa isu penolakan revisi UU TNI harus dilihat dalam kerangka geopolitik yang lebih luas. Ia melihat adanya kecenderungan kekuatan eksternal yang mencoba mempengaruhi dinamika politik nasional dengan tujuan melemahkan posisi Indonesia yang kini semakin mandiri dalam menentukan arah strategisnya. Pola seperti ini bukan hal baru dalam sejarah global, di mana upaya modernisasi militer di beberapa negara kerap ditentang oleh narasi domestik yang ternyata dikendalikan oleh kepentingan luar.
Langkah Indonesia untuk bergabung dalam BRICS menjadi indikator bahwa negara ini tengah menegaskan posisinya sebagai kekuatan baru dalam sistem dunia yang semakin multipolar. Implikasi dari langkah tersebut tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga memperluas spektrum kerja sama strategis dalam bidang pertahanan dan keamanan. Dalam konteks itu, revisi UU TNI dapat dipahami sebagai bagian dari konsolidasi nasional dalam menghadapi tekanan eksternal yang semakin kompleks. Peningkatan daya tahan militer menjadi keharusan, bukan ancaman bagi demokrasi.
Arwani menyoroti bahwa narasi penolakan terhadap revisi UU TNI di Indonesia memiliki kesamaan pola dengan beberapa negara lain, di mana modernisasi militer kerap dijegal oleh opini-opini yang disusupi kepentingan luar. Ketakutan terhadap tumbuhnya kemandirian militer nasional sering kali menjadi alasan tidak langsung yang dimanfaatkan oleh kekuatan eksternal untuk menekan negara-negara berkembang. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki kesadaran geopolitik yang tinggi agar tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang tidak objektif.
Posisi Indonesia yang berada di jalur strategis antara Samudra Hindia dan Pasifik menjadikan negara ini sebagai titik penting dalam rivalitas global. Dalam situasi seperti ini, langkah pemerintah untuk memperkuat lembaga pertahanan negara patut dipandang sebagai bentuk tanggung jawab nasional, bukan sebagai upaya dominasi. Reaksi negatif dari pihak-pihak tertentu bisa jadi merupakan refleksi dari kekhawatiran mereka terhadap meningkatnya kemandirian dan kekuatan Indonesia di kawasan.
Melihat seluruh perkembangan ini, upaya politisasi terhadap revisi UU TNI dan wacana RUU Polri bukan sekadar perbedaan pandangan, melainkan bagian dari skenario yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Pemerintah telah bertindak sesuai konstitusi dan tetap menjunjung prinsip keterbukaan. Namun, masyarakat perlu dilibatkan secara aktif untuk memahami konteks besar yang melatarbelakangi kebijakan ini. Dengan demikian, narasi provokatif tidak akan menemukan ruang, dan bangsa Indonesia tetap kokoh menghadapi tantangan global dengan kesatuan visi dan semangat kebangsaan yang utuh.
)* Pemerhati Kebijakan Publik
Komentar