Sengketa TN, Warga Pejarakan Menggugat
Kamis, 27 April 2017
00:00 WITA
Buleleng
4930 Pengunjung
suaradewata.com
Buleleng, suaradewata.com - Setelah laporan dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh oknum pejabat Pemkab Buleleng di Kejaksaan Negeri Buleleng beberapa waktu lalu, masyarakat Dusun Batu Ampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, akhirnya melayangkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) di Pengadilan Negeri Singaraja yang teregister dengan nomor perkara 54/Pdt.G/2017/PN.Sgr.
"Ini baru mulai dan para pihak (Penggugat dan Tergugat) belum hadir semua. Makanya ditunda hingga minggu depan (Kamis, 4 Mei 2017). Kebetulan dari pihak kami juga baru 11 orang hadir dari 16 orang total penggugat (Prinsipal)," kata H Usman selaku Pengacara masyarakat Desa Pejarakan didampingi rekannya yakni Nyoman Nika, Kamis (27/4/2017).
Gugatan tersebut dilayangkan oleh 16 orang warga yang tanahnya di klaim Pemkab Buleleng dalam bentuk Hak Pengelolaan (HPL) di atas tanah negara yang bepuluh tahun telah digarap oleh warga.
Selain menggugat PT Prapat Agung Permai selaku pihak yang menguasai sejumlah lahan milik warga, gugatan pun memposisikan Pemerintah Kabupaten Buleleng sebagai pihak Tergugat I (Satu) dengan menarik Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Buleleng dalam perkara tersebut sebagai pihak Turut Tergugat.
Keenam belas warga yang menggugat tersebut yakni Nyoman Karya, Komang Putra, I Nengah Kerti, I Wayan Bakti, I Made Tianis, Made Lastia SP, Made Darma, Gede Kariasa, Wayan Tiarsa, I Wayan Pula, Nyoman Suwitra, Nengah Sri, Pan Dana Roja, Abdul Qadir, Sunarmi, dan Sugiarto. Para penggugat itu pun tergabung dalam kelompok 16 yang dibeberapa lokasi lahan mereka berdiri Hotel Menjangan Dinasti (Sebelumnya Bali Dinasti) dan penginapan milik Kelompok Masyarakat Sadar Wisata (Pokmasta).
"Kami tidak melihat apa yang ada di atas lahan tersebut. Entah dia (Menjangan Dinasti dan Pokmasta) dapat dari PT Prapat Agung (Permai) atau dapat dari siapa, itu bukan konteks dalam gugatan. Tapi HPL I yng timbul dan diklaim sebagai aset Pemkab Buleleng dalam sertifikat tahun 1976 itu yang kami ingin buktikan ada perbuatan melawan hukum. Sebab dalam HPL I tersebut, Pemkab Buleleng (Tergugat I) ada perjanjian dengan PT Prapat Agung (Tergugat II) dan itu diatas lokasi 16 hektare milik warga," kata Usman menegaskan.
Keterangan Usman pun mengungkap sejumlah kejanggalan munculnya sertifikat HPL I tahun 1976 yang menjadi dasar klaim Pemkab Buleleng bahwa tanah negara seluas 45 Hektare di Dusun Batu Ampar merupakan milik daerah. Pasalnya, Usman mengatakan bahwa didalam bidang yang diklaim sebagai aset Pemkab Buleleng ternyata terdapat tanah hak milik dengan sertifikat perorangan dan sempat diperjualbelikan.
Muncul Pernyataan Ambigu Sekda Buleleng dan Provinsi Bali;
Bukan hanya kejanggalan dengan munculnya sertifikat pribadi didalam tanah yang diklaim sebagai aset Pemkab Buleleng, dalam posita gugatan pun menyebut keterangan ambigu atau tidak jelas dari Sekertaris Daerah (Sekda) Pemkab Buleleng dan juga Sekda Provinsi Bali tentang warkah atau asal usul kepemilikan aset tanah negara di Dusun Batu Ampar tersebut.
Dalam posita gugatan warga menyebutkan terkait surat Sekda Buleleng pada tanggal 21 Januari 2015 yang menyebut perolehan aset tersebut atas dasar pembelian. Yang surat tersebut pun mengatasnamakan Bupati Buleleng saat ini yakni Putu Agus Suradnyana.
"Ini yang aneh (Surat Sekda Buleleng). Kok ada jual-beli dengan harga tanah Nol rupiah. Apa tidak lucu kira-kira jika ada harga tanah Nol rupiah. Itu kami temukan dalam lampiran Kartu Inventaris Barang (KIB) A Tanah milik Pemkab Buleleng yang menyertai surat Sekda Buleleng," papar Usman kepada www.suaradewata.com.
Tak hanya surat yang dilampirkan KIB A Tanah oleh Sekda Buleleng, kejanggalan pun muncul dari surat dari Sekda Provinsi Bali tertanggal 30 Maret 2017. Yang dalam surat Sekda Provinsi Bali pun menyebut bahwa asal kepemilikan aset tanah negara tersebut dari proses Hibah dan bukan Pembelian seperti yang disampaikan dalam surat Sekda Pemkab Buleleng.
Tak hanya itu saja, semua surat baik dari Sekda Buleleng dan Provinsi Bali pun kembali mendapat pertentangan dari surat rekomendasi Bupati Buleleng Putu Bagiada tahun 2008 silam. Yang surat rekomendasi itu diberikan kepada salah seorang warga bernama Juhri Suhari dalam proses permohonan pembuatan sertifikat hak milik pribadi dengan menyebut bahwa tanah itu sebagai tanah terlantar.
Dikonfirmasi terkait dasar kepemilikan Para Penggugat yang sebagian besar merupakan penggerak pariwisata di kawasan Desa Pejarakan itu, Usman mengaku bahwa para kliennya telah berpuluh tahun menguasai serta mengelola tanah negara yang disengketakan itu. Dan juga keberadaan petunjuk lainnya dalam bentuk lembar perpanjangan pajak (SPPT) milik Para Penggugat.
"Kamis depan saya berharap semua bisa datang (Pera Penggugat dan Tergugat). Sehingga proses pembuktian hukum dalam persidangan bisa segera dimulai. Ini masalah lama dan juga yang menimpa rakyat Buleleng juga (Para Penggugat). Tentu harus lekas diselesaikan agar ada kepastian hukum dan konflik lekas bisa diakhiri," pungkas Usman.adi/aga
Komentar