Jejak Megalitikum dan Nuansa Sakral Pura Luhur Sekartaji
Minggu, 15 Oktober 2017
00:00 WITA
Tabanan
3365 Pengunjung
suaradewata.com
Tabanan, suaradewata.com - Pura Luhur Sekartaji, demikianlah nama khayangan atau pura yang berlokasi di desa pakraman yang namanya sama dengan pura tersebut. Yakni di Desa Pakraman Sekartaji, Desa Sesandan, Tabanan. Pura ini berdiri sekitar dua ratus meter di selatan pemukiman penduduk dengan dikelilingi hutan bambu dan tegalan.
Sejarah keberadaan pura tersebut, saat ini sedang disusun purana Pura Luhur Sekartaji oleh tim penyusun purana yang diketuai Drs. I Gusti Ngurah Tara Wiguna, M.Hum., yang merupakan seorang dosen pada Program Studi Arkeologi di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana.
Menurutnya, Pura Luhur Sekartaji ini telah berdiri antara abad I hingga abad VIII masehi. Hal ini berdasarkan adanya bukti-bukti peninggalan prasasti megalitik berupa tahta batu yang ada di bagian depan setiap pelinggihnya.
Tara Wiguna menjelaskan, beberapa abad setelah berdirinya pura tersebut atau pada sekitaran abad XVI masehi, Raja Tabanan yakni Cokorda Lepas Dimade mengambil seorang istri di Desa Sekartaji yang kemudian dikenal dengan nama Mekel Sekar. Dari perkawinan itu melahirkan putra bernama Cokorda Sekar. Setelah dewasa, Cokorda Sekar menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Raja Tabanan.
Setelah Raja Tabanan yakni Cokorda Lepas Dimade ini amor ring Acintya, putra dari hasil perkawinannya dengan Mekel Sekar yakni Cokorda Sekar yang menggantikannya kedudukan ayahandanya sebagai Raja Tabanan kemudian mendharmakan Bethara ayahandanya ini di Pura Luhur Sekartaji. Yakni didharmakan di Pelinggih Gedong sekaligus pula pelinggih utama di Pura Luhur Sekartaji.
Tara Wiguna menjelaskan, pada zaman pemerintahan Cokorda Sekar inilah dilakukan penataan Pura Luhur Sekartaji ini. Termasuk pula menambah pelinggih-pelinggih yang terwarisi hingga saat ini selain juga mewariskan laba pura seluas kurang lebih lima belas hektar. “Sementara untuk pengelolaan Pura Luhur Sekartaji ini diserahkan kepada Mekel Sekartaji bersama masyarakat Sekartaji,” jelasnya.
Terkait dengan fungsi pura ini, Tara Wiguna mengatakan bahwa Pura Luhur Sekartaji ini hampir sama dengan Pura Penaataran. Sehingga pura ini layak dikunjungi oleh seluruh lapisan umat, termasuk pula oleh para penekun spiritual. Terlebih lagi, keberadaan pelinggih yang berusia tua dan ornamen ukirannya yang unik dan kuno menjadikan nuansa pura ini selain menyejukkan secara bathin juga terkesan pingit.
Sementara Mangku Gede Pura Luhur Sekartaji, Mangku Wayan Sukadana menyebutkan bahwa pura ini berdiri pada lahan seluas kurang lebih dua puluh are yang terbagi atas tiga palebahan atau tiga zona, berupa jeroan atau utamaning mandala, jaba tengah dan nistaning mandala.
Keberadaan pelinggih-pelinggih di pura ini telah berusia tua dan ornamennya ukirannya terbilang langka. Bahkan diyakini berusia ratusan tahun. Termasuk pula keunikan dan nuansa kuno patung-patung yang disucikan di pelinggih-pelinggih, terutama pada Pelinggih Ageng. Sementara, adapun keberadaan pelinggih-pelinggih di utamaning mandala di Pura Luhur Sekartaji ini sebagai berikut. Pada bagian utara menghadap selatan berdiri Pelinggih Pesimpangan Petali yang posisinya paling barat. Di sebelah timurnya berturut-turut berdiri Pelinggih Pesimpangan Batukaru dan Pelinggih Pesimpangan Gunung Agung. Tepat di depan antara Pelinggih Pesimpangan Petali dan Pelinggih Pesimpangan Batukaru terdapat pelinggih bebaturan sebagai stana Ratu Wayan Ratu Nyoman.
Berikutnya, di sebelah selatan Pelinggih Pesimpangan Gunung Agung terdapat Pelinggih Manik Galih Rambut Sedana, Pelinggih Ageng berupa gegedongan, Pelinggih Puseh Angrurah dan Pesimpangan Pakendungan. Di depan Pelinngih Ageng terdapat bangunan Bale Pangiasan sekaligus tempat jro mangku saat nganteb upakara. Konon, pada zaman dulu ketika Raja Tabanan berkunjung ke pura ini, duduk di bale tersebut. “Satu pelinggih lagi ada di jaba selatan, tepat di bawah pohon beringin yang dinamakan Pelinggih Beten Bingin,” imbuhnya.
Menariknya lagi, Pura Luhur Sekartaji ini memiliki tiga buah beji. Yakni Beji Baleran yang posisinya sekitar lima puluh meter kearah barat daya dari pura. Berikutnya Beji Taman Telaga yang posisinya juga sekitar lima puluh meter ke arah barat laut pura. Terakhir Beji Kangin posisinya sekitar seratus meter ke arah timur pura dan berada ditepi Tukad (sungai) Yeh Empas.
Mangku Sukadana menambahkan, pura yang pujawalinya jatuh setiap rahina Anggara Kasih wuku Medangsia ini memiliki dua pantangan, khususnya pantangan untuk dipersembahkan pada Pelinggih Ageng. Pantangan tersebut adalah sama sekali tidak boleh menghaturkan kue, jajanan ataupun persembahan lainnya yang menggunakan gula merah. Pantangan lainnya, sama sekali tidak boleh mempersembahkan biu gedang saba atau pisang kepok.
Terkait dengan sedang disusunnya purana Pura Luhur Sekartaji, ketua prajuru pura ini, I Gede Susila, S.Sos.,M.Si., mengatakan, setelah nantinya purana tersusun akan dilanjutkan dengan penyusunan purana pada media lempengan tembaga untuk kemudian menjadi prasasti. Adapun prasasti ini akan dipelaspas dan dipasupati bertepatan pada pujawali yang akan datang yang jatuh pada 20 November 2017 nanti. “Saat itu juga kami juga akan melakukan pemelaspasan Pelinggih Pesimpangan Batukaru dan juga menggelar prosesi ngelungsur bagi semua krama Desa Pakraman Sekartaji,” ungkapnya.
Susila yang juga Kadis Pendidikan Tabanan ini menjelaskan, tata organisasi di pura ini masih melestarikan tradisi yang telah berjalan dari dulu. Yakni Puri Kaleran sebagai Penganceng dan Ki Jero Mekel Sekartaji selaku Pengemong. Selain itu juga ada Krama Pengempon yang kini berjumlah 120 kepala keluarga dan Jan Bangul atau Pemangku. Adapun pemangku-pemangku tersebut terdiri dari Mangku Gede,Pemangku Beji Kaler atau Beji Madhya dan Pemangku Beji Telag serta Penyarikan. not/ari
Komentar